"Bukan begitu, kau lebih penting dari siapa pun, Sayang," jawab Sadam ."Lalu, kenapa kau lebih mementingkan teman-teman kantormu dibanding aku?" tanya Safira kesal."Janin yang ada di dalam kandunganmu masih kecil dan waktu melahirkan pun masih lama," kata Sadam menghadapkan tubuhnya pada sang istri."Ya sudahlah, kalau kau tak mau mengantarku, aku bisa pergi sendiri," kata Safira mengerlingkan mata dan membalik tubuhnya membelakangi sang suamiSadam tak enak hati jika harus membuat Safira marah. Ia pun masih merasa bersalah karena sudah membohongi istrinya itu. Bukan bermaksud untuk membohongi Safira, tetapi ia tidak ingin ada kesalahpahaman antara dirinya dan sang istri. Cepat atau lambat ia akan menceritakan Mirah yang memintanya untuk berkenalan dengan Ayunda, tetapi bukan saat ini. Pria bertubuh tinggi itu menunggu waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan Safira. Kondisi dan keadaan sekarang tidak memungkinkan untuk membahas masalah ini karena perasaan Safira sedang sangat
"Iya Ibu tahu hanya saja Ibu ingin Sadam memiliki istri yang jelas asal-usulnya," ungkap Mirah.Safira menggeleng dan mendesah karena sangat kesal pada mertuanya. Ia tidak mengerti dengan isi kepala sang mertua. Bisa-bisanya ingin menjodohkan anaknya sendiri yang sudah memiliki istri dengan perempuan lain. "Untuk apa kau datang ke sini?" tanya Sadam pada Ayunda."Sadam, Ayunda itu dari tadi menunggumu. Kalian 'kan sudah janjian untuk bertemu, tapi kau malah pergi dengan Safira," ungkap Mirah, mengerlingkan bola mata di balik kacamatanya."Apa janjian? Maksudnya gimana, sih, Mas?" tanya Safira tidak mengerti."Aduh, udah deh kau masuk saja ke kamar biar Sadam dan Ayunda mengobrol." Mirah menarik tangan Safira."Tunggu, Bu! Aku ingin penjelasan dari Ibu dan Mas Sadam," ucap Safira menggebu, tidak sabar.Akhirnya, Sadam menceritakan yang sebenarnya pada Safira kalau kemarin ia mengantar Mirah bertemu dengan Dahlia. Pertemuan itu bertujuan untuk mengenalkan Sadang dan Ayunda. Hari ini Sa
Dua pekan berlalu, hari demi hari terasa tambah berat dijalani oleh Safira. Hampir setiap hari juga ia berselisih paham dengan sang suami. Untuk sekarang hidup Safira benar-benar berantakan. Hatinya semakin hari semakin hancur, bukan hanya selalu diperlakukan buruk oleh ibu mertuanya, tetapi suami tercinta pun mulai berubah. Ia merasa sendiri dan kesepian, setiap kali mengutrakan isi hatinya pada Sadam malah selalu menimbulkan keributan, bukan solusi. Mulai saat ini juga Safira jarang sekali bicara lebih banyak diam.“Safira, tolong buatin susu Kieran, ya,” ucap Nala saat adik iparnya itu menyapu lantai atas.Padahal anak sulung Mirah itu hanya sedang duduk santai di atas sofa sibuk memainkan ponselnya memilih baju-baju di toko jingga sedangkan kedua anaknya bermain di depan televisi. Ia hanya mengawasi sesekali, itu pun jika telinganya menangkap suara rengekan Kieran.Safira tak menghiraukan perintah kakak iparnya, ia terus membersihkan lantai dengan sapu. Setelah selesai lanjut men
“Cepat antarkan pada cucuku,” bentak Mirah, melotot pada sang menantu yang sudah tak dianggapnya.Mirah sengaja tidak menyuruh Sadam menceraikan Safira atas usul Nala. Mirah memanfaatkan tenaga dan uang Safira agar tak perlu repot mengurus rumah. Pada akhirnya dengan terpaksa Safira mengambil botol susu Kieran dan menaiki tangga ke lantai dua. Ia mendekat pada Nala dan menyodorkan botol susu tersebut.“Lama sekali, Safira. Kieran sudah nangis dari tadi, tahu!” Nala mendesah kencang seraya menatap adik iparnya.“Lain kali buat susu untuk anakmu sendiri, Mbak. Aku bukan pembantu!” balas Safira seraya berlalu meninggalkan kakak iparnya.“Eh, kau ini sama saudara sendiri tidak mau saling bantu, Safira, Safira,” sindir Nala membuat Safira membalik badan.“Apa? Saling bantu? Bukannya selama ini semua aku yang mengerjakan. Mbak bilang sama Mas Sadam mau membantuku, tapi nyatanya … tetap saja aku sendiri,” papar Safira kesal.“Kau ini kurang bersyukur, Safira. Selama ini aku sudah cukup memb
Sadam mengetuk pintu kamar seraya memanggil sang istri. Akhirnya, dibukakan juga oleh Safira. Mulut Sadam menganga melihat keadaan kamar yang berantakan. Selimut, bantal dan guling berhamburan di lantai. Semua skincare dan alat meke up Safira berceceran bahkan isi lemari pun ikut berserakan.“Apa yang sudah kau lakukan, Safira?” tanya Sadam kesal setelah lelah seharian mengantar Ayunda malah disuguhi pemandangan tak sedap oleh sang istri.Safira kembali berbaring di tempat tidur memiringkan tubuhnya ke samping. Matanya sembab dan wajahnya masih memerah. Ia tidak menanggapi ocehan Sadam, sudah terlalu lelah menjelaskan semuanya. Kini ia mencoba untuk tidak peduli dan akan lebih memperhatikan calon buah hatinya.“Jawab, Safira! Apa kau tidak punya mulut?” geram Sadam.Namun, Safira tetap bergeming pura-pura tak mendengar. Ia sedang tidak ingin bicara pada siapa pun.“Aku lelah baru pulang, tapi malah melihat kerusuhan di kamar ini,” ungkap Sadam menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Se
“Apa? Safira keguguran?” tanya Nala, menoleh pada ibunya yang baru mengakhiri panggilan dari Sadam.“Iya, Sadam barusan bilang katanya kelelahan dan tertekan. Ya sudahlah, ibu juga tidak mengharapkan keturunan dari perempuan tidak jelas seperti Safira,” jawab Mirah, melirik pada Ayunda yang sedang menuangkan sup ayam ke mangkuknya.“Kalau darimu Tante sangat mengharapkan,” ucap Mirah mengelus bahu Ayunda yang tersenyum.Mirah cukup senang dengan kagugurannya Safira karena ia memang sangat tidak menginginkan cucu dari menantunya itu. Ia tak ingin memiliki keturunan yang tidak jelas asal- usulnya. Senyum getir tersungging di wajahnya, tak perlu mengotori tangan untuk menyingkirkan janin dalam perut Safira. Hanya dengan membuatnya bekerja berat dan banyak pikiran saja sudah bisa menggugurkan kandungan menantunya itu.“Jahat sekali kau, Ibu!” cetus Zafar yang tiba-tiba muncul. “Apa maksudmu?” tanya Mirah.“Kau pikir aku tak tahu rencanamu pada Safira? Kau memang sengaja ingin Safira kegu
Safira tidak menghiraukan ibu mertuanya, ia berjalan terus ke kamar meskipun Mirah berteriak memanggilnya. Safira seolah menutup kupingnya sendiri, mulai saat ini ia hanya akan peduli pada diri sendiri.“Kenapa Ibu teriak-teriak?” tanya Sadam.“Entahlah, coba kau lihat sendiri.” Safira duduk di depan meja rias memandangi wajahnya yang masih sedikit pucat.Ia sama sekali tidak mengabari apa pun pada kedua orang tuanya. Mulai dari kehamilannya hingga keguguran beberapa hari lalu. Ia tak ingin membuat Aini dan Arif khawatir. Biarlah nanti saja kalau berkunjung ke rumah mereka, baru ia akan bercerita. Sadam pun keluar dari kamar menghampiri sang ibu yang masih mengoceh merutuki istrinya. Ia langsung menanyakan apa yang terjadi.“Istrimu itu benar-benar kurang ajar, Sadam! Ibu suruh nyuci baju malah ngeloyor aja,” ketus Mirah mengadu pada anaknya.“Untuk sementara Safira harus istirahat dulu, Bu,” bela Sadam.“Alah, cuci baju itu pakai mesin, tidak akan terlalu lelah,” cetus Mirah.Akhirn
Dada Safira masih naik turun menahan amarah yang sangat membara dalam dadanya. Ia memandang ke luar jendela mobil. Rintik hujan mulai turun malam itu seiring dengan air mata Safira yang akhirnya keluar juga dengan perlahan. Perempuan berkaki jenjang itu sangat kecewa pada sang suami yang masih saja tidak bisa tegas pada ibu mertuanya. Ia rasa Sadam memang tidak mau tegas. Kali ini Safira mendapat jawaban yang sebenarnya. Mulai saat ini Sadam bukanlah suami yang baik untuknya. Terasa sangat berat untuk dihadapi karena rasa cinta dan sayang Safira pada Sadam begitu besar. Namun, hatinya sudah hancur berkeping-keping karena balasan Sadam yang malah lebih memilih bersama perempuan lain. Untuk apa ia mempertahankan rumah tangga yang tidak bisa membuatnya bahagia lagi. Pengorbanannya selama ini ternyata hanya sia-sia, menahan rasa sakit akibat diperlakukan buruk oleh Mirah, diperas tenaga dan uang hasil keringatnya sendiri. Semua itu bentuk pengorbanannnya untuk tetap bersama Sadam. Ia pu