Akhirnya, Sadam mengajak istri, Ibu dan kakaknya untuk duduk bersama membahas masalah yang membuat Mirah sangat marah sampai menampar Safira.Ternyata Mirah mengetahui kalau Safira bukan anak kandung kedua orang tuanya saat bertemu dengan Aini, ibunya Safira. Saat itu Aini mengatakan kalau ia merasa sangat senang saat Safira dan Sadam menginap di rumahnya. Sebagai seorang ibu yang mengurus dan membesarkan Safira, ia sangat merindukan anaknya itu meskipun bukan anak kandungnya sendiri.Ya, memang Safira bukan anak kandung Aini dan Arif. Ia diadopsi sejak masih bayi karena pasangan suami istri itu divonis tidak bisa memiliki anak. Mereka tidak tahu keberadaan orang tua Safira. Perempuan berkulit putih itu pernah mencari keberadaan orang tuanya, tetapi tidak pernah menemukannya. Alamat yang diberikan pihak panti ternyata sudah tidak ditinggali lagi.Sebenarnya sebelum menikah Safira sudah mengatakan pada Sadam kalau ia bukan anak kandung Aini dan Arif. Ia tak pernah tahu orang tua kandun
Safira merasa sangat lelah saat pulang dari kantor. Kedua tangannya menenteng kantung plastik berisi barang-barang kebutuhan rumah. Ya, saat pulang kantor tadi ia mampir ke supermarket membeli semua kebutuhan rumah karena sudah mulai habis. Kalau bukan dirinya yang belanja dan mengeluarkan uang, tak ada satu pun orang rumah yang mau belanja apalagi Nala tak akan peduli dengan urusan rumah dan Mirah seperti bisa hanya menyuruh dirinya untuk beli ini itu.Safira membereskan belanjaannya, sesekali ia mengusap keningnya yang berkeringat dan entah mengapa tubuhnya merasa sangat lelah sekali hari ini. “Mana susu dan pampers untuk Kieran?” Nala menghampiri adik iparnya.“Tidak aku belikan,” jawab Safira tanpa memandang Nala.“Apa? Kenapa tidak kau belikan, Safira?” Nala memutar bola matanya kesal.“Loh, itu ‘kan kebutuhan anak Mbak Nala dan bukan tanggung jawabku,” balas Safira tak menghentikan kagiatannya yang menata kebutuhan dapur.“Kau ini perhitungan sekali jadi orang. Kita keluarga, l
Sadam menggeleng, tak lagi memanggil sang istri yang berjalan cepat keluar dari rumah. Ia segera masuk untuk menemui ibunya. Pria berkulit sawo matang itu mendapati Mirah dan Nala yang sedang saling menggerutu. Ia segera mendekati keduanya dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.“Istrimu itu perhitungan sekali padaku, Sadam!” cetus Nala, wajahnya ditekuk dengan bola mata mengerling.“Perhitungan bagaimana, Mbak?” Sadam tidak mengerti.“Susu dan pampers keponakanmu saja jadi masalah dan satu lagi istrimu itu sangat kurang ajar!” Giliran Mirah yang mengadu pada putranya.“Sadam tidak mengerti maksud Ibu dan Mbak Nala,” ucap Sadam.Lalu, Mirah menceritakan kalau Safira tidak mau membeli susu dan pampers untuk Kieran sampai mereka bertengkar dan dengan lancangnya Safira menampar pipi Mirah.“Tidak mungkin Safira seperti itu,” kata Sadam.“Kau sama saja dengan istrimu. Sama-sama kurang ajar!” Mirah masih marah pada Sadam karena berbohong tentang Safira padanya. Ia juga sering sekali me
“Dasar perempuan tidak tahu diri kayaknya itu cuma akal-akalan si Safira saja,” gerutu Mirah pada Nala.“Ya sudahlah, Bu, biarkan saja yang penting cucian dan baju sudah beres,” jawab Nala.Bagi mereka kesehatan dan kondisi tubuh Safira tidaklah penting, yang penting semua pekerjaan rumah sudah selesai tanpa mereka yang harus mengerjakan. Mereka juga tidak peduli isi dompet Safira asalkan kebutuhan rumah selalu ada bahkan barang-barang pribadi Nala pun kadang Safira yang membayar kalau kakak iparnya itu belanja secara online. Mirah dan Nala sama sekali tidak membantu Sadam membawa Safira ke dokter untuk periksa. Mereka malah kembali mengobrol seraya menonton televisi. Sementara itu Safira dan Sadam tiba di klinik dokter yang sudah dipenuhi beberapa pasien. Sadam menuntun istrinya untuk duduk di kursi tunggu sedangkan ia mendaftarkan Safira terlebih dahulu. Cukup panjang antrean sore itu hingga langit pun sudah mulai gelap dan rintik hujan turun membasahi bumi. Nomor antrean Safira
Sadam dan Safira sangat senang dengan kehamilan ini. Mereka berpikir akan membuat Mirah bahagia karena ini adalah hal yang ditunggu-tunggu. Sadam pun segera memberitahu sang ibu begitu sampai di rumah. Namun, ternyata Mirah sangat terkejut atas kabar yang dari sang putra dan reaksinya tidak sesuai dengan yang diharapkan Sadam dan Safira.Mirah justru sangat marah dengan hamilnya sang menantu. Ia sangat geram karena akan memiliki cucu dari Safira hingga refleks menampar Sadam dan membuat Safira ternganga melihatnya.“Bukankah Ibu sangat menginginkan cucu dariku?” tanya Sadam seraya memegang pipinya.“Ya, memang aku ingin punya cucu darimu, tapi bukan dari perempuan tidak jelas asal-usulnya seperti ini,” bentak Mirah dengan menunjuk sang menantu yang berdiri di samping Sadam.Sadam dan Safira pun saling beradu pandang dengan rasa kecewa yang tergambar di wajahnya. Apalagi Safira merasa sudah terlalu lelah dan sakit oleh Mirah. Sekarang malah harus menelan rasa kecewa yang begitu besar.
Setelah dipikir-pikir oleh Sadam memang lebih baik uangnya ditabung untuk membeli keperluan bayi dan biaya lahiran istrinya nanti. Mengeluarkan uang untuk membayar jasa asisten rumah tangga cukup menguras dompet juga. Akan tetapi, ia benar-benar meyakinkan ibu dan kakaknya untuk membantu Safira mengerjakan pekerjaan rumah. “Iya, tenang saja aku pasti bantu istrimu,” ucap Nala.Akhirnya, mereka sepakat untuk tidak jadi memakai jasa asisten rumah tangga. Sadam pun meninggalkan ibu dan kakaknya. Langkahnya menuruni tangga dan terhenti di depan pintu kamarnya. Buku-buku tangan kanannya kembali mengetuk pintu kamar dan memanggil sang istri.Kali ini Safira bergerak untuk membuka pintu kamar, hatinya sudah cukup tenang. Ia harus kuat menjalani semuanya demi anak yang sedang tumbuh di dalam perut. Safira tertunduk, dalam hatinya bercampur aduk, sedih, kesal, marah jadi satu. “Hei,” ucap Sadam mengangkat dagu Safira pelan dengan kedua tangannya.Seiring helaan napas Safira mengeluarkan isi
Safira terus menatap setiap gerak-gerik sang suami yang mencurigakan karena jarang sekali Mirah minta diantar Sadam apalagi Sabtu sore seperti ini. Sadam pun mengatakan tidak tahu tujuan ibunya, ia hanya diminta mengantar saja. Akan tetapi, Safira merasa ada yang janggal. Hanya mengantar Mirah saja Sadam sampai berpakaian serapi itu. “Sebenarnya mau ngantar Ibu ke mana, sih, Mas?” selidik Safira, menautkan kedua alisnya.“Aku juga tidak tahu. Ibu cuma bilang antar saja,” jawab Sadam.Perasaan perempuan yang sedang hamil muda itu tidak enak, gundah gulana. Seperti akan ada sesuatu yang terjadi. “Ya sudah, aku pergi dulu, ya, Ibu sudah manggil terus.” Sadam mencium kening sang istri dan keluar dari kamar.Safira diam saja melepas kepergian Sadam yang tidak jelas mau mengatar ibunya ke mana. Perasaannya benar-benar tidak enak. Telinganya mendengar deru mesin mobil yang dinyalakan dan kemudian semakin hilang bersamaan dengan menjauhnya mobil Sadam.Bersamaan dengan desahan yang keluar d
Sadam dan Ayunda menikmati perbincangan mereka terkadang keduanya sesekali terlihat tertawa.Suami dari Safira yang awalnya merasa canggung lama-lama ia merasa nyaman dan menikmati obrolan dengan perempuan cantik itu.Mereka memesan minuman, lalu mengobrol kembali sambil menunggu Mirah dan Dahlia. Laki-laki yang sudah membina rumah tangga bersama Safira itu merasakan kenyamanan saat bersama Ayunda. Ia sendiri pun tak tahu mengapa bisa merasakan hal itu. Mungkin karena Sadam dan sang istri sudah jarang sekali mengobrol dan becanda seperti yang dilakukan oleh Ayunda dan dirinya sekarang.Akhir-akhir ini ia dan Safira lebih sering membicarakan masalah rumah tangga yang justru malah membuat mereka menjadi sedikit renggang. Cukup lama pria bercambang itu dan Ayunda mengobrol sambil menunggu ibu mereka. Akhirnya, Mirah dan Dahlia pun kembali dengan senyum terpancar dari wajah mereka berdua saat melihat Sadam dan Ayunda."Wah ngobrolin apa, sih? Kayaknya seru banget," ucap Dahlia menarik