"Jadi, kita apakan mereka?" tanya Mario seraya memijat pergelangan tangannya. Forin menghela napas panjang memandang Zara. "Dibagi dua? Kau Reon dan aku Zara. Aku sangat ingin melempar Zara ke jurang agar wajah cantiknya rusak." "Oh? Sungguh kejam," kata Mario datar. "Benarkah?" Mulut Forin yang terbuka hendak bicara mendadak terhenti. Suara bariton itu melebarkan matanya. "Sayang sekali!" lanjutnya dingin. Mendadak malam semakin dingin. Forin dan Mario menoleh cepat ke arah Reon. Syok laki-laki itu telah terbangun. "Reon?" Forin mundur selangkah. "Sejak kapan kau bangun?" Mario mengepalkan tangan dan berdecih. "Sejak pelayanku bersimpuh luruh di sampingku." Reon berkedip dan menatap mereka tajam. "Huaaa!" Forin masih trauma, ketakutan bersembunyi di belakang Mario. "O-obat tidurnya pasti sudah habis. Dia bisa melepas borgol rantai itu sekarang juga," cicitnya. "Tidak selama Zara ada di sini."Forin melihat Mario bingung.Dia mengeluarkan senjata api dari dalam kemeja
Melotot setelah pandangannya benar-benar jelas. Tanpa sadar mencengkeram lengan Reon kuat. Dua orang itu berdiri berdampingan seraya membawa senapan. Gelap nan hitam. Tanpa ekspresi terlihat begitu mematikan. Zara tak bisa berkata-kata lagi. Mulutnya tetap terbuka. "Karena kami telah meringkus anak buah yang kau bicarakan, jadi perlawanan ini sia-sia. Hentikan, Mario." sambung Zack. 'Me-mereka datang?' batin Zara. Keterkejutan Zara tidak lebih parah dari Mario. Dia berbalik seutuhnya membelakangi Reon dan Zara hanya untuk tidak percaya. "Ke-kenapa kalian bisa kemari?! Bukankah ada banyak pekerjaan yang menyibukkan kalian sampai lupa diri?!" berteriak sesuka hati.Mungkin hatinya remuk karena seluruh usahanya sia-sia."Bodoh!" jawab Alexa telak membuat Mario tersentak. Dia menyembunyikan senjata api dalam balik jas-nya, begitu juga Zack. Reon tiba-tiba menendang ranjang ke belakang hingga kembali ke posisi semula. Lalu, mendudukinya.Melihat sosok majikannya yang duduk bagai r
Zara masih belum tenang. Kegelisahan yang melanda berasal dari pertanyaan. Dendam apa yang dimiliki Mario? "Waahh, Zara! Syukurlah aku bertemu denganmu lagi! Aku merindukanmu! Sangat-sangat merindukanmu!" Bastian mengambil alih atas Zara. Zara pasrah begitu saja ditarik dan diamati dari atas hingga bawah. Menatap tanah sambil mengetuk dagu, cenderung terlihat melamun. Bastian yang berbinar dicampakkan. 'Sshhh, kupikir aku akan tertembak tadi. Mario sudah gila. Eee, apa tidak masalah membiarkan mereka pergi dengan orang-orang suruhan Reon? Ini malam hari, semuanya bisa terjadi. Lagipula mereka licik,' pikir Zara panjang. Tanpa disadari, dahi berkerut aneh. "Lihat, Zara, lihat! Lihat kemari! Foto pertama di Tokyo adalah dirimu. Ah, berpose lah seperti saat kau membintangi parfum Pak Reon, ayo!"Bastian masih gencar menunjukkan kasih sayang dan rindu, tetapi Zara membatu di dunianya sendiri. Sementara, Reon dan kedua orang kepercayaannya ada di sana. Di trotoar yang begitu ramai t
Zara menggaruk pelipis dengan jari. Senyumnya kaku sampai terlihat gigi taring. 'Yang begini bagaimana cara memulainya, ya?' tawa kering dalam hati. Pasalnya dia tinggal berdua dengan Reon di trotoar lebar nan dingin ini. Rasanya ingin sendiri sepi. Apa mungkin dia tidak sanggup berhadapan dengan Reon setelah berpisah cukup lama? Perlahan Zara menoleh menatap Reon yang terus terpusat padanya. Napasnya tercekat. 'Kenapa dia melihatku terus? Apa ada sesuatu di wajahku?' pikirnya.Lalu, angin dingin yang lebih besar melintas menerpa wajah menggoyangkan rambut mereka. Zara terbuai. Alis terangkat dengan mulut membulat. 'A-apa ini? Aku ... kembali terpesona padanya?' hati sudah bicara. Wajah lelah itu, tatapan tajam nan redup yang menyiratkan sesuatu, apakah Zara terbuai karenanya? Atau kah angin yang menerpa wajah tampan itu membekukan dirinya? Mata Zara tersihir dan dia tidak bisa membantah. Sekarang tidak tahu harus bagaimana. Bertanya kabar atau mencampur segala emosi yang in
Tidak bisa membiarkan wajah laki-laki itu terus murung, Zara mengambil sebuah korek api di sakunya. "Ah, aku masih membawa ini, ya? Kupikir akan membakar Mario dan Forin juga tadi. Habisnya mereka seperti sampah, haha. Emm, sayang sekali kalau kubawa tapi tidak ada gunanya. Apa sebaiknya kubakar pohon-pohon ini saja, ya?" Reon sedikit tertarik. "Bodoh sekali," ujarnya tanpa memaki. Zara yang meliriknya pun tersenyum, lalu menyalakan korek api itu. "Wah, apinya berwarna jingga!" Gemerlap mata Zara yang melebar membuat mulut Reon terbuka. "Sayangnya begitu kecil. Apa menurutmu api ini bisa menyinari satu pohon besar ini, Tuan? Agar lebih terang dan setiap kelopak yang berjatuhan bisa terlihat lebih jelas," lanjut Zara. Tangan itu hangat melindungi api agar tidak padam. "Tidak bisa," jawab Reon singkat. Namun, pandangannya turun sepenuhnya.Zara menoleh. Senyum itu berubah mengartikan sesuatu. "Jika aku bisa membuktikannya, apa kau mau memenuhi satu permintaanku, Tuan?" Alis
Ekspresi Reon mengatakan segalanya. Zara melongo tak sanggup memandang sekeliling, hanya berfokus pada Reon yang diguyur hujan Sakura. Serta lentera itu meneranginya. Sangat cantik di tengah merah mudanya malam. "Indah sekali! Ini tidak buruk. Sangat menawan!" puji Reon alami nan tulus. Zara tersipu sekaligus berbinar dipuji bagai dihantam bunga Sakura.'Aaa, dia memujiku? Panasnya!' hati Zara merasa panas. Untuk saat ini, memandang Reon yang bagai malaikat di depannya cukup menghentikan waktu. Perputaran bumi seakan berhenti sesuai pikiran Zara. Senyum itu ingin dia pandang lebih lama. Bisakah ketulusan senyum Reon dia lihat di kemudian hari? Hingga Reon mengakhiri aksi kagumnya seakan mengubah pandangan tentang bunga Sakura. Sepertinya Zara berhasil menepati janji. Reon menoleh masih dengan senyuman yang sama. Zara yang terbuai pun begitu polos. 'Dia ... tampan sekali!' hatinya masih berseri-seri."Aku mengaku kalah," ucap Reon menyadarkan Zara. Gadis cantik itu mengerjap
"Heh? Itu kah rasa terima kasihmu padaku? Jangan salahkan aku jika menyimpulkan asumsiku. Itu karena kau payah. Pada dasarnya Sakura itu tidak mengerikan. Lihat, api bukan hanya bisa membakar, tetapi menerangi juga, dan Sakura selalu menjadi saksinya." Berkacak pinggang tersenyum meneleng miring. Reon tersentak dalam hati. "Sakura?" gumamnya mengerti dalam tanya. Zara mengangguk. "Hmm, Sakura." Senyum itu tetap sama sampai Reon berhenti terdiam dan membalas senyumnya. "Baiklah, kalau itu maumu, Tuan. Ayo kita ke tempat selanjutnya!" Semangat meninju udara. "Eh? Tapi aku tidak punya rencana lain selain di sini." Patah semangat menjadi kikuk membuat Reon menghela napas berat. Terpaksa Reon lah yang memilih destinasi selanjutnya. Zara meringis pasrah kemanapun Reon pergi. Di tengah malam begini tidak jarang tempat-tempat yang terbuka. Namun, Reon selalu dapat mengejutkan Zara. Di taman hiburan, di laut, di atas gedung tinggi, lalu kembali ke taman Sakura setelah detik jam be
Penerbangan mereka pun dibatalkan. Diduga para tawanan masih berada di sekitar Tokyo.Mereka berpencar menjadi dua kubu. Alexa, Zara, dan Reon mencari di segala sisi, sedangkan Zack dan Bastian mencari informasi dari orang-orang yang bertugas. Mereka terus terkoneksi. "Kita akan ke mana, Tuan?" tanya Zara bingung. Reon melajukan mobil kantornya begitu cepat. Sementara Alexa sibuk bertelepon dengan seseorang. 'Bagaimana mereka bisa kabur? Ah, sudah kuduga akan seperti ini. Orang-orang Reon ditipu atau mereka lalai? Tapi tidak mungkin jika lalai,' pikir Zara kalut. Terlebih lagi Reon tidak menjawab. Dia terus bermain kemudi dengan sorotan setajam elang. Zara berdecak melihat dua orang di depannya.Dia menguasai bangku belakang. 'Astaga, aku masih tidak sanggup menatap aura mereka jika sedang bersama,' pikirnya lanjut. "Baiklah, teruskan mencari!" Alexa menutup teleponnya. Zara tidak sabar menunggu penjelasan Alexa. "Tuan, mereka hilang saat berhenti di toilet umum. Mario mene