Waktu sudah menunjukkan pukul tengah malam ketika mobil Janggala masuk ke garasi rumah mewahnya. Rumah itu seperti biasa terlihat begitu sepi dan hanya ada satpam di pos mereka.
Dia turun dari mobil, membawa beberapa berkas serta tas kerjanya.
Janggala masuk ke dalam rumah dan kedua asisten rumah tangga menyambutnya, membawa seluruh pekerjaannya ke dalam ruang kerjanya. Janggala menyisir rumah dengan matanya, tidak mendapati sosok yang dia inginkan.
“Lavani di rumah?” Tanyanya pada mbok Ringki, salah satu asisten rumah tangganya.
“Ada pak, di dalam kamar. Hari ini pak Sivan juga pulang ke rumah.” Katanya sambil memberikan segelas air minum pada Janggala.
“Kakak di rumah? Mama?”
“Nyonya ada di dalam kamarnya.”
Janggala meneguk segelas air itu kemudian beranjak naik ke atas, dia hendak menuju kamarnya sendiri namun dia menghentikan langkahnya. Dengan segera dia menghampiri ruang baca milik
Elang menggandeng tangan kecil milik Dalenna, bocah itu mengenakkan sweater merah muda dipadu dengan celana jeans dan sepatu kets. Dia terlihat sangat trendi dengan topi kream di kepala.Dalenna melangkah dengan riang, kakinya berjingkrak-jingkrak kesana kemari, dia bersenandung lagu anak-anak.Elang terkekeh mendengarnya.Beberapa hari lalu anak itu menangis dengan kencang di rumah ketika Elang sedang mengirimkan beberapa buah-buahan seperti biasa. Keluarganya selalu memberikan kelebihan hasil tani mereka pada Dirra.Ketika Elang bertanya mengapa dia menangis, Dirra mengatakan kalau Dalenna ingin pergi ke kemah yang diselenggarakan sekolah taman kanak-kanaknya namun Dirra tidak bisa ikut karena dia ada pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan.“Kalau begitu aku saja yang pergi, aku gak ada kerjaan sampai minggu.” Kata Elang kemudian anak itu terdiam dan berjingkrak kegirangan memeluknya.Elang tidak bisa menutupi ras
Nancy dengan gusar memanggil Eveline pagi-pagi sekali. Setelah kedatangan Janggala dua hari lalu ke ruang bacanya, dia tidak bisa memikirkan hal lain. Dia merasa tidak nyaman, fakta bahwa Janggala bertemu dengan Kaili mengusiknya.“Tuan muda bertemu juga dengan Nona Dirra..” Ucap Eveline setelah menjelaskan apa yang terjadi di desa pada Nancy yang kini duduk diatas sofa sambil memijat keningnya.“Bagaimana reaksi Gala bertemu dengan Dirra?”“Pak Didik bilang tidak ada reaksi, sebaliknya Nona Dirra yang lebih emosional. Pak Didik yang tidak tahu apa-apa juga menjelaskan pada Nona Dirra kalau Tuan Muda mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatan.” Eveline menyelesaikan penjelasannya.Nancy masih memijat keningnya, dia tidak menyangka kalau apa yang sudah dia rencanakan sebaik mungkin beberapa tahun lalu malah menjadi boomerang baginya. Dia tidak menyangka Janggala akan datang ke desa itu untuk mengambil alih tanahnya.“Apa wanita itu sudah menikah?”
Lavani duduk di dalam mobil dengan wajah tertekuk, dia lebih dulu masuk ke dalam mobil meninggalkan Janggala yang menariknya pergi dari hadapan ibu mertuanya. Dia kesal, rasanya begitu menyakitkan mendengar ibu mertuanya kerap kali memaksanya untuk memiliki seorang anak.Dia tidak ingin memiliki seorang anak dari Janggala, dia bahkan tidak ingin disentuh oleh pria itu.Janggala masuk ke dalam mobil ketika Lavani masih menatap keluar jendela, suasananya jadi begitu canggung karena Janggala tahu Lavani marah dan kecewa dengan apa yang baru saja ibunya lakukan.“Aku harus gimana lagi sih Ga supaya mama tuh ngerti kalau aku mau menunda?” Lavani membuka pembicaraan ketika mobil baru saja keluar dari gerbang rumah mewah itu, dia tidak menatap Janggala.Pandangannya dia lempar keluar, enggan untuk melihat Janggala. Pikirannya kacau, hatinya penuh rasa amarah karena apa yang dilakukan oleh mertuanya.“Kamu bilang ke aku, kamu bakalan urus
Nancy melempar tatapannya ke jalanan dari jendela mobilnya. Dia tengah berada di jalan menuju perkampungan dimana Dirra tinggal, dia tidak berpikir akan pergi bertemu dengan orang yang dulu dia usir.Setelah pertengkarannya dengan sang anak pagi ini, Nancy enggan berada di rumah.Membawa masuk Lavani ke dalam rumah nyatanya sebuah keputusan buruk, sekarang karena pertengkaran itu dia jadi tidak betah di rumah. Melihatnya saja sudah membuat Nancy muak.Dia sudah menahannya selama beberapa tahun dengan alasan wanita itu yang begitu banyak, dan sekarang dia sudah tidak bisa lagi mentolerir hal itu.“Kamu sudah bawa uang cashnya, Eve?” Dia bertanya pada Eveline, berusaha menghilangkan pikirannya yang berkecamuk mengenai apa yang terjadi pagi ini.Eveline menoleh, “Sudah nyonya, saya bawa sesuai dengan nominal yang pernah ibu Kaili berikan pada orang di perusahaan.”Nancy menghela napasnya.“Kamu sudah menemukan orang itu? Sudah bertanya alasan apa dia menjual rumah itu dan menipu Kaili Ga
Nancy lagi-lagi melirik ke arah Dalenna yang baru saja selesai dimandikan oleh Dirra.Bocah itu mengenakkan piyama bunga-bunga berwarna putih dengan renda di bagian leher dan bagian tangan yang mengerucut. Rambut hitam panjang itu sudah disisir dengan rapi, harum minyak telon menguar ke seluruh ruangan.Dalenna, nama bocah itu.Dalenna Gavah menjelma menjadi sosok yang begitu Nancy kenali, wajahnya duplikat Janggala ketika pria itu masih sangat kecil. Hidung dan matanya benar-benar mirip putranya, rambut hitam panjang yang tebal, dan kulitnya yang putih.“Silahkan diminum dulu, ini hanya teh murah biasa. Yang penting badan hangat..” Kaili meletakkan dua cangkir berisi teh panas di depan kedua tamunya.Dia begitu terkejut ketika mendapati Dirra yang tengah menggendong Dalenna hanya diam tidak bergerak saat dia memanggil, begitu dia mendekat dan menjauh dari payung yang menutupi pandangan, sosok itu muncul.Nancy Iriana.“Kami kesini untuk membicarakan permasalahan yang timbul akibat sa
Dirra tengah menangis di dapur ketika ibunya baru saja keluar dari dalam kamar Dalenna.Setelah kepulangan Nancy dan juga sekretarisnya, Dalenna menangis dan menuntut ingin bertemu sang ayah. Selama ini, Dalenna tidak pernah menanyakan ayahnya secara langsung.Biasanya dia hanya bertanya mengenai ayah karena teman-temannya mengolok-ngoloknya, atau ketika ada sebuah acara dan semuanya berkaitan dengan ayah.Semua itu membuat Dirra serta Kaili kewalahan karena mendadak Dalenna menuntut keingintahuannya mengenai siapa sang ayah.“Dir, sudah jangan nangis terus.” Ucap Kaili, menyentuh bahu putrinya yang masih terisak. Buru-buru Dirra menghapus airmata di pipinya, berusaha untuk tidak terlihat berantakan di depan ibunya.“Kamu gak perlu dengerin apa kata ibunya Janggala.”Dirra mengangguk pelan, “Dirra cuma kesal aja bu, bisa-bisanya lagi-lagi orang itu berusaha untuk ambil celah kelemahan kita dan menuntut banyak hal. Padahal dulu dia sendiri yang kepengen Dirra gak berhubungan lagi sama
Sudah seminggu sejak terakhir Nancy bertemu dengan si kecil Dalenna.Wajah bocah kecil itu selalu teringat di dalam benaknya, setiap kali dia meminum teh seorang diri di taman atau bahkan ketika dia sedang asyik membaca di ruangannya sendiri.Suara Dalenna terngiang di telinganya dan tiba-tiba saja ada rasa rindu menyelesak masuk di dalam hatinya. Pertemuannya dengan bocah itu hanyalah hitungan jam, namun semua yang menyangkut bocah itu tidak luput dari ingatannya barang sedikitpun.Lamunannya terinterupsi suara pintu yang di dorong, dia menoleh dan mendapati Janggala masuk dengan wajah yang lesu. Melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan waktu tengah malam, Nancy yakin anak semata wayangnya lembur lagi untuk kesekian kalinya.“Lembur?” Tanya Nancy lembut, menutup buku setelah memberikan pembatas halaman. Dia menatap Janggala yang semenjak pertengkaran terakhir menghindarinya.“Mama belum tidur?” Alih-alih menjawab,
Sivan tengah berada di kantor ketika waktu sudah menunjukkan lebih dari jam sembilan malam. Dia masih sibuk mempersiapkan beberapa berkas untuk pengajuan kantor cabang baru yang menangani pangan di desa Permadani.“Pak, masih mau di kantor?” Astari sekretarisnya muncul dari balik pintu, gadis berusia awal dua puluhan tahun yang masih cantik dan segar itu bertanya dengan senyum tipis. Wajahnya sudah kembali memakai riasan, lipstiknya sudah begitu menempel di bibirnya yang indah.“Ya, masih ada keperluan. Kamu mau pulang sekarang?”“Iya pak, boleh ya? Pacar saya sudah di depan.” Ucapnya sambil cengengesan.Sivan mengangguk dan memberikan gestur agar gadis itu segera pergi. Astari hanya terkekeh geli sambil menutup pintu kantor atasannya.Gadis itu bergitu terampil dalam pekerjaannya, dia berkuliah sambil bekerja namun tidak membuat semua pekerjaan yang dia kerjakan menjadi berantakan. Sivan menyukai c