Selepas pulang dari kantor, aku tidak langsung pulang. Melainkan mampir di kedai bakso cuanki. Sudah lama rasanya aku tidak kesini. Dan mendadak ingin makan yang pedas-pedas."Seporsi ya, Bang. Yang pedes. Banyakin kuahnya.""Siap, Non cantik."Sembari menunggu pesanan, netraku menatap sekeliling. Udara panas tadi siang perlahan meredup. Langit berubah jingga. Cantik. Aku suka senja, tapi sayang sekali, dibalik senja menyimpan kegelapan. Mungkin sama dengan hakikat hidup, bahwa tak selamanya akan indah. Ada kalanya kesedihan datang menyapa."Ini, Non pesanannya.""Eh? Iya bang." bang Cuanki mengagetkan saja. Tapi salahku juga sih yang malah melamun. Memberikan lembar hijau padanya, lalu menerima kembalian.Saat membuka pintu mobil, sebuah suara memanggilku."Heh! Wanita mandul!"Aku sontak menoleh. Terkejut mendapati ibu mertua yang bersidekap dan tersenyum mengejek."Gimana rasanya hidup sendiri? Dasar wanita mandul!"Tanganku mengepal. Menggeram marah. Wanita itu masih sama belaguny
"Kakak?""He'em. Bahkan tadi kakakku yang antar kesini. Berhubung pintu rumahnya di kunci, jadi saya cuma bisa nungguin di luar deh. Mana udah gelap."Aku mengamati gadis ini. Sebenarnya siapa sih dia? Dari cara berucapnya sama sekali tidak menunjukkan gugup atau terbelit-belit. Cenderung ceplas ceplos malah. Aku bersidekap. Menarik napas panjang. "Siapa nama kakakmu.""Haidar. Oppa Haidar Hafidzul Ahkam."Mataku melotot. Jadi, dia adiknya? Astaga... Kenapa beda banget sifatnya."Kenal kan? Jelas kenal dong. Siapa sih yang gak kenal sama oppa tampanku itu.""Ish. Aku aja baru mengenalnya. Lagian, op... Oppa? Apaan sih?" telingaku merasa aneh mendengar penyebutan gadis ini. Aku tahunya opah, neneknya upin ipin."Ih, mbak Dinda gak gaul deh. Oppa itu, panggilan buat pria tampan korea.""O.""Yah, O doang."Aku tak menyahut. Kelamaan menginterogasinya, sampai lupa belum membuka pintu. Begitu pintu terbuka, gadis itu langsung nyelonong ikut masuk sambil menggeret kopernya."Aku tidur dim
"Oh. Maaf. Mbak gak tahu.""Biasa kok mbak. Lagian aku juga yang milih ikut mas Haidar daripada sama ibu dan bapak. Gak enak."Aku menatapnya tak tega. Ternyata, Haidar tidak seperti yang aku bayangkan. Maksudku, aku pikir dia masih mempunyai keluarga lengkap. Ternyata, bahkan ada yang nasibnya sama denganku. Kehilangan orang tua. Teringat sesuatu, aku mengernyit heran."Loh, tapi.... Bukannya kakakmu pernah mondok ya? Terus saat itu kamu ikut siapa?""Ikut mas Haidarlah, mbak. Orang aku nyamannya sama dia." "Oo... Kamu di asrama putri, dan dia di asrama putra, begitu?""Enggaklah. Aku tidur bareng dia. Waktu itu umurku baru enam tahun, mbak. Aku nangis maksa buat bareng sama mas Haidar. Dan ya... Akhirnya dibolehin deh. Hehe.""Aneh-aneh kamu.""Kalau gak kayak gitu, gak bakal dibolehin, mbak.""Iya juga sih. Terus, pernah dengar juga, kakakmu kan kuliah di Amrik?""Yups. Beasiswa itu. Dia seneng cari ilmu emang. Biaya sekolah nyari sendiri, kuliah juga nyari sendiri. Bahkan pas di
"Eh! Mbak gak kenapa?!" Aku menggeleng. Untung ada Niswah, kalau tidak mungkin aku sudah terjerembab di lantai. Aku menoleh dan perempuan yang menyenggolku tadi nampak berbicara dengan seseorang yang ada di mobil. Tidak nampak itu siapa. Karena posisi kami yang berada di belakang mobil itu, dan dalam jarak sejauh ini."Heh! Kamu!"Dia menoleh. Tapi saat itu juga netraku membulat. Bersamaan dengan dia yang juga sama terkejutnya."Ri... Riri!" pekikku spontan."Mbak kenal?""Ri! Tunggu!" Riri justru berlari menghindariku. Aneh sekali dia. Lagipula aku dan mas Angga sudah tidak bersama, kenapa dia harus mengindar coba. Dan lagi, wajahnya tadi seperti ketakutan. Hey!aku bukan pembunuh atau orang jahat. "Mbak kenal orang itu?"Aku mendesah kesal."Kenal. Tapi gak penting."Niswah baru mengikutiku beberapa saat kemudian, mungkin dia bingung dengan kecuekanku yang tiba- tiba. Maaf, Nis. Mbak cuma kesal dengan dia. Kenapa coba harus kabur? Bikin tersinggung saja.Namun beberapa langkah kem
"Mbak?"Aku tergagap. Bisa-bisanya malah melamun."A... Iya, Nis. Semoga lancar ya?""Lancar?" Aku tersenyum meski Niswah juga tidak tahu."Iya. Ya udah. Mbak lagi kerja. Kamu yang hati-hati.""O, iya mbak. Makasih. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Mendadak moodku turun. Eish! Kenapa sih aku? Itu kan hak Haidar untuk bertemu jodohnya. Lagipula pria itu juga cukup dewasa. Kenapa aku kepikiran? Tidak mungkin aku menyukainya secepat ini. Ish! Pasti baper gara-gara malam itu. Tidak! Ini bukan cinta, melainkan kekaguman semata.*****Moodku sedikit turun gara-gara pikiranku sendiri. Aneh memang. Kenapa wanita harus tercipta suka overthinking, dan moody-an? Sesuai rencana, sepulang dari kantor, aku tidak langsung pulang. Melainkan menuju alamat yang dikirim oleh orang yang kusuruh kemarin.Sebuah gang sempit dan kumuh. Aku menarik napas. Miris rasanya membayangkan mas Angga tinggal di tempat seperti ini setelah kenyamanan yang lama kita lalui bersama. Ku parkir mobil di halaman salah
Baru selesai mandi. Rasanya tubuh kembali bugar. Namun pegal-pegal di badan masih terasa. Baru akan hilang setelah dibawa tidur. Kuambil sisir dan berjalan ke arah jendela. Membuka tirai nya lebar. Menyisir rambut sembari memandangi pemandangan luar. Hingga ketukan di pintu membuatku menoleh."Mbak! Mbak Din!""Ya! Tunggu sebentar.""Mbak. Hehe.""Ngapain cengar cengir, Nis?""Anu, mbak. Boleh ya, mas Haidar nginep disini? Semalem aja. Soalnya---""Iya, gak papa sih.""Bener mbak? Mbak gak khawatir kalau ada yang ngerasani mbak kan?""Iya. Disini gak ada yang peduli dengan tetangga, Nis. Sibuk dengan urusan masing-masing. Kamu gak usah khawatir. Lagian kan ada kamu, bukan cuma aku dan Haidar yang di rumah. Gak papalah. Mas mu juga orang baik kan?""E ya gak terlalu baik juga sih mbak. Dia--""Udah gak papa. Depan kamar mu itu kan ada kamar kosong. Masmu suruh tidur disana aja.""Iya, mbak. Makasih ya."Aku tersenyum, mengangguk."Oh ya. Tunggu sebentar."Aku berbalik dan membuka lemar
Tak dinyana, hujan masih mengguyur hingga pagi ini. Aku bahkan sampai terlambat bangun gara-gara mimpi buruk tadi malam. Aku sempat terbangun dengan napas tersengal dan keringat mengucur deras. Di saat itu, hujan terdengar di luar. Namun tidak dengan keadaanku yang benar-benar kacau. Mimpi itu terasa nyata. Menimbulkan parno berlebihan. Aku sampai tidak berani untuk tidur lagi. Terjaga dengan perasaan was-was karena dihantui mimpi itu. Menuruni tangga dengan tidak semangat. Rasanya mimpi itu menarik seluruh semangatku. Tapi, aku harus beraktifitas. Bangun pukul enam, sampai shalat saja telat. "Morning mbak Dinda."Senyum lebar Niswah adalah hal baik yang pertama menyapa sejak bangun tadi. Disampingnya kakaknya juga duduk meski tak menyapaku. Di meja makanan, sarapan sudah terhidang. Namun tatapku kembali memandang pria itu. Rasanya perasaanku bergemuruh. Rasa takut yang sedemikian besar membuat dadaku sesak."Hehe. Maaf ya, mbak. Niswah lancang tadi bikin sarapan sama mas Haidar. So
"Astaga... Aku ganggu kalian tidur berarti.""Kalau mas Haidar mah enggak. Dia emang jam segitu biasanya udah bangun. Shalat malam. Tapi serius deh. Mas Haidar cuma diem aja di depan kamar mbak Dinda. Kayaknya dia juga bingung. Kan kamar mbak Niswah ditutup."Benar juga. Tapi, itu berarti mereka tahu kalau aku tadi malam mimpi buruk. Tapi, Haidar sampai ke kamarku? Ya Tuhan... Kenapa perasaanku mendadak mencelos."Mbak mimpi apa sih?""Bukan apa-apa. Ya biasalah. Kadang mimpi buruk kebawa sampai ke dunia nyata.""Pasti gara-gara itu, mbak bangun kesiangan?"Aku terkekeh."Terus, jangan bilang mbak juga minta mas Haidar tinggal bareng karena mimpi juga."Aku tersenyum. Menatap gadis itu lembut, lalu mengangguk."Ah... Ternyata mimpi buruk efeknya gede juga ya. Mbak Dinda aja sampe parno.""Haha. Ya gak pasti sih, Nis. Cuma itu kan karena rasanya nyata banget. Mbak jadi takut.""Kalau itu alasannya, aku rayu mas Haidar aja deh. Biar mau tinggal di rumah mbak juga.""Jangan Nis. Biar saj