Melangkahkan kakinya dengan tergesa di lorong rumah sakit, manik matanya dengan teliti mencari nama ruangan yang akan dikunjunginya. Karena langkahnya yang terburu-buru, perempuan itu bahkan sampai menabrak beberapa pekerja, maupun pengunjung di sana.‘Paviliun Amarta’Disya menemukan ruangan yang sedang dicarinya—tanpa banyak berpikir ia langsung membuka pintu di depannya bahkan tidak mengetuk terlebih dahulu. Membuat beberapa orang yang ada di dalam langsung menatap ke arahnya.“Hah... hah...,” Menghembuskan napas panjang karena bagaimanapun ia sampai di ruangan ini dengan tergesa, juga jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya karena rasa khawatir—tetapi tunggu—“Dio!” Perempuan itu ingin berteriak memanggil nama salah satu temannya, tetapi masih ia coba tahan karena mengingat ini adalah rumah sakit, walaupun begitu Disya sudah melotot kesal, tangannya mengepal ketika melihat lelaki itu sedang asyik menyantap pizza bersama dengan teman-teman yang lain—termasuk Alif—lelaki
“Disya?”Menggigit bagian bawah bibirnya sembari memejamkan matanya perlahan. Disya rasanya ingin menghilang ketika suara itu terdengar memanggil namanya—salah satu suara yang selama seharian ini coba ia hindari.“Kamu menghindari kami?”Membalikkan tubuhnya dengan pelan, Disya berusaha menampilkan senyum lebar ketika ia sudah menatap beberapa orang yang duduk di salah satu meja VVIP yang tersedia. “Oma Nia..,” sapa Disya mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan perempuan tua yang sedang duduk menatapnya dengan tatapan angkuh. “Disya dari pagi sibuk ngurus beberapa hal, jadi baru bisa nyapa sekarang, maaf ya Oma, Om, Tante..,” lanjutnya.“Mau taruhan ngga, pernikahan Samudra sama salah satu keluarga Ganendra hanya bertahan beberapa tahun?” tanya Angelina menatap keluarganya yang juga sedang duduk mengitari meja dengan senyum miring.“Dua tahun? Satu tahun?” Azura menebak.“Mending kalau nyampe tahunan, siapa tahu bertahan cuman beberapa bulan doang?” Vita—perempuan berambut
“You look so beatiful baby girl....”Tidak. Disya tidak bisa diperlakukan seperti ini, perempuan itu bisa merasakan hangat di kedua pipinya—sudah jelas pipinya pasti memerah karena ucapan mantan suaminya. Oh gosh! Sudah berapa lama pipinya tidak merasakan sensasi seperti ini?“Pak Devan mau dibawakan minum?” tanya Disya mencoba mengalihkan topik pembicaraan.“...” Tidak menjawab, lelaki itu malah terus menatap manik mata Disya.Kembali mengalihkan pandangan. “Disya ambilkan minum dulu,” katanya yang sudah bersiap akan pergi, tetapi lengan kanannya dicekal oleh Devan, membulatkan matanya—tentu saja Disya dibuat terkejut dengan hal itu, dan berakhir mengurungkan niatnya untuk pergi. “Eum... butuh sesuatu yang lain, Pak?” tanya Disya lagi memastikan.“...” Lagi-lagi tidak ada jawaban. Disya malah mendapati tatapan Devan yang benar-benar tidak lepas dari maniknya, membuat detak jantungnya bergemuruh lebih cepat dari biasanya. Kan! Bagaimana bisa cepat move on, baru ditatap begitu saja ole
Disya menatap pantulan dirinya di cermin, bekas kemerahan di bagian leher sampai bagian atas dadanya karena ulah Devan masih tercetak jelas karena tidak banyak yang memudar. Menghela napasnya pelan, Disya tidak berharap itu akan terhapus secepatnya—tidak mencoba menghapus bekas itu, Disya lebih memilih menggunakan pakaian turtleneck untuk menutupi bekas kemerahan itu agar tidak dilihat oleh orang-orang.Keluar dari kamar, menuruni tangga, mencari keberadaan kedua orang tuanya. Di ruang tengah tidak ada, di meja makan tidak ada—Disya mengernyitkan kening ketika samar-samar mendengar suara obrolan dari arah halaman samping, mengenal dengan baik siapa-siapa saja yang ada di sana dari suaranya.Alif—tebakan Disya benar, lelaki itu sedang duduk mengobrol dengan Bunda dan Ayahnya di salah satu kursi menghadap ke arah kolam renang. Melangkah menghampiri mereka, membalas senyuman Dina saat perempuan itu menyadari kehadiran putrinya.“Sudah baikan emang?” tanya Disya yang langsung duduk di sam
“Sudah ngga ada yang ketinggalan? Power bank, dompet, obat-obatan—”“Bunda, lagian Disya cuman bawa satu tas ransel aja.”“Ya Bunda kan cuman ngingetin, Sya. Siapa tahu kamu lupa masukin ke tas ‘kan.”Disya tersenyum kecil, lalu memeluk Bundanya erat sekali. “Sudah semua kok, Bun.”Disya sebenarnya hanya diijinkan membawa satu tas ransel, tanpa membawa koper untuk baju-baju dan barang bawaan lainnya. Keluarganya khawatir jika Disya akan melupakan barang bawaannya. Lagipula Disya mempunyai banyak pakaian dan barang-barang lainnya di rumah Nenek dan Kakek, jadi Disya tidak perlu repot-repot untuk membawa barang bawaan keperluannya dari rumah.“Hati-hati sayang, live location dari sekarang ya, trus kirim ke grup.” Kali ini Gina yang berbicara. Membuat perempuan yang masih memeluk Bundanya kini melonggarkan pelukan untuk mengambil handphonenya, menuruti perintah Gina yang langsung mengirimkan live location di grup keluarganya.“Sudah
“Mamah sama Kai belum datang?” tanya Devan ketika Edi—security di rumah keluarganya membukakan pintu mobil untuknya.“Belum, Pak. Ada Mba Naya sama Dokter Sam di dalam, baru sampai rumah sekitar lima belas menit yang lalu,” jelas Edi.Devan mengangguk, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, baru saja beberapa langkah kakinya masuk, maniknya lansung menatap Samudra yang juga sedang melangkah hendak pergi—manik keduanya bertemu, setelahnya lelaki itu berbalik, kembali melangkah menghampiri Naya yang sedang berdiri di dekat sofa.“Saya lupa sesuatu,” kata Samudra yang jelas berbicara kepada Naya bukan kepada Devan yang masih berdiri di tempatnya.Naya terlihat tersenyum, sesekali melirik Devan. “Lupa apa—”Devan mendelikkan matanya tajam ketika melihat pemandangan di depannya, kedua pengatin baru itu terlihat sedang bercumbu sekarang—tanpa perduli kehadiran Devan, bahkan seolah sengaja memamerkan itu kepadanya.“Dokter Sam, sudah... eumm—”“Saya tinggal sebentar ya, sayang,” kat
“Tipe gue oke ngga, Bang?”Devan menengok, menatap Gio yang juga sedang menatapnya dengan senyuman lebar juga kedua alisnya yang dinaik turunkan setelah mengajukan pertanyaannya.“Hm.”“Cantik banget Sarah—”“Sudah sedekat itukah kalian sampai kamu tidak memanggil Sarah dengan sebutan Mba—dia lebih tua dari kamu ‘kan,” ucap Devan, kembali menyuapkan potongan daging ke dalam mulutnya.“Sarah ngga mau dipanggil Mba sama gue.”Devan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Seleramu perempuan yang umurnya lebih tua, kenapa?”“Wih! Sejak kapan Pak Devan tertarik sama urusan percintaan saya?” Gio bertanya, sembari mengulum bibirnya agar dia tidak tersenyum.“Saya hanya ingin tahu saja, ada masalah?” tanya Devan bertanya dengan delikan tajamnya menatap Gio.“Hehehe... ngga sih, Bang,” jawab Gio sambil terkekeh pelan, ciut jika ditatap begitu oleh Kakak sepupunya.“Kamu cenderung memilih sifat submissive dalam hubungan percintaan?”“Ohok—ohok! Uhh!” Gio terbatuk hebat mendengar pertanyaan Devan, memb
Alif—Devan ingat dengan jelas siapa lelaki itu. Salah satu mahasiswa yang pernah dia ajar di kelasnya, melamar Disya tepat di hadapannya waktu itu—tidak mengajak Disya untuk menjalin hubungan hanya sekedar pacaran saja, tetapi langsung mengajak Disya untuk menikah. Luar biasa bukan? Kembali bertemu setelah sekian lama di sekolah Kai waktu itu, lelaki itu jelas masih terlihat menyukai Disya, walaupun Alif sudah mengetahui tentang hubungannya dengan Disya, tetapi sepertinya hal itu sama sekali tidak ada masalah untuk Alif. Tidak berubah—Alif masih menyukai Disya. Secara tidak terduga Kai juga memutuskan untuk tinggal di rumahnya, tidak tinggal dengan Disya lagi. Alif kembali, dan juga Kai yang memutuskan untuk tinggal di rumahnya lagi membuat Devan semakin yakin untuk melepaskan Disya. Dia tahu Disya mencintainya, tetapi mereka memang tidak akan pernah bisa bersama lagi. Maka dari itu dia kembali bersikap seolah acuh dan dingin kepada Disya, meyuruh Disya membuka hati untuk Alif. Te