Nancy lagi-lagi melirik ke arah Dalenna yang baru saja selesai dimandikan oleh Dirra.Bocah itu mengenakkan piyama bunga-bunga berwarna putih dengan renda di bagian leher dan bagian tangan yang mengerucut. Rambut hitam panjang itu sudah disisir dengan rapi, harum minyak telon menguar ke seluruh ruangan.Dalenna, nama bocah itu.Dalenna Gavah menjelma menjadi sosok yang begitu Nancy kenali, wajahnya duplikat Janggala ketika pria itu masih sangat kecil. Hidung dan matanya benar-benar mirip putranya, rambut hitam panjang yang tebal, dan kulitnya yang putih.“Silahkan diminum dulu, ini hanya teh murah biasa. Yang penting badan hangat..” Kaili meletakkan dua cangkir berisi teh panas di depan kedua tamunya.Dia begitu terkejut ketika mendapati Dirra yang tengah menggendong Dalenna hanya diam tidak bergerak saat dia memanggil, begitu dia mendekat dan menjauh dari payung yang menutupi pandangan, sosok itu muncul.Nancy Iriana.“Kami kesini untuk membicarakan permasalahan yang timbul akibat sa
Dirra tengah menangis di dapur ketika ibunya baru saja keluar dari dalam kamar Dalenna.Setelah kepulangan Nancy dan juga sekretarisnya, Dalenna menangis dan menuntut ingin bertemu sang ayah. Selama ini, Dalenna tidak pernah menanyakan ayahnya secara langsung.Biasanya dia hanya bertanya mengenai ayah karena teman-temannya mengolok-ngoloknya, atau ketika ada sebuah acara dan semuanya berkaitan dengan ayah.Semua itu membuat Dirra serta Kaili kewalahan karena mendadak Dalenna menuntut keingintahuannya mengenai siapa sang ayah.“Dir, sudah jangan nangis terus.” Ucap Kaili, menyentuh bahu putrinya yang masih terisak. Buru-buru Dirra menghapus airmata di pipinya, berusaha untuk tidak terlihat berantakan di depan ibunya.“Kamu gak perlu dengerin apa kata ibunya Janggala.”Dirra mengangguk pelan, “Dirra cuma kesal aja bu, bisa-bisanya lagi-lagi orang itu berusaha untuk ambil celah kelemahan kita dan menuntut banyak hal. Padahal dulu dia sendiri yang kepengen Dirra gak berhubungan lagi sama
Sudah seminggu sejak terakhir Nancy bertemu dengan si kecil Dalenna.Wajah bocah kecil itu selalu teringat di dalam benaknya, setiap kali dia meminum teh seorang diri di taman atau bahkan ketika dia sedang asyik membaca di ruangannya sendiri.Suara Dalenna terngiang di telinganya dan tiba-tiba saja ada rasa rindu menyelesak masuk di dalam hatinya. Pertemuannya dengan bocah itu hanyalah hitungan jam, namun semua yang menyangkut bocah itu tidak luput dari ingatannya barang sedikitpun.Lamunannya terinterupsi suara pintu yang di dorong, dia menoleh dan mendapati Janggala masuk dengan wajah yang lesu. Melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan waktu tengah malam, Nancy yakin anak semata wayangnya lembur lagi untuk kesekian kalinya.“Lembur?” Tanya Nancy lembut, menutup buku setelah memberikan pembatas halaman. Dia menatap Janggala yang semenjak pertengkaran terakhir menghindarinya.“Mama belum tidur?” Alih-alih menjawab,
Sivan tengah berada di kantor ketika waktu sudah menunjukkan lebih dari jam sembilan malam. Dia masih sibuk mempersiapkan beberapa berkas untuk pengajuan kantor cabang baru yang menangani pangan di desa Permadani.“Pak, masih mau di kantor?” Astari sekretarisnya muncul dari balik pintu, gadis berusia awal dua puluhan tahun yang masih cantik dan segar itu bertanya dengan senyum tipis. Wajahnya sudah kembali memakai riasan, lipstiknya sudah begitu menempel di bibirnya yang indah.“Ya, masih ada keperluan. Kamu mau pulang sekarang?”“Iya pak, boleh ya? Pacar saya sudah di depan.” Ucapnya sambil cengengesan.Sivan mengangguk dan memberikan gestur agar gadis itu segera pergi. Astari hanya terkekeh geli sambil menutup pintu kantor atasannya.Gadis itu bergitu terampil dalam pekerjaannya, dia berkuliah sambil bekerja namun tidak membuat semua pekerjaan yang dia kerjakan menjadi berantakan. Sivan menyukai c
“Bangun!” Suara itu memecah keheningan di dalam kamar, tangan tua itu meraih piyama yang tengah dikenakan oleh Lavani, dengan mudahnya tubuh Lavani terseret begitu saja jatuh ke lantai kamar.Dia memekik karena terkejut.Samar-samar dia bisa merasakan nyeri di bahunya yang menghantam lantai, ketika membuka mata wajah Nancy sudah ada tepat di depannya.“Bangun kamu!” Ucapnya ketus pada Lavani yang merintih memegang bahunya.“Mama kenapa kasar banget ke saya?”Pertanyaan itu jelas memicu kemarahan lain pada Nancy, dia melotot menatap Lavani yang terlihat tidak merasa bersalah tentang apa yang terjadi semalam.Wanita itu pulang dalam keadaan mabuk, setengah mabuk tepatnya. Dia datang dan terjatuh begitu saja di lantai, ketika Janggala menggendongnya dia muntah begitu saja di baju Janggala.Hal itu bukan pertama kalinya terjadi, itulah mengapa Nancy sudah berada di batas sabarnya.“Apa yang
“Pak, rapatnya jam sebelas ya di gedung enam.” Astari masuk ke dalam ruangan Sivan dengan membawa tablet, hari ini gadis muda itu mengenakkan blazer berwarna pastel dengan rok pendek diatas lutut. Rambutnya dia biarkan tergerai panjang.Sivan menatap gadis itu dari balik kacamatanya, dia tengah membaca beberapa email ketika Astari masuk.“Hari ini rapat dengan siapa saja?”“Ada dua dengan petinggi KALFOOD, SSKFOOD. Malamnya bapak ada jadwal makan malam dengan Pak Janggala dan Pak Resno.” Jawab Astari yang kemudian menutup tabletnya dan berdiri di depan meja kerja Sivan.“Pak Resno?”“Ya, pak Resno kontraktor ARIONO UTOMO.”Jawaban Astari sontak membuat Sivan terkejut, dia sudah membuat proposal untuk diberikan pada Janggala agar proses pembangunan kantor cabang di desa Permadani ditangani oleh JANJI HANGGARA.“Kenapa dengan ARIONO UTOMO?”Astari terdiam dengan wajah kebingungan, dia membuka lagi tablet yang dipegangnya, “Kalau disini tertulis dari kantor utama meminta ARIONO UTOMO unt
Sivan mengakhiri rapat terakhirnya sore ini.Dia tengah meregangkan badan ketika Astari masuk ke ruangan rapat yang sudah kosong, gadis itu membawa beberapa berkas di tangan serta tas yang bertengger di bahunya.“Pak, mau kembali ke kantor dulu atau langsung ke restoran?” Seperti biasa, gadis itu dengan gayanya sendiri. Tidak berbasa-basi dan selalu menembak pertanyaan yang mengharuskan Sivan memilih dengan cepat.“Jam berapa emang makan malamnya?”“Biasa pak, jam tujuh. Tapi ini Rush Hour sih, pasti macet dan sampai tepat jam tujuh.” Jawab Astari mengecek jam di tangan kirinya, kemudian beralih menatap Sivan.“Jalan langsung aja deh.”Sivan berjalan mendahului Astari yang langsung menghubungi supir untuk menunggu di lobi. Pria itu kembali mengecek ponselnya, tidak ada pesan dari Lavani. Biasanya ketika dia selesai rapat Lavani langsung menghubunginya, mengabari dia akan kemana dengan siapa.Dia menghela napas.Mungkin tadi dia keterlaluan, amarahnya pada Lavani tidak semestinya dia t
“Sukses ya?” Pertanyaan Astari membuat Sivan menoleh pada gadis yang tengah duduk di sampingnya. Mata gadis itu sibuk menatap ponsel dan jari jemarinya mengetik dengan cepat.“Kamu ngomong sama saya?” Tanya Sivan kemudian, keduanya tengah berada di dalam mobil. Sivan sedang diantarkan menuju kediaman utama keluarga Tantra dan nantinya Astari diantar oleh supir ke kediamannya.“Iya, saya lihat sejak keluar dari restoran mood bapak bagus banget.”Sivan hanya berdehem, tidak ingin menanggapi pertanyaan Astari.Namun ada benarnya juga, dia tidak menyangka akan semudah itu membujuk Janggala untuk mempertimbangkan JANJI HANGGARA sebagai salah satu kontraktor yang menangani proyek besar ini.Dia sudah mempersiapkan banyak hal, namun Janggala masih berada di memori masa kecil dimana dia mengagumi Sivan. Entah itu baik atau tidak, setidaknya Sivan berpikir hal itu bisa dia manfaatkan dengan baik.Mobil sudah memasuki kediaman Tantra, meskipun berkali-kali dia diusir dari rumah ini namun sejak