“Dasar perempuan tidak tahu diri kayaknya itu cuma akal-akalan si Safira saja,” gerutu Mirah pada Nala.“Ya sudahlah, Bu, biarkan saja yang penting cucian dan baju sudah beres,” jawab Nala.Bagi mereka kesehatan dan kondisi tubuh Safira tidaklah penting, yang penting semua pekerjaan rumah sudah selesai tanpa mereka yang harus mengerjakan. Mereka juga tidak peduli isi dompet Safira asalkan kebutuhan rumah selalu ada bahkan barang-barang pribadi Nala pun kadang Safira yang membayar kalau kakak iparnya itu belanja secara online. Mirah dan Nala sama sekali tidak membantu Sadam membawa Safira ke dokter untuk periksa. Mereka malah kembali mengobrol seraya menonton televisi. Sementara itu Safira dan Sadam tiba di klinik dokter yang sudah dipenuhi beberapa pasien. Sadam menuntun istrinya untuk duduk di kursi tunggu sedangkan ia mendaftarkan Safira terlebih dahulu. Cukup panjang antrean sore itu hingga langit pun sudah mulai gelap dan rintik hujan turun membasahi bumi. Nomor antrean Safira
Sadam dan Safira sangat senang dengan kehamilan ini. Mereka berpikir akan membuat Mirah bahagia karena ini adalah hal yang ditunggu-tunggu. Sadam pun segera memberitahu sang ibu begitu sampai di rumah. Namun, ternyata Mirah sangat terkejut atas kabar yang dari sang putra dan reaksinya tidak sesuai dengan yang diharapkan Sadam dan Safira.Mirah justru sangat marah dengan hamilnya sang menantu. Ia sangat geram karena akan memiliki cucu dari Safira hingga refleks menampar Sadam dan membuat Safira ternganga melihatnya.“Bukankah Ibu sangat menginginkan cucu dariku?” tanya Sadam seraya memegang pipinya.“Ya, memang aku ingin punya cucu darimu, tapi bukan dari perempuan tidak jelas asal-usulnya seperti ini,” bentak Mirah dengan menunjuk sang menantu yang berdiri di samping Sadam.Sadam dan Safira pun saling beradu pandang dengan rasa kecewa yang tergambar di wajahnya. Apalagi Safira merasa sudah terlalu lelah dan sakit oleh Mirah. Sekarang malah harus menelan rasa kecewa yang begitu besar.
Setelah dipikir-pikir oleh Sadam memang lebih baik uangnya ditabung untuk membeli keperluan bayi dan biaya lahiran istrinya nanti. Mengeluarkan uang untuk membayar jasa asisten rumah tangga cukup menguras dompet juga. Akan tetapi, ia benar-benar meyakinkan ibu dan kakaknya untuk membantu Safira mengerjakan pekerjaan rumah. “Iya, tenang saja aku pasti bantu istrimu,” ucap Nala.Akhirnya, mereka sepakat untuk tidak jadi memakai jasa asisten rumah tangga. Sadam pun meninggalkan ibu dan kakaknya. Langkahnya menuruni tangga dan terhenti di depan pintu kamarnya. Buku-buku tangan kanannya kembali mengetuk pintu kamar dan memanggil sang istri.Kali ini Safira bergerak untuk membuka pintu kamar, hatinya sudah cukup tenang. Ia harus kuat menjalani semuanya demi anak yang sedang tumbuh di dalam perut. Safira tertunduk, dalam hatinya bercampur aduk, sedih, kesal, marah jadi satu. “Hei,” ucap Sadam mengangkat dagu Safira pelan dengan kedua tangannya.Seiring helaan napas Safira mengeluarkan isi
Safira terus menatap setiap gerak-gerik sang suami yang mencurigakan karena jarang sekali Mirah minta diantar Sadam apalagi Sabtu sore seperti ini. Sadam pun mengatakan tidak tahu tujuan ibunya, ia hanya diminta mengantar saja. Akan tetapi, Safira merasa ada yang janggal. Hanya mengantar Mirah saja Sadam sampai berpakaian serapi itu. “Sebenarnya mau ngantar Ibu ke mana, sih, Mas?” selidik Safira, menautkan kedua alisnya.“Aku juga tidak tahu. Ibu cuma bilang antar saja,” jawab Sadam.Perasaan perempuan yang sedang hamil muda itu tidak enak, gundah gulana. Seperti akan ada sesuatu yang terjadi. “Ya sudah, aku pergi dulu, ya, Ibu sudah manggil terus.” Sadam mencium kening sang istri dan keluar dari kamar.Safira diam saja melepas kepergian Sadam yang tidak jelas mau mengatar ibunya ke mana. Perasaannya benar-benar tidak enak. Telinganya mendengar deru mesin mobil yang dinyalakan dan kemudian semakin hilang bersamaan dengan menjauhnya mobil Sadam.Bersamaan dengan desahan yang keluar d
Sadam dan Ayunda menikmati perbincangan mereka terkadang keduanya sesekali terlihat tertawa.Suami dari Safira yang awalnya merasa canggung lama-lama ia merasa nyaman dan menikmati obrolan dengan perempuan cantik itu.Mereka memesan minuman, lalu mengobrol kembali sambil menunggu Mirah dan Dahlia. Laki-laki yang sudah membina rumah tangga bersama Safira itu merasakan kenyamanan saat bersama Ayunda. Ia sendiri pun tak tahu mengapa bisa merasakan hal itu. Mungkin karena Sadam dan sang istri sudah jarang sekali mengobrol dan becanda seperti yang dilakukan oleh Ayunda dan dirinya sekarang.Akhir-akhir ini ia dan Safira lebih sering membicarakan masalah rumah tangga yang justru malah membuat mereka menjadi sedikit renggang. Cukup lama pria bercambang itu dan Ayunda mengobrol sambil menunggu ibu mereka. Akhirnya, Mirah dan Dahlia pun kembali dengan senyum terpancar dari wajah mereka berdua saat melihat Sadam dan Ayunda."Wah ngobrolin apa, sih? Kayaknya seru banget," ucap Dahlia menarik
"Bukan begitu, kau lebih penting dari siapa pun, Sayang," jawab Sadam ."Lalu, kenapa kau lebih mementingkan teman-teman kantormu dibanding aku?" tanya Safira kesal."Janin yang ada di dalam kandunganmu masih kecil dan waktu melahirkan pun masih lama," kata Sadam menghadapkan tubuhnya pada sang istri."Ya sudahlah, kalau kau tak mau mengantarku, aku bisa pergi sendiri," kata Safira mengerlingkan mata dan membalik tubuhnya membelakangi sang suamiSadam tak enak hati jika harus membuat Safira marah. Ia pun masih merasa bersalah karena sudah membohongi istrinya itu. Bukan bermaksud untuk membohongi Safira, tetapi ia tidak ingin ada kesalahpahaman antara dirinya dan sang istri. Cepat atau lambat ia akan menceritakan Mirah yang memintanya untuk berkenalan dengan Ayunda, tetapi bukan saat ini. Pria bertubuh tinggi itu menunggu waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan Safira. Kondisi dan keadaan sekarang tidak memungkinkan untuk membahas masalah ini karena perasaan Safira sedang sangat
"Iya Ibu tahu hanya saja Ibu ingin Sadam memiliki istri yang jelas asal-usulnya," ungkap Mirah.Safira menggeleng dan mendesah karena sangat kesal pada mertuanya. Ia tidak mengerti dengan isi kepala sang mertua. Bisa-bisanya ingin menjodohkan anaknya sendiri yang sudah memiliki istri dengan perempuan lain. "Untuk apa kau datang ke sini?" tanya Sadam pada Ayunda."Sadam, Ayunda itu dari tadi menunggumu. Kalian 'kan sudah janjian untuk bertemu, tapi kau malah pergi dengan Safira," ungkap Mirah, mengerlingkan bola mata di balik kacamatanya."Apa janjian? Maksudnya gimana, sih, Mas?" tanya Safira tidak mengerti."Aduh, udah deh kau masuk saja ke kamar biar Sadam dan Ayunda mengobrol." Mirah menarik tangan Safira."Tunggu, Bu! Aku ingin penjelasan dari Ibu dan Mas Sadam," ucap Safira menggebu, tidak sabar.Akhirnya, Sadam menceritakan yang sebenarnya pada Safira kalau kemarin ia mengantar Mirah bertemu dengan Dahlia. Pertemuan itu bertujuan untuk mengenalkan Sadang dan Ayunda. Hari ini Sa
Dua pekan berlalu, hari demi hari terasa tambah berat dijalani oleh Safira. Hampir setiap hari juga ia berselisih paham dengan sang suami. Untuk sekarang hidup Safira benar-benar berantakan. Hatinya semakin hari semakin hancur, bukan hanya selalu diperlakukan buruk oleh ibu mertuanya, tetapi suami tercinta pun mulai berubah. Ia merasa sendiri dan kesepian, setiap kali mengutrakan isi hatinya pada Sadam malah selalu menimbulkan keributan, bukan solusi. Mulai saat ini juga Safira jarang sekali bicara lebih banyak diam.“Safira, tolong buatin susu Kieran, ya,” ucap Nala saat adik iparnya itu menyapu lantai atas.Padahal anak sulung Mirah itu hanya sedang duduk santai di atas sofa sibuk memainkan ponselnya memilih baju-baju di toko jingga sedangkan kedua anaknya bermain di depan televisi. Ia hanya mengawasi sesekali, itu pun jika telinganya menangkap suara rengekan Kieran.Safira tak menghiraukan perintah kakak iparnya, ia terus membersihkan lantai dengan sapu. Setelah selesai lanjut men