Safira melempar tas tangannya ke atas kasur. Ia kesal pada mertuanya yang malah mengadu domba dirinya dengan sang suami. Punggung tangan Safira mengusap air mata di pipi seraya terisak. Ia pun tak mengerti dengan dokter yang memeriksa Mirah. Bisa-bisanya dokter itu mengatakan kalau Mirah memang tidak sehat padahal jelas-jelas Mirah dalam keadaan sehat.Pria yang sudah membina rumah tangga dengannya selama dua tahun itu masuk ke kamar dan membanting pintu. Ia tak suka dibohongi dan hal ini menyangkut sang ibu. Ia sangat tak suka istrinya menuduh Mirah berpura-pura apalagi dengan bukti yang nyata.“Beri tahu aku alasanmu menuduh Ibu berpura-pura sakit!” kata Sadam dengan nada tinggi.“Aku tidak menuduh Ibu karena ia sendiri yang mengatakan kalau pura-pura sakit agar kau kembali ke rumah ini.” Safira masih mencoba meyakinkan sang suami.Namun, Sadam malah semakin marah padanya. Ia ingin alasan yang menyebabkan Safira bisa menuduh ibunya. Ia ingin Safira meminta maaf pada Mirah karena sud
Safira kembali menyusul Nala setelah menemui kurir paket tadi karena ternyata paket yang diterima Nala belum dibayar. Kakak ipar Safira itu pakai sistem bayar di tempat. “Mbak, kurirnya masih nunggu di depan. Paketnya belum dibayar,” cetus Safira.“Loh, kok, belum dibayar gimana, sih?” Nala menautkan kedua alisnya seraya membuka bungkusan paket yang baru saja diterimanya.“Kurirnya bilang begitu. Kasian masih nunggu, tuh, Mbak,” jawab Safira seraya membalik badan hendak pergi dari sana.“Memangnya belum kau bayar, Safira?” tanya Mirah.Sontak langkah Safira terhenti mendengar pertanyaan sang ibu mertua. Ia kaget Mirah malah bertanya padanya. Mana ia tahu, itu paket Nala.“Mbak Nala tidak menitipkan uang padaku,” jawab Safira kebingungan.“Maksudnya, ya, kau bayar saja, Safira,” celetuk Mirah dengan entengnya.“Hah? Mbak Nala yang beli, kok, aku yang bayar, Bu?” Safira tak terima karena itu bukan barang yang dibelinya.Setelah membuka paket yang berisi krim perawatan wajah dengan raut
Sadam tak menggubris sang istri. Sekarang ia tak suka kalau Safira mengadu masalah uang atau lelahnya mengurus rumah. Terkadang Sadam mengatakan kalau semua yang dilakukan Safira justru bagus untuk membantu ibunya di rumah. Akan tetapi, ia tak memikirkan perasaan sang istri yang tersakiti. Safira juga tahu diri untuk membantu di rumah dan membeli kebutuhan di rumah sang mertua, tetapi bukan seperti ini caranya. Bukan semua ia yang menanggung, belum lagi harus kerja seharian. Ibunya saja tak pernah sampai membuatnya seperti ini.Safira sering menangis sendiri di kamarnya. Percuma bercerita pada sang suami karena memang sekarang Sadam sudah berubah. Mulai muncul benih-benih dendam dalam hati perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu. Ia berjanji kalau suatu saat pasti akn membalasnya dengan kesuksesan yang akan membuat sang mertua sangat menyesal.Hari-hari Safira selalu berulang seperti itu, mengurus rumah, bekerja seharian, mencuci dan menyetrika pakaian tanpa dibantu siapa pun. Pa
Akhirnya, Sadam mengajak istri, Ibu dan kakaknya untuk duduk bersama membahas masalah yang membuat Mirah sangat marah sampai menampar Safira.Ternyata Mirah mengetahui kalau Safira bukan anak kandung kedua orang tuanya saat bertemu dengan Aini, ibunya Safira. Saat itu Aini mengatakan kalau ia merasa sangat senang saat Safira dan Sadam menginap di rumahnya. Sebagai seorang ibu yang mengurus dan membesarkan Safira, ia sangat merindukan anaknya itu meskipun bukan anak kandungnya sendiri.Ya, memang Safira bukan anak kandung Aini dan Arif. Ia diadopsi sejak masih bayi karena pasangan suami istri itu divonis tidak bisa memiliki anak. Mereka tidak tahu keberadaan orang tua Safira. Perempuan berkulit putih itu pernah mencari keberadaan orang tuanya, tetapi tidak pernah menemukannya. Alamat yang diberikan pihak panti ternyata sudah tidak ditinggali lagi.Sebenarnya sebelum menikah Safira sudah mengatakan pada Sadam kalau ia bukan anak kandung Aini dan Arif. Ia tak pernah tahu orang tua kandun
Safira merasa sangat lelah saat pulang dari kantor. Kedua tangannya menenteng kantung plastik berisi barang-barang kebutuhan rumah. Ya, saat pulang kantor tadi ia mampir ke supermarket membeli semua kebutuhan rumah karena sudah mulai habis. Kalau bukan dirinya yang belanja dan mengeluarkan uang, tak ada satu pun orang rumah yang mau belanja apalagi Nala tak akan peduli dengan urusan rumah dan Mirah seperti bisa hanya menyuruh dirinya untuk beli ini itu.Safira membereskan belanjaannya, sesekali ia mengusap keningnya yang berkeringat dan entah mengapa tubuhnya merasa sangat lelah sekali hari ini. “Mana susu dan pampers untuk Kieran?” Nala menghampiri adik iparnya.“Tidak aku belikan,” jawab Safira tanpa memandang Nala.“Apa? Kenapa tidak kau belikan, Safira?” Nala memutar bola matanya kesal.“Loh, itu ‘kan kebutuhan anak Mbak Nala dan bukan tanggung jawabku,” balas Safira tak menghentikan kagiatannya yang menata kebutuhan dapur.“Kau ini perhitungan sekali jadi orang. Kita keluarga, l
Sadam menggeleng, tak lagi memanggil sang istri yang berjalan cepat keluar dari rumah. Ia segera masuk untuk menemui ibunya. Pria berkulit sawo matang itu mendapati Mirah dan Nala yang sedang saling menggerutu. Ia segera mendekati keduanya dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.“Istrimu itu perhitungan sekali padaku, Sadam!” cetus Nala, wajahnya ditekuk dengan bola mata mengerling.“Perhitungan bagaimana, Mbak?” Sadam tidak mengerti.“Susu dan pampers keponakanmu saja jadi masalah dan satu lagi istrimu itu sangat kurang ajar!” Giliran Mirah yang mengadu pada putranya.“Sadam tidak mengerti maksud Ibu dan Mbak Nala,” ucap Sadam.Lalu, Mirah menceritakan kalau Safira tidak mau membeli susu dan pampers untuk Kieran sampai mereka bertengkar dan dengan lancangnya Safira menampar pipi Mirah.“Tidak mungkin Safira seperti itu,” kata Sadam.“Kau sama saja dengan istrimu. Sama-sama kurang ajar!” Mirah masih marah pada Sadam karena berbohong tentang Safira padanya. Ia juga sering sekali me
“Dasar perempuan tidak tahu diri kayaknya itu cuma akal-akalan si Safira saja,” gerutu Mirah pada Nala.“Ya sudahlah, Bu, biarkan saja yang penting cucian dan baju sudah beres,” jawab Nala.Bagi mereka kesehatan dan kondisi tubuh Safira tidaklah penting, yang penting semua pekerjaan rumah sudah selesai tanpa mereka yang harus mengerjakan. Mereka juga tidak peduli isi dompet Safira asalkan kebutuhan rumah selalu ada bahkan barang-barang pribadi Nala pun kadang Safira yang membayar kalau kakak iparnya itu belanja secara online. Mirah dan Nala sama sekali tidak membantu Sadam membawa Safira ke dokter untuk periksa. Mereka malah kembali mengobrol seraya menonton televisi. Sementara itu Safira dan Sadam tiba di klinik dokter yang sudah dipenuhi beberapa pasien. Sadam menuntun istrinya untuk duduk di kursi tunggu sedangkan ia mendaftarkan Safira terlebih dahulu. Cukup panjang antrean sore itu hingga langit pun sudah mulai gelap dan rintik hujan turun membasahi bumi. Nomor antrean Safira
Sadam dan Safira sangat senang dengan kehamilan ini. Mereka berpikir akan membuat Mirah bahagia karena ini adalah hal yang ditunggu-tunggu. Sadam pun segera memberitahu sang ibu begitu sampai di rumah. Namun, ternyata Mirah sangat terkejut atas kabar yang dari sang putra dan reaksinya tidak sesuai dengan yang diharapkan Sadam dan Safira.Mirah justru sangat marah dengan hamilnya sang menantu. Ia sangat geram karena akan memiliki cucu dari Safira hingga refleks menampar Sadam dan membuat Safira ternganga melihatnya.“Bukankah Ibu sangat menginginkan cucu dariku?” tanya Sadam seraya memegang pipinya.“Ya, memang aku ingin punya cucu darimu, tapi bukan dari perempuan tidak jelas asal-usulnya seperti ini,” bentak Mirah dengan menunjuk sang menantu yang berdiri di samping Sadam.Sadam dan Safira pun saling beradu pandang dengan rasa kecewa yang tergambar di wajahnya. Apalagi Safira merasa sudah terlalu lelah dan sakit oleh Mirah. Sekarang malah harus menelan rasa kecewa yang begitu besar.