"Jadi Aya ke Semarang dan kamu juga mau menyusul ke sana?" "Iya, Paman. Tapi sebelum ke sana, saya mau ke makam dulu. Apa Paman bisa mengantar saya ke makam ayah mertua saya?" Devan tengah berkunjung ke rumah Pak Karman saat ini. Sengaja ia membiarkan istrinya berangkat bersama mamanya, agar ia bisa pergi ke makan Pak Ali terlebih dahulu. Sebagai seorang suami, ia ingin tahu lebih banyak tentang sang istri. Terutama tentang ayah dan ibunya. "Tentu saja, saya akan mengantarmu ke sana." "Silakan diminum dulu, Nak Devan." Bu Siti menaruh dua cangkir kopi di meja dan menyuguhkannya. "Aya pergi sama designer yang cantik itu, ya?" Devan hanya mengangguk. "Designer siapa to, Bu?" tanya Pak Karman. "Itu lo, Pak, yang waktu itu menginap di rumah Aya, dia baik dan cantik. Sudah berumur, mungkin seumuran Ibu, tapi badannya masih bagus dan juga cantik. Ibu aja iri melihatnya," jelas Bu Siti. Tentu saja Devan hanya mendengarkan saja. Ia tahu Bu Siti sedang me
Amir diam seribu bahasa, tertunduk dan terlihat ketakutan. "Cepat katakan siapa yang berhak memerintahmu, Amir!" gertak Devan yang sudah mulai terbawa emosi. Ia benar-benar benci pada Amir karena sudah menggunakan identitasnya untuk kepentingan pribadinya. Kalau bukan untuk membungkam mulut tetangga Kanaya yang julid itu, tidak sudi ia mempertahankan Amir. "Anda yang berhak memerintah saya, Tuan Muda," jawab Amir yang masih menunduk. Devan beralih menatap Bu Sumi. "Anda sudah mendengar semuanya, bukan? Dia tidak masalah jika aku memerintahnya. Lalu apa yang anda ributkan?" "Kamu! Siapa kamu sebenarnya!" Berbagai pertanyaan dalam benak Bu Sumi, membuatnya menatap Amir meminta penjelasan pada calon menantunya itu. "Dan, ada hubungan apa Nak Amir dengan tukang ojek itu? Kenapa mau-maunya diperintah?" tanyanya lembut pada Amir. "Aduuh, kelamaan, nih! Aku bisa telat!" Alin berteriak dari dalam mobil. Melihat tatapan Devan, Amir segera masuk ke dalam mobil tanp
Bu Mirna gelagapan. Rupanya ia tidak sadar akan ucapannya tentang pernikahan dan kehamilan, yang telah membuatnya menahan malu di depan Bu Herlin. Ia terlihat salah tingkah. "Wah, selamat ya, Cin, Lex, kalian akan segera jadi orang tua. Doakan aku cepat menyusul, ya!" Kanaya tersenyum mengucapkan doa tulus untuk mereka. Mengingat dirinya juga sudah memiliki suami, dan bahkan pernikahan mereka sudah berlangsung tiga bulan lamanya. Namun justru mereka telat melakukan unboxing. Tidak ada perasaan sedih atau pun benci kepada Cintia atau pun Alex. Meski dulu ia pernah dekat dengan Alex, Kanaya sudah tidak memiliki perasaan yang sama seperti dulu. Justru ia senang jika seandainya mereka benar-benar saling mencintai. Hatinya sudah terisi sepenuhnya oleh Devan. Lelaki yang sudah menikahinya itu, mampu membuatnya terDevan-Devan. Tapi yang membuatnya heran, suaminya itu belum juga menyusulnya. Membuat hatinya sedikit gelisah. "Terima kasih, Ay." Hanya Alex yang menan
Kanaya masih menatap tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Devan mengecup pipi Bu Herlin. Ia merasa seperti dipermainkan. "Apa maksudnya ini?" Ia pikir Devan ada main dengan designer idolanya itu. Kalau benar, ia tidak akan pernah mau melihat wajah mereka lagi. Dadanya tiba-tiba sesak melihat pemandangan itu. "Maafin Devan yang lama tidak pulang, Ma. Tapi kali ini, Devan akan pulang dan membawa seorang tuan putri yang akan menemani waktu Mama." Devan merangkul sang mama dan disambut senyuman oleh Bu Herlin. "Hah? Ma-ma? Itu artinya ... mereka ...." "Dasar anak nakal!" Bu Herlin mencubit pipi sang anak. "Tapi Mama sangat senang mendengarnya. Ayo temui istrimu." Bu Herlin turun bersama Devan dan menghampiri Kanaya yang masih tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Devan mendekati Kanaya yang masih menatapnya. Sementara Bu Herlin langsung memeluk sang menantu dengan senyum mengembang. "Apa putra Mama menyusahkanmu?" Kanaya mendongak, mencari jawaban a
Devan menghampiri Kanaya yang masih termangu. Ia menaruh microfon lalu berbisik di telinga sang istri, "Peluk aku jika kau merasa malu." Kanaya mencubit pinggang suaminya lalu menenggelamkan wajahnya dalam dada Devan. Terdengar riuh tepuk tangan dan sorakan dari orang-orang. "Kau benar-benar nekat!" keluhnya. "Apapun. Asal kau bisa percaya lagi padaku." Setelah mengucapkan permintaan maaf kepada para tamu karena sudah mengganggu waktu mereka, Devan menggandeng istrinya lalu turun dari panggung. "Aku masih belum mengerti tentang semuanya. Apa yang kau inginkan dari kebohonganmu itu?" Kanaya sedang bersama Devan di belakang. Ia berdiri di samping kolam renang yang airnya begitu tenang, dan pemandangan lampu yang temaram. "Aku akan menceritakannya padamu nanti. Ceritanya tidak akan selesai kalau aku ceritakan sekarang. Karena ceritanya sangat panjang, bagus dan menarik." Devan memeluk sang istri dari belakang. "Ish! Kau ini! Bisa diringkas, 'kan!"
"Apa kau baru sadar kadar ketampananku bertambah?" "Terlalu percaya diri," tukas Kanaya. Padahal ia memang terpesona oleh penampilan suaminya yang berbeda dengan hari-hari biasanya. Rupanya suaminya sangat tampan mengenakan setelan jas seperti itu. "Kenapa tidak mengakuinya?" Devan menatap lekat wajah istrinya dan itu membuatnya salah tingkah. "Kau sangat cantik malam ini, Sayang, tapi aku tidak suka kau memakai baju terbuka begini. Aku tidak suka mereka melihat keindahan yang ada dalam tubuhmu. Karena semua itu milikku, dan hanya aku yang boleh menikmati keindahan itu," bisiknya di telinga Kanaya. "Bu Herlin yang memilihkannya untukku." "Ma-ma. Kau harus terbiasa, Sayang." "Ya. Akan kucoba." *** "Kalian istirahatlah, Mama juga mau istirahat. Besok kita ke Jakarta. Kamu tidak keberatan, 'kan, Sayang?" Bu Herlin menatap Kanaya yang terlihat sudah mengantuk dan dipegangi Devan. "Iya, Ma," sahutnya. Ia memang sudah diberi tahu suaminya bahwa ak
"Nah, itu dia! Dasar tukang ojek kur4ngajar! Gara-gara dia calon menantuku kabur!" Heran melihat banyak tetangga yang di depan rumah, serta Bu Sumi yang marah-marah tak jelas, Kanaya mendekat. "Ada apa ini?" Namun tidak menghiraukan Kanaya, justru Bu Sumi mendekati Devan. "Kamu apakan calon menantuku! Pasti kamu membawa banyak teman berandalan untuk mengancam Amir, 'kan, makanya dia pergi sekarang! Gara-gara kamu anakku mengurung dirinya di kamar. Saya nggak mau tahu. Pokoknya kamu harus mencari calon mantuku sekarang juga! Dia harus segera membawa orang tuanya ke sini. Dia sudah berjanji akan memberikan mahar yang banyak untuk Lita saat menikah nanti!" Bu Sumi menghadang Devan dengan berkacak pinggang. Kanaya merasa heran melihat Bu Sumi yang menganggap Devan melakukan sesuatu pada calon menantunya. "Maksud Bu Sumi apa?" "Kamu tanyakan pada suamimu! Dia itu sudah membuat calon suami anakku pergi dan tidak berani lagi ke sini. Amir pergi setelah kemarin
"Tu-Tuan Muda?" Bu Sumi mendongak dan menatap wajah Devan. Nampak sekali urat-urat wajah itu menegang dan rahangnya mengetat. "Ini calon menantu anda?" Bu Sumi tidak menjawab malah hanya melirik Amir, lalu menatap Devan lagi. "Saya sudah membawanya ke hadapan anda! Cepat tanyakan apa yang ingin anda tanyakan. Jangan membuat saya bertindak lebih jauh lagi!" Bu Sumi berjongkok di hadapan Amir yang berlutut. "Nak Amir, katakan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kamu takut pada tukang ojek itu? Apa kamu diancam? Kalau iya, sebaiknya kita lapor polisi saja," sarannya. Devan tersenyum sinis. "Kau ingin menuruti calon mertuamu itu, Amir? Ayo lakukan!" Devan duduk dengan santai sambil menyilangkan kakinya. "Tentu aku akan lebih senang karena aku tidak perlu mengotori tanganku." "Jangan, Tuan. Jangan laporkan saya pada polisi, saya janji tidak akan berbuat curang lagi. Saya benar-benar minta maaf. Saya akan melakukan apa pun asal jangan laporkan saya ke polisi, Tua