Sivan mengakhiri rapat terakhirnya sore ini.Dia tengah meregangkan badan ketika Astari masuk ke ruangan rapat yang sudah kosong, gadis itu membawa beberapa berkas di tangan serta tas yang bertengger di bahunya.“Pak, mau kembali ke kantor dulu atau langsung ke restoran?” Seperti biasa, gadis itu dengan gayanya sendiri. Tidak berbasa-basi dan selalu menembak pertanyaan yang mengharuskan Sivan memilih dengan cepat.“Jam berapa emang makan malamnya?”“Biasa pak, jam tujuh. Tapi ini Rush Hour sih, pasti macet dan sampai tepat jam tujuh.” Jawab Astari mengecek jam di tangan kirinya, kemudian beralih menatap Sivan.“Jalan langsung aja deh.”Sivan berjalan mendahului Astari yang langsung menghubungi supir untuk menunggu di lobi. Pria itu kembali mengecek ponselnya, tidak ada pesan dari Lavani. Biasanya ketika dia selesai rapat Lavani langsung menghubunginya, mengabari dia akan kemana dengan siapa.Dia menghela napas.Mungkin tadi dia keterlaluan, amarahnya pada Lavani tidak semestinya dia t
“Sukses ya?” Pertanyaan Astari membuat Sivan menoleh pada gadis yang tengah duduk di sampingnya. Mata gadis itu sibuk menatap ponsel dan jari jemarinya mengetik dengan cepat.“Kamu ngomong sama saya?” Tanya Sivan kemudian, keduanya tengah berada di dalam mobil. Sivan sedang diantarkan menuju kediaman utama keluarga Tantra dan nantinya Astari diantar oleh supir ke kediamannya.“Iya, saya lihat sejak keluar dari restoran mood bapak bagus banget.”Sivan hanya berdehem, tidak ingin menanggapi pertanyaan Astari.Namun ada benarnya juga, dia tidak menyangka akan semudah itu membujuk Janggala untuk mempertimbangkan JANJI HANGGARA sebagai salah satu kontraktor yang menangani proyek besar ini.Dia sudah mempersiapkan banyak hal, namun Janggala masih berada di memori masa kecil dimana dia mengagumi Sivan. Entah itu baik atau tidak, setidaknya Sivan berpikir hal itu bisa dia manfaatkan dengan baik.Mobil sudah memasuki kediaman Tantra, meskipun berkali-kali dia diusir dari rumah ini namun sejak
Nancy begitu bersemangat sejak bangun di pagi hari, hatinya riang gembira.Dia segera menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya, memilih baju yang cantik untuk dia kenakan hari ini. Dia akan mengunjungi toko furniture, serta meminta orang untuk merapikan kamar untuk cucunya.Ya, Dirra sudah menandatangani perjanjian yang dia berikan.Tidak sabar, dia segera meminta Eveline untuk mengontak orang yang bisa dengan cepat mengatur ulang isi kamar. Hari ini, dia akan membeli furniture baru.“Gala, bagaimana persiapan untuk pembangunan kantor cabang di desa Permadani?” Nancy turun dari tangga, berbicara pada Janggala yang tengah duduk di sofa ruang keluarga.Pria itu menoleh kepada ibunya, mengerenyitkan kening karena merasa ada yang aneh dengan sang ibu. Wajah berseri-seri itu wajib di curigai.Ibunya duduk, wajahnya tersenyum lebar, kerutan yang baru beberapa hari lalu dihilangkan dengan botox membuat kening dan senyumnya tidak luwes karena masih kaku. Wanita tua itu menyilangkan kakinya
Nancy turun dari dalam mobil, matanya berjalan kesana kemari memperhatikan sekitar. Pemandangan yang tidak berubah sejak beberapa minggu terakhir dia datang kesini. Udara yang sejuk, pepohonan yang rindang dan angin yang berhembus memainkan anak rambut di kepalanya.Dia suka desa ini.Semakin mengunjungi desa ini semakin dia jatuh cinta.“Mau langsung ke atas, nyonya?” Eveline bertanya, berdiri dengan manis di sebelah Nancy. Tatapannya yang tajam itu selalu membuat Nancy bertanya-tanya apakah diluar pekerjaannya dia selalu menatap orang lain dengan seintens itu?Mungkin juga, karena Eveline sampai diusianya yang lebih dari tiga puluh tahun itu belum juga memiliki seorang kekasih.“Saya pernah kesini sebelumnya..” Kalimat itu keluar dari mulut Nancy, membuat Eveline kini menoleh pada wanita tua di sampingnya yang sudah membuatnya mengabdi begitu lama.“Betul, nyonya pernah kesini dahulu sekali dengan tuan besar.” Ujar Eveline mengiyakan, dulu sekali ketika dia masih sangat kecil.“Maka
Elang segera pergi ke rumah Dirra ketika dia baru saja mendengar kabar terbaru mengenai apa yang terjadi di rumah mereka.Tidak banyak yang tahu, selain keluarganya serta pak RT.Dirra dan keluarganya akan pindah ke rumah di bawah beberapa minggu lagi. Tetapi hanya Kaili yang ada disana, Dirra dan Dalenna akan dibawa pergi.“Dir!” Janggala mengetuk pintu dengan kasar, dia lupa kalau ini sudah lewat tengah malam. Napasnya memburu, dia ingin segera bertemu Dirra.Beruntung, wanita itu masih bangun dan keluar dari rumah. Masih mengenakan baju tidur dengan rambut hitam panjang terurai Dirra menemui Elang. Pria itu duduk di teras rumah, masih sempat mengagumi betapa cantik Dirra yang tengah berada di depannya.“Kamu baru pulang?”“Aku baru pulang dari kota dan dengar orangtuaku cerita kamu mau pergi dengan keluarga Tantra, ada apa?” Elang bertanya dengan tidak sabar, dia ingin mendengar secara langsung penjelasan dari mulut Dirra sendiri.Dirra tidak langsung menjawab, wanita itu menyelipk
Lavani mengacak rambutnya sembari berjalan masuk ke dalam kantornya sendiri, dia melempar tasnya dengan kasar dan menjatuhkan dirinya ke atas kursi kantor yang empuk.Kepalanya penuh dengan ucapan ibu mertuanya pagi ini.Wanita tua gila itu menginginkan mantan kekasih suaminya masuk ke rumah tangga mereka, lebih gilanya lagi dia menginginkan Lavani merelakan Janggala menduakannya.Dia menggebrak mejanya, kesal.Meskipun pernikahannya dengan Janggala tidak dilandasi rasa cinta, tetap saja hal itu mengganggunya.“Hei,” Sebuah suara mengejutkannya, dari balik pintu kantor Sivan sudah berdiri dengan raut wajah kebingungan karena melihat Lavani dengan mood yang berantakan. “Kamu kenapa?” Dia berjalan mendekat ke arah meja kerja Lavani yang kini sudah mengganti posisi duduknya lebih tegak.Keduanya belum berbaikan sejak terakhir kali cekcok dan Lavani sempat menghindari Sivan beberapa hari.“Kamu pasti sudah dengar.” Lavani berkata pada Sivan yang berdiri di depannya, pria itu memakai setel
Janggala memanggil Siska sekretarisnya ketika dia baru saja sampai ke kantor, wajahnya terlihat ditekuk dan Siska bertanya-tanya apakah ini menyangkut kinerjanya yang buruk.Pria itu langsung duduk di kursinya tanpa lebih dulu membuka jas seperti biasa, dia menatap Siska dengan tatapan garang.“Kamu tahu ibu saya ke desa Permadani?” Pertanyaan itu terkesan menuduh namun juga ada rasa keingintahuan yang besar. Mata Siska mengerjap mendengar pertanyaan itu kemudian mengangguk pelan.“Nona Eveline menanyakan persoalan desa Permadani.” Jawabnya ringan karena merasa tidak ada yang salah dengan itu.“Lalu apalagi yang dia tanyakan?”Siska terdiam sebentar, menimbang apakah nantinya jawaban dia akan membuat atasannya yang usianya jauh dibawah dia ini marah atau sebaliknya.“Siska, tolong jawab saya.” Suaranya begitu tegas dan dalam, matanya yang sipit itu lagi-lagi memancarkan aura mematikan.Siska menggaruk kepalanya yang tidak gatal, anak kecil ini sudah begitu cocok jadi seorang pemimpin.
Nancy baru turun dari tangga ketika Lavani baru saja masuk dari pintu depan. Seperti sebuah mimpi buruk bagi Lavani dan sebuah keberuntungan bagi Nancy.Wanita paruh baya itu menatap Lavani dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tangan terlipat di dada.“Bagaimana perasaanmu akan punya saingan baru di rumah ini?” Dia melontarkan pertanyaan dengan nada menyindir pada Lavani yang kini menghentikan langkahnya, menoleh pada Nancy dengan kening berkerut.“Apakah mama harus melakukan hal ini hanya karena demi seorang cucu?”Nancy mendengar ucapan Lavani kemudian terkekeh, dia balas menatap Lavani.“Tentu, kamu sudah terlalu banyak melempar alasan tidak masuk akal ketika saya menginginkan seorang cucu. Alasan yang berbelit-belit, apa sulitnya memiliki seorang cucu? Kecuali kamu tidak mampu menghasilkan seorang anak.”Kata-kata itu membuat dada Lavani terasa sesak, ucapan mertuanya kali ini begitu keterlaluan baginya.“Saya sudah pergi ke Rumah Sakit dan mereka mengatakan tidak ada masala