Share

Nikah Yuk, Gus!
Nikah Yuk, Gus!
Author: Titin Widyawati

Kunci Motor

"Shofi!" teriak salah satu kaum hawa yang ditakdirkan menjadi Bunda Shofi. 

Shofi yang hari itu sedang merias wajah dengan sapuan bedak tipis dan merapikan jilbab, tiba-tiba berjingkat kaget. Suara Bunda teramat lantang, membuat ayam betina milik tetangga tidak jadi bertelur. 

"Tolong ya! Nanti sepulang  kerja mampir ke pondok Yumna, ada titipan dari ibunya di ruang tamu!" 

Shofi bukan anak pondok, tetapi tetangga dan keluarganya banyak yang mengirim buah hati mereka ke pondok untuk belajar agama. Atau setidaknya agar aman dari sentuhan-sentuhan dunia luar yang penuh dengan kehidupan hedonis. Sayangnya, meskipun bukan santri ia sering singgah di pondok yang bersebelahan dengan pabrik tempatnya bekerja. Hal tersebut membuat tetangga dan keluarga yang perlu memberikan tambahan uang saku, sabun, atau sekadar oleh-oleh menitipkan barang kepadanya. 

"Aduh, Bunda! Aku bukan kurir! Plis deh, sampaikan ke mereka aku tidak mau!" 

"Ada orang minta bantuan kok ditolak, mumpung kamu masih hidup, maka bantulah mereka, syukur-syukur bisa dijadikan sebagai ladang amal!" ucap ibu Shofi berlagak seperti seorang Bu Nyai sedang mengisi ceramah.  

"Ya Allah, putrimu yang paling cantik ini merangkap gelar karyawan pabrik sekaligus kurir yang tidak dapat gaji!" 

"Sudah jangan bawel, titipan itu adalah ladang pahala bagimu, jangan banyak protes!" 

"Bunda, ladang pahala gimana? Dulu ada rendang masuk tasku, aromanya kecium para buruh pabrik, akunya kan jadi malu!" protes Shofi sembari mengenang pengalaman buruk yang pernah terjadi. 

Kalau pagi itu Bunda tidak menyuruhnya mampir ke pondok, ia tidak akan kehilangan kontak sepeda motor. Sudah hampir satu jam Shofi dan Yumna hilir-mudik mencari kontak motor, tetapi belum juga ditemukan. Kehadiran Shofi di pondok pesantren membuat kekhusukan mengaji santri berkurang. 

"Ingat nggak tadi jatuh di mana?" tanya Yumna sambil berkacak pinggang. 

Ia mengeluh lelah melalui ekspresi wajah. Jilbab putih yang dikenakan telah berkerut berantakan. Rok lebarnya berkibar diembus angin sore yang merayap perlahan. Langit mulai menguning, belahan dunia barat menampilkan nilai artistik yang menakjubkan. Sekelompok burung prenjak terbang ke arah timur, mereka pulang usai seharian berpetualang mencari makan.

"Kalau ingat aku nggak minta bantuanmu untuk mencarinya, Yumna! Sudah kuambil sedari tadi di titik tempat jatuh!" gerutu Shofi kesal. 

"Aduh Fi, gini saja kamu pulang dulu, besok kesini lagi, kalau kontak motornya sudah ketemu aku kasihkan kepadamu, aku nggak enak sama Bu Nyai kalau nggak masuk diniyah!" 

"Aku kehilangan kontak motor gara-gara semur jengkol Ibumu! Kamu masih sempat mikir urusanmu sendiri, ha?" ujar Shofi dengan nada tinggi. 

Shofi geram, meskipun begitu tubuh masih membungkuk dengan mata tertuju pada permukaan paving halaman pondok. Ia memastikan benda kecil yang menghidupkan mesin salah satu alat transportasi darat itu jatuh di area luar. 

"Kamu juga yang salah, ngapain mau disuruh antar semur jengkol! Di pondok sudah ada yang masak, santrinya tinggal makan," seru Yumna, tidak mau dikalahkan. Meski mereka berdua tidak sekolah di satu atap serupa, tetapi sewaktu TK mereka sangat akrab. Kedekatan mereka berlangsung hingga dewasa dengan dalil tetangga dan orang tua yang saling bersimbiosis mutuaslisme. 

"Loh kok nyalahin aku sih, Yum? Ini semua karena Ibumu yang terlalu khawatir nutrisi makananmu, jadilah dikit-dikit kirim paket makanan! Rasanya aku pengen hengkang dari pabrik dekat pondok ini," 

"Bilang sama ibuku jangan kirim makanan lagi, kirim uang saja,"

"Itu mah, enakan di kamu!" 

Mereka berdua terus mencari kontak motor dengan menelusuri sepanjang jalan utama yang menghubungkan asrama putra dan putri. Halaman depan fokus untuk santri laki-laki, sementara di belakang terhampar kamar-kamar dan aula kegiatan khusus santri putri. Sebenarnya ada gapura masuk ke santri putri lewat jalur timur, sayangnya Shofi memilih jalur barat dengan alasan lebih dekat. 

"Ingat ya, Yum! Pokoknya kunci motorku harus ketemu, aku nggak mau tidur di asramamu seperti ikan pindang!" 

"Ya Allah Fi, Shofi, jangan meremehkan kebiasaan anak santri dong, kami tidur bareng-bareng satu kamar demi menuntut ilmu pengetahuan!" 

"Ilmu kok dituntut, mau dipenjarakan, ha?" Shofi justru meledek. 

Shofi memang tidak mau bermalam di pondok pesantren. Ia bukannya tidak suka tinggal di lingkungan  yang agamis, hanya saja sadar diri merasa tidak pantas. Lihatlah pakaian Yumna dan lainnya, tertutup rapat dari ujung rambut sampai kaki, sementara dirinya memakai celana katun panjang berwarna cokelat dengan stelan tunik serupa awan, jilbabnya pun seputih melati. Ia tidak bisa mengenakan rok panjang, tetapi Bunda menyuruhnya memakai pakaian sopan yang menutup aurat saat ke pondok. Maka celana panjang menjadi alternatif demi menjaga sopan santun. 

Sekadar urusan pakaian saja ia tidak bisa beradaptasi, apalagi hal besar lainnya? Oleh sebab itu Bunda tidak begitu memaksa  dirinya masuk pondok. Lepas SMA langsung tancap gas mencari pekerjaan, sementara Yumna sudah dari SMP menggeluti dunia pesantren, sebentar lagi ia bisa menjadi Musyrifah. 

Yumna memelankan suara, mereka sudah keluar dari area pesantren putri, malu jika obrolan sampai terdengar telinga kaum adam. Persoalannya Shofi tidak peduli, ia tetap bersuara lantang. 

"Aduh gimana ini, aku nggak mungkin pulang jalan kaki kan, Yum?" 

"Sabar, Insya Allah nanti ketemu, kalau memang belum ketemu, nanti kuberi uang untuk naik angkutan umum!" 

"Zaman modern, Yum! Aku bisa pesan ojek online! Jangan dipikir aku tidak punya uang buat ngojek! Hanya saja kalau kontaknya nggak ketemu, besok pagi aku berangkat kerjanya bagaimana?" Suara Shofi justru naik beberapa oktaf. 

Santri yang sedang mengaji di kelas menoleh keluar, menyaksikan dua kaum hawa sedang berselisih. Sesaat pelajaran agama terjeda karena ulah Shofi. 

"Aduh Dia, jangan keras-keras, malu aku kalau dilihat santri putra," kata Yumna sembari mencubit lengan Shofi. 

Perempuan dengan riasan soft yang tidak mencolok itu justru berteriak lantang, "Woi, siapa pun makhluk di sini yang menemukan kontak motor, tolong kembalikan ke saya! Saya mau pulang!" 

Shofi  tidak peduli jika suaranya termasuk aurat yang harus dijaga. Yumna sendiri kewalahan mengatasi tingkah gadis itu. Ia akan menjadi obrolan hangat di meja-meja diniyah, wajahnya akan tersimpan hangat dalam ingatan kaum adam yang melongok melalui jendela kelas. Farhan—salah satu guru mengaji yang sering dipanggil Gus oleh santri di tempat itu menutup kitab-nya. Ia melangkah mendekati pintu yang tidak ditutup. 

"Aduh Fi! Mendingan kamu naik angkutan saja, pencarian kontak motornya dilanjutkan besok, malu dilihat santri putra, apalagi sampai Gus Farhan keluar! Nggak enak aku…" Yumna memohon pengertian kepada Shofi dengan rupa bersemu merah. "Plis!" 

"Nah kali aja salah satu santri di dalam menemukan kontak motorku, lebih baik mereka tahu kan?" Shofi menantang. 

"Yasudah Fi, aku kembali ke asrama putri dulu. Maaf dan terima kasih sudah antar titipan ibuku." 

Yumna kabur, ia tidak mau menjadi pusat perhatian kaum adam. Malu dan tidak terbiasa berlama-lama di area santri putra. 

"Hei!" 

Guru yang dipanggil Gus itu mendekati Shofi, tidak berani menatap wajah, dengan sopan ia ucapkan salam sebgai bentuk penghormatan. 

" … ada yang bisa saya bantu?" ucap Gus Farhan. Ia merupakan putra tunggal pemilik pondok pesantren 'Asmaul Khusna,' meski masih muda sudah diberi kepercayaan oleh pemimpin pondok yang kerap dipanggil Abah Aziz, untuk menularkan ilmu agama yang telah dipelajari di Kairo Mesir. 

Sejak pulang dari Mesir ia langsung mengajar. Paras Gus Farhan serupa langit tanpa mendung sedikit pun, putih bersih. Senja itu ia memakai pecis dengan stelan sarung hitam dan kemeja putih, kisi-kisi matahari jatuh menerpa tubuh, menciptakan bayangan di bumi. Shofi menatap lekat sosok yang justru menjaga pandangannya supaya tidak menelusuri lekuk wajah Shofi. 

"Kontak motor saya hilang, bisa bantu cari nggak?" Shofi bicara sedikiit ketus. 

"Baiklah, nanti biar dibantu mencari santri-santri di sini, sekarang Mbak tunggu dulu di ruang tamu pondok, kalau sudah ketemu nanti saya antarkan." 

"Terima kasih." 

Shofi langsung bergegas menuju kantor pondok putra setelah gapura masuk. Ia memang sengaja parkir di area tersebut. Sayang setelah menunggu lebih dari dua jam, kontak motornya tidak kunjung ditemukan. Santri Gus Farhan sudah mencari ke selokan, ke sela-sela paving, di gang perbatasan dengan asrama putri, juga di kamar mandi, hasilnya nihil. 

Langit mulai menggelap, pikiran Shofi dilanda panik, ia tidak mungkin pulang terlampau larut. Shofi takut dengan kegelapan, apalagi terjebak di jalanan seorang diri di waktu malam. 

"Maaf, Mbak. Kami belum menemukan kontak motornya, kalau Mbak bersedia, silakan menginap di pondok putri atau menghubungi mahramnya di rumah untuk menjemput!" ungkap Gus Farhan dengan lembut. 

"Saya belum menikah!" sentak Shofi sedikit kesal karena sudah menunggu lama tetapi tidak menuai hasil. 

Gus Farhan tersenyum, Shofi menyaksikan lengkung ekspresi di wajah pemuda alim itu, sangat meneduhkan dan membuat pemandangnya dialiri kedamaian. 

"Mahram bukan berarti suami yang mendampingimu, Mbak. Mahram adalah laki laki atau perempuan kerabatmu yang tidak boleh dinikahkan, Mbak. Ada, kan?" Gus Farhan menjelaskan. 

"Oh begitu …," Shofi tersipu malu. "Kakak saya jauh di seberang pulau, tidak tahu kapan pulang, mustahil saya hubungi untuk ke pondok ini," ucap Shofi dengan nada tinggi. 

Gus Farhan lagi-lagi tersenyum. "Saya hanya bisa memberi solusi menginap, itu pun jika Mbak bersedia, jika tidak silakan mencari alternatif lain, saya permisi, waktu isyak sebentar lagi datang, sudah banyak santri yang menunggu di masjid. Assalamu'alaikum." 

Ekspetasi Shofi ada salah satu santri yang diutus untuk mengantarkannya pulang, sayang Gus Farhan tidak melakukan hal tersebut. Ia mendengkus kesal, tetapi enggan pula mengiba di depan umum.

"Ngomong dong dari tadi kalau nggak ketemu, saya kan bisa pulang sebelum malam datang!" sungut Shofi sambil mendelikkan mata dan berkacak pinggang. 

Shofi melangkah layu menjauhi pondok pesantren. Gus Farhan memperhatikan punggungnya yang bergerak ragu-ragu dari jendela masjid. Ia sanggup membaca ketakutan pada ekspresi Shofi, mendung tetiba hinggap menyeluruh di wajahnya. Akan tetapi, Shofi bukan bagian dari keluarganya, ia juga bukan mahramnya, tidak wajib untuk melindungi kaum hawa  tersebut. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status