Cinta itu buta?Sepertinya kalimat seperti itu sudah sering sekali di dengar atau dibaca oleh banyak orang. Kenapa bisa disebut seperti itu? Disya juga salah satu orang yang bertanya-tanya tentang itu.Yang ia tahu... Devan adalah seorang laki-laki yang berhasil bersemayam di hatinya. Kenapa? Jika ada yang bertanya seperti itu, Disya juga tidak mengerti.'Bukankah cinta juga tidak mengenal alasan apapun?'Benar. Kesalahan Devan memang tidak pantas untuk dimaafkan, lelaki itu sudah sangat jahat sedari awal, menjadikan Disya alat untuk balas dendam, namun ujung-ujungnya Disya yang disakiti, dan di selingkuhi. Bahkan, calon buah hati mereka pergi meninggalkan mereka tanpa diketahui kehadirannya sebelumnya.Harusnya Disya bisa membuka hati, mencari lelaki yang jauh lebih baik sebagai pengganti Devan. Namun, itu sangat sulit sekali. Disya hanya mencintai Devan."Pak Devan pelet Disya ya?"Devan yang baru selesai memarkirkan mobilnya di parkiran rumahnya, lansung mengalihkan pandangannya se
"Saya masuk saja ya, Sya?"Disya menggeleng dengan bibir yang dikerucutkan. "Antar Disya sampai di sini saja, Pak Devan langsung pulang saja ya....""Kamu tadi di jemput saya, Bunda juga sudah tahu kamu pergi dengan saya. Saya justru merasa tidak enak jika tidak berpamitan dengan Bunda."Lagi-lagi Disya menggeleng, tidak mengijinkan Devan untuk masuk ke dalam rumahnya. Saat ini, mereka berdua masih berada di dalam mobil, mobil milik Devan terparkir cukup jauh dari rumah Disya—terparkir tepat di rumah keempat dari sebelah kanan rumah Disya. Devan berniat untuk mengantar Disya sampai masuk ke dalam rumah, lelaki itu juga berniat akan menemui dulu kedua orangtua Disya dengan maksud menyapa dan sekedar basa-basi—maksudnya tidak mungkin 'kan Devan mengantar Disya tapi tidak ada omongan apapun kepada kedua orang tuanya?"Pak Devan pulang saja ya. Dan... tentang hubungan kita, bisa tidak jika kita merahasiakannya dulu?" Saat mengatakan kalimat itu, Disya menundukkan wajahnya dalam, dengan ja
"Mommy!" Kai berbinar ketika matanya menangkap sosok Disya yang sedang berjalan ke arah mobil yang ditumpanginya. Membuka pintu mobil, keluar dari dalam lalu berlari memeluk Disya."Selamat pagi sayang!" Disya mengelus kepala Kai lembut dengan senyum lebar yang menghiasi bibirnya."Pagi, Mom!""Sudah sarapan?" tanya Disya, menggandeng tangan Kai untuk kembali berjalan menuju ke mobil.Kai menggeleng. "Nanti kita ajak Daddy sarapan bubur ayam yang dekat sekolahan, Mom. Daddy belum pernah mencobanya."Disya mengangguk, lalu menatap Devan yang sedari tadi berdiri di samping badan mobil, memperhatikan interaksi Disya dan Kai dengan penampilan sudah rapih mengenakan kemeja berwarna hitam dipadukan celana bahan berwarna senada. Tampan, Disya selalu terpesona."Daddy harus mencicipi bubur ayam favorit kita, ya," kata Disya semangat sambil tersenyum menatap Devan."Tentu saja!" Kai menjawab.Mereka langsung masuk ke dalam mobil."Tidak ada yang mau duduk di samping Daddy?" Devan menengokkan w
Devan menengokkan wajahnya ke kiri dan ke kanan, memperhatikan sekitaran rumah. Setelah memastikan keadaan aman, tangan kanannya terangkat untuk mengetuk pintu kayu di depannya."Sya? Ini saya," kata Devan disela kegiatan mengetuk pintu rumah."Pak Devan. Masuk saja pintunya ngga dikunci," kata Disya dari dalam rumah dengan suara yang cukup kencang.Devan memegang handle pintu, membukanya perlahan. Benar, pintu tidak dikunci, lelaki itu langsung masuk ke dalam, mengendap-endap, menatap ke setiap penjuru rumah berlaga seperti seseorang yang akan mencuri saja. Tersadar dari gelagat aneh yang lelaki itu lakukan, Devan menegakkan tubuhnya, kembali memanggil Disya, "Sya?""Disya di kamar, Pak Devan masuk aja."Dengan langkah pasti Devan melangkahkan kakinya menuju ke kamar Disya. Sekitar tiga tahun yang lalu, Devan pernah mengunjungi rumah ini, tentu dia hafal di mana letak kamar Disya. Pintu kamarnya terbuka lebar, saat Devan baru melangkahkan kakinya di depan pintu, dia melihat Disya yan
"Setelah pulang dari sini, kita bisa menemui Bang Sam. Membicarakan tentang hubungan kita."Disya pada akhirnya mengatakan itu saat masih berada di Jogja di rumah nenek dan kakeknya. Sebelum membicarakan hubungan mereka kepada masing-masing kedua keluarga, Disya memutuskan membicarakannya kepada samudra terlebih dahulu. Setelah Samudra setuju, baru kedua keluarga akan diberi tahu.Devan jelas langsung setuju. Lelaki itu semangat sekali.Besok, Disya sudah ada janji dengan Samudra untuk bertemu. Katanya lelaki itu akan menjelaskan hubungannya dengan Naya. Itu bagus, setelah itu Disya akan menyuruh Devan untuk datang, dan mereka akan membicarakan tentang hubungan keduanya. Mereka butuh kejelasan dari hubungan mereka 'kan? Tidak mungkin mereka berdua akan terus bersembunyi seperti ini.Semoga Samudra akan mengerti, dan luluh.Omong-omong tentang hubungan Samudra dan Naya yang katanya sudah berakhir sejak lama, apakah Devan tidak akan terkejut mengetahuinya? Apakah benar sikap Disya yang
"Setelah pulang dari kantor Abang free ngga? Atau ada janji, atau ada urusan?" Naya sudah bergelayut manja melingkarkan tangannya di lengan Devan. Mereka sedang menuruni anak tangga menuju ke ruang makan untuk sarapan pagi tadi."Jam delapan sudah ada janji. Kenapa memangnya?" tanya Devan penasaran."Yah." Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Urusan pekerjaan?" lanjutnya bertanya.Devan menggeleng. "Bukan urusan pekerjaan sih, tapi ini urusan cukup penting, sangat penting. Ada apa?"Jam delapan, Disya memberi informasi jika akan bertemu dan membicarakan tentang kembalinya hubungan mereka kepada Samudra. Tentu saja pertemuan ini sangat penting untuk Devan dan Disya."Malam ini, niatnya Nay mau ngenalin calon Nay, sama Abang."Devan langsung menatap Naya dengan kening mengkerut bingung. Namun, detik berikutnya sebuah senyuman kecil tercetak jelas di bibirnya. "Calon?" ulang Devan memastikan kembali ucapan adiknya.Naya mengangguk sambil mengulum bibirnya. "Jangan bilang dulu sama Mamah
"Demi Tuhan saya tidak akan menyetujui hubungan kalian berdua. Kamu akan membalas dendam? Melakukan apa yang sudah saya lakukan kepada kedua adikmu?" Devan menatap Samudra yang duduk tepat di depannya dengan tatapan tajam.Samudra tidak merasa terintimidasi dengan tatapan Devan sama sekali, bahkan lelaki itu dengan berani membalas tatapan tajam Devan."Naya tidak ada hubungan apapun dengan masalah ini. Kamu hanya dendam dengan saya 'kan? Kamu harusnya membalas dendam langsung kepada saya, tidak perlu menyeret Naya ke dalam masalah ini!" Gurat marah jelas terlihat dari wajah Devan, bisa dilihat wajahnya yang memerah, kilat marah terpancar dari kedua matanya, rahangnya mengeras, urat-urat disekitaran lehernya bahkan terlihat menonjol. Devan benar-benar sedang marah saat ini.Samudra menyunginggkan senyumnya. "Balas dendam... kalian berdua terus membahas masalah itu. Saya muak mendengarnya.""Lalu apa tujuanmu ingin menikahi Naya?"Samudra terdiam untuk beberapa saat, melipat kedua tanga
Disya menundukkan wajahnya dalam, masih menangis sesenggukkan. Benarkah ucapan yang dikatakan Devan beberapa menit yang lalu? Tentang dia yang tidak akan menemui Disya lagi? Itu artinya hubungan mereka benar-benar berakhir. Padahal mereka baru memulainya kembali, tapi sudah harus diakhiri begitu saja?“Siapa yang mengundang Pak Devan untuk datang ke sini?” tanya Disya mendongakkan wajahnya menatap Samudra yang masih duduk di tempatnya semula, dengan tatapan marah tentu saja.“Naya, kita berdua sepakat untuk memberi tahu rencana pernikahan kami berdua.”Disya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Menikah… dengan alasan hanya ingin? Apa-apan itu, Bang?” tanya Disya lagi dengan suara sangat pelan, namun ada penekanan di setiap kalimatnya.“Kita saling mencintai.”Perempuan itu tersenyum miring mendengar ucapan Samudra. Bangun dari duduknya, lalu kembali duduk di kursi yang berada di sampingnya—kursi yang Devan duduki tadi, agar bisa berhadapan langsung dengan Samudra. Menatap tepat di manik m