Mobil sedan hitam milik Haris sudah melaju jauh keluar dari tol. Brisya tak bersuara sejak tadi. Ia duduk di kursi belakang. Di depan Frans dan Haris sedang asyik mengobrol. Sesekali Brisya mengamati pantulan wajah Haris di kaca spion, ganteng sekali meski hanya mengenakan pakaian santai. Saat rapat kemarin harusnya Vico yang ikut keluar kota namun karena ibu Vico sakit-sakitan dan sering kambuh maka Brisyalah yang akhirnya harus ikut. Brisya memandang keluar kaca jendela, mobil mereka mulai melewati pegunungan dan bukit. Entah berada di kota apa ia sekarang. Brisya seperti dejavu dengan pemandangan ini. Tapi ia tak bisa mengingat apapun. Mobil Haris kini memasuki sebuah Hotel di pegunungan. Suasananya dingin dan sejuk. Mereka harus menginap karena hari sudah sore, besok mereka survei dan setelahnya langsung pulang. Haris memesan 3 kamar untuk mereka. Masing-masing kamar berbentuk rumah dengan jarak 3 meter di antara rumah yang lain. Baru kali ini Brisya menginap di tempat lain s
Brisya merapikan kayu di perapian sebelum menyalakan api yang sudah ia siapkan. Haris tidur pulas sejak tadi, Brisya akhirnya mengalah dan membiarkan Haris tidur di tempat tidurnya. Sejak tadi Brisya mengurangi volume tivi setelah menyadari bahwa Haris sudah terlelap. Sekarang malah Brisya kedinginan, hujan membuat hawa menjadi semakin terasa seperti di kutub. Begitu kayu-kayu sudah tertumpuk rapi, Brisya segera menyulutkan api di antaranya. Tak butuh waktu lama, kamarnya mulai terasa hangat. Ragu Brisya mendekat ke tempat tidur, ia ingin melihat Haris yang sedang terpejam lebih dekat. Begitu manis dan tampan. Ingin rasanya Brisya memeluk tubuh yang sedang tidur meringkuk di balik selimut itu. Sepertinya Haris punya trauma dengan hujan hingga histeris ketakutan. Brisya tersenyum bila mengingat betapa paniknya lelaki kesayangannya itu tadi. Brisya menolehi jam di atas tivi, jam 10 malam. Berarti sudah 3 jam Haris tertidur. Hujan di luar belum juga reda meski tak sederas tadi. Brisya
Hujan semalam berhenti pada pukul 2 dini hari. Haris masih belum tidur saat itu, ia lantas kembali ke kamarnya dan beristirahat. Pagi sekali telefon dari resepsionis sudah membangunkannya untuk sarapan. Usai mandi dan berbenah Haris segera turun ke restoran dan menyantap sarapannya. Dia harus segera ke lokasi survei sebelum jam delapan. Brisya masih belum nampak. Haris masih sedih bila mengingat kejadian semalam. Kedua matanya pun sepertinya masih bengkak karena semalaman menangis. Semoga Brisya tidak menyadarinya bila bertemu Haris nanti. Saat sarapannya sudah habis dan Brisya belum juga muncul, Haris mencoba menelfonnya. "Halo.""Briy, kamu nggak sarapan?" tanya Haris cepat."Aku nggak laper, udah mau berangkat?" "Sarapan dulu, ya? Apa perlu aku bawain ke kamar kamu?""Nggak usah, aku nggak laper, kalo udah mau berangkat kabari aku!""Iya ini mau berangkat, sih. Jam 8 ditunggu di lokasi tapi kamu sarapan du—""Udah dibilang nggak laper!!" Tut..tutt..Haris mengawasi ponselnya s
Haris dan Brisya pada akhirny tertidur dengan tubuh saling berpelukan. Haris lelah karena semalaman tak bisa tidur, sedangkan Brisya memang gampang sekali tertidur pulas di manapun ia berada. Hujan sudah mulai reda, entah sudah berapa jam mereka tertidur. Brisya terbangun saat lamat-lamat suara ponselnya berdering, Haris akhirnya juga ikut terbangun. Ia mengurai pelukannya saat menyadari hujan sudah berhenti. Kaca mobilnya buram berkabut. Saat Haris telah beringsut duduk dan sedikit menggeser tubuhnya, Brisya lantas mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.Aji is calling ...Sebaris nama yang muncul di layar membuat Brisya tertegun. Brisya lantas mengawasi Haris dengan keki, Aji pasti akan bertanya apa Brisya sudah pulang atau belum. Karena tak tahu harus mengatakan apa, akhirnya Brisya membiarkan ponselnya tetap berdering di tangannya. Namun, tiba-tiba Haris merampas ponsel di tangan gadis itu dan menon-aktifkannya. Tentu saja hal itu membuat Brisya kaget. "Aku pengin berdua saja d
Haris berhenti sejenak, ia menarik napas dan menatap Brisya dalam. Napas mereka telah sama-sama memburu."I love you," desis Haris entah yang keberapa kalinya.Brisya tersenyum tak menyahut. Ia sudah kepalang tanggung. Nafsunya sudah sampai di ubun-ubun. "Kamu yakin mau melakukan ini denganku??" tanya Haris dengan napas tertahan, lalu menghembuskannya pelan. Begini saja sudah membuatnya seperti mau mati karena kehabisan oksigen. Brisya tak menjawab, ia menarik Haris ke dalam pelukannya dan menciumnya lagi. Kali ini berganti Brisya yang menindih tubuh Haris. Brisya yang kecil dan ramping ternyata sanggup mendorong Haris dan menindihnya. Tentu Haris tak mau kalah, ia berguling dan kembali menindih Brisya hingga mereka sampai di ujung tempat tidur. Sekali lagi berguling mereka pasti terjatuh dari ranjang itu. Namun saat sedang asyik bergumul, tiba-tiba terdengar suara hujan di luar kamar, Haris berhenti sesaat. Ia menoleh ke jendela. "It's okey, Om, ada aku di sini!" bujuk Brisya s
Butuh waktu lama untuk bisa menenangkan kepanikan Haris. Brisya bahkan hampir terlelap sambil memeluk Haris sebelum kemudian ketukan di pintu mengagetkannya. Brisya menolehi jam di atas tivi, jam 8 malam. Brisya mengurai pelukannya dan membiarkan Haris tertidur setelah memasang selimutnya. Brisya lantas beranjak membuka pintu, seorang waitres mengantar makan malam. Usai menata makanan di meja dan menyalakan perapian agar kamar menjadi hangat, waitres itu pamit dan meminta Brisya untuk menghubungi resepsionis bila makan malamnya sudah selesai, agar bisa dibereskan lagi. Perlahan Brisya menghampiri tempat tidur, Haris sepertinya terbangun gara-gara suara berisik dentingan piring yang tadi ditata oleh waitres. Saat Brisya naik ke atas tempat tidur, Haris membuka matanya lemas. Matanya bengkak, Brisya sedih melihat Haris kacau seperti itu. "Makan, yuk!" tawar Brisya sambil menyibak selimut Haris. "Kamu aja makan dulu, aku nggak laper," sahut Haris lirih, ia memejamkan matanya lagi. "
Usai 'pertempuran' itu, Haris dan Brisya terlelap hingga melewatkan waktu sarapan. Mereka berdua terbangun jam 11 siang. Pada akhirnya Haris meneruskan biaya hotel karena tidak mungkin mereka cek out dan berbenah hanya dalam waktu 1 jam. Saat Brisya mandi, Haris menyelinap masuk. Ia 'melakukan'nya lagi di sana. Di bawah shower dengan kucuran air hangat. Sedikit lebih lama dan panas. Dan kembali Haris mengeluarkan lendirnya di dalam 'milik' Brisya yang sempit dan basah, Haris lebih suka mengeluarkannya di dalam lubang penuh kenikmatan itu. Pada akhirnya mereka meneruskan mandi berdua. Haris tidak bisa menahan ledakan hormon testosteronenya setiap kali melihat Brisya. Ia tergila-gila pada setiap inci tubuhnya.Usai mandi, Haris menggandeng Brisya untuk sarapan di restoran. Meski sudah terlambat namun setidaknya mereka berdua harus mengisi energi setelah 'berperang' semalaman. "Rasanya aku gak pengin pulang," desis Brisya sambil menikmati sarapannya. Haris mengawasi Brisya sambil mengu
Haris menutup pintu kamar dengan keras. Ia merasa kesal sekali. Brisya sama sekali tak memahami phobianya. Bagaimana mungkin dia sengaja mengajak Haris bermain hujan? Apa Brisya ingin dia mati ketakutan?? Ragu Haris mengintip Brisya dari balik tirai, gadis itu masih duduk dengan tenang di bangku tadi. Haris mendengus jengkel. Suara rintik hujan mulai terdengar di atap kamar, Haris buru-buru meraih remote tivi, menyalakannya lalu memperbesar volume hingga batas maksimal seperti biasa. Dengan kesal Haris mengintip Brisya lagi, ia khawatir namun tidak berani berbuat banyak. Brisya masih duduk tenang sambil mendongak menikmati gerimis yang semakin lama semakin deras. Haris menutup tirai itu cepat. Ia mendengus kesal. Ingin rasanya Haris bersembunyi di balik selimut tapi ia masih mengkhawatirkan Brisya yang sendirian di luar. Haris berjalan mondar-mandir berusaha menutupi paniknya. Hujan di luar semakin deras, langit yang tadinya cerah tiba-tiba menjadi gelap seperti sore hari. Haris