Share

04.

"J-jadi, begitulah situasinya saat ini ... Tuan," ungkap Vincent Reus di hadapan seorang pria tinggi besar yang tengah memandangi taman di pagi hari dengan secangkir kopi dan roti kering.

Ammar Charleston. Pria itu menyesap kuat-kuat nikotin pada cerutu yang disematkan diantara dua jarinya. "Haaahh ... aku pasti akan dikutuk orang mati."

"Maaf?"

'Anak itu seharusnya mirip dengan ibunya. Tapi, obsesi itu. Hah. Ini karmaku.' Ammar menghela napas lagi. Otaknya begitu sakit mendengar berita putranya yang kembali membuat ulah dan lagi-lagi selalu bermuara ke hal yang sama. Wanita.

Vincent keluar dari ruangan setelah mendapat perintah. Ia buru-buru menghubungi seseorang. Namun, saat akan masuk ke dalam mobil dirinya bertemu pria tak dikenal yang menghalangi jalan masuk.

"Ck! Ini pasti kerjaan Tuan Muda," gumam Vincent pelan.

Sementara itu.

"Hahaha ... aku tidak sabar menunggu kabar bagus." Edward duduk dengan menyilangkan kaki sambil menatap wajah pucat Crystal. "Kau tahu kabar apa itu?"

"..."

"Ya. Tentu saja kabar orang-orang kiriman pak tua itu kesulitan menghadapi orang-orangku." Edward menyantap omelette yang tersaji dengan wajah berbinar. "Pasti kabarnya selezat omelet buatanmu. Iya kan, Crystal?"

Crystal tetap diam dan tertunduk menahan diri. Ia benar-benar tidak sanggup lagi menghadapi kegilaan Edward. Tubuhnya terus bergetar saat pria itu mulai memanggil namanya dengan nada yang halus dan terdengar menjijikkan.

"Sampai kapan kau akan menahan ku? Aku harus pulang." Crystal mencoba melembutkan suaranya.

Edward tak langsung menjawab dan masih asyik menyantap sarapannya. Cukup lama sampai Crystal menanyakan hal yang sama.

"Rumahmu adalah kediaman Charleston, Crystal." Edward tersenyum ramah. "Dan kalau kau terus bersikap dingin begitu, itu cukup melukaiku, loh."

"Edward. Kita tidak dalam hubungan yang dekat. Aku menghormatimu sebagai mantan besan. Kau adalah mantan calon—"

"Suami kembaranmu? Begitu, kan?" potong Edward mulai kesal. "Lalu kenapa?"

Crystal semakin tertunduk. Ia memegangi kepalanya yang pusing memikirkan cara agar dia bisa keluar dari sini tetapi tidak ada cara yang terpikirkan sama sekali. Ruangan ini seperti penjara dan bosnya ada di depan mata. Benar-benar tidak ada jalan.

"Edward. Kalau kau masih kecewa, aku ... atas nama keluarga dan perwakilan dari Cristine meminta maaf padamu. Aku—"

"Yang kubutuhkan bukan permintaan maaf. Tapi, tanggung jawab." Edward beranjak dari duduk. Ia menarik pinggang Crystal dan membawanya ke pelukan dengan paksa. "Crystal ... kau tahu?"

"..."

"Hal yang kusyukuri adalah kembaranmu dan suamimu pergi dari dunia ini entah ke mana," bisik Edward. Tangannya merayap masuk ke perut Crystal.

Crystal buru-buru menahan lengan kokoh itu agar tidak meraba tubuhnya semakin jauh. "L-lepass!!!"

"Jadi, sebaiknya ... kau tidak membuang waktu dan tenaga untuk mengambil jalan seperti wanita iblis itu." Edward semakin mempererat pelukannya. "Mungkin kau bisa kabur, tapi aku lebih pintar darimu, Sayang!"

"Edward, ukh! Lepas!"

"Jadi, coba saja kalau berani."

Setelah berkata begitu, Edward melepaskan pelukan dan melangkah pergi tanpa menutup pintu. Seakan-akan memberi sinyal pada Crystal dan menguji apakah dia akan kabur atau tidak. Namun, Crystal tidak sepolos itu untuk keluar begitu saja dari kamar tanpa persiapan.

Kesadarannya telah kembali setelah terakhir kali menggila di club malam dan membuatnya terjebak di tempat bernama penjara Charleston. Ia menyatakan diri bahwa ini benar-benar akan menjadi yang terakhir kalinya.

Dia tidak akan pernah ingin kembali pada Crystal Si wanita biasa-biasa saja.

Tidak akan pernah.

Mulai sekarang, dia akan melawan.

Takdirnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status