Share

BAB 7

Suara barang yang dibanting terdengar dari dalam ruang kantor yang berada tepat di samping kamar tidur milik Nancy, sepulang dari rumah Dirra dadahnya begitu mendidih karena jawaban yang dilontarkan oleh kedua orangtua perempuan itu.

“Congkak sekali mereka! Hutang sampai batas leher tapi seolah-olah mereka bisa melakukan yang terbaik! Sialan!” Dia memekik sambil melempar cangkir yang berada di atas meja sampai pecah berkeping-keping.

Eveline terdiam mematung mendengar majikannya mengoceh dengan penuh amarah, napas wanita paruh baya itu memburu. Bisa dipastikan apa yang dikatakan oleh orangtua Dirra padanya membuat harga dirinya tercoreng.

“Sudah dihubungi?” Tanya Nancy dengan napas ngos-ngosan pada Eveline.

“Sudah, saya sudah hubungi mereka dan menawarkan sejumlah uang. Mutasi ibu Kaili Gauri sedang di proses oleh perusahaan.

“Saya gak mau tahu, secepatnya mereka harus pergi dari kota ini. Saya gak mau melihat ibunya ataupun wanita itu berkeliaran disini, tambahkan sejumlah uang untuk mutasi wanita itu agar dia mau menutup mulutnya perkara anak Janggala!” Titah Nancy dengan tatapan tajam yang dia berikan pada Eveline.

Wanita muda itu mengangguk tanpa menatap balik majikannya.

“Bereskan juga perpindahan dan pendaftaran Janggala untuk melanjutkan kuliah diluar negeri.”

“Baik nyonya.” Eveline menjawab dengan suara yang tegas, kemudian meminta izin keluar dari ruangan tersebut. Dia langsung buru-buru meminta salah satu asisten rumah tangga untuk masuk ke dalam kamar membereskan pecahan cangkir.

Dia menghela napas, semua yang dititahkan majikannya sudah dia kerjakan. Hanya saja, untuk menambahkan uang tutup mulut pada keluarga Gauri akan memerlukan sedikit ide agar mereka tidak berpikir ini ulang keluarga Tantra.

“Kenapa mama?” Suara Janggala membuat Eveline sedikit terlonjak kaget, dia menatap bocah laki-laki itu.

Sedikit di dalam hatinya dia tidak habis pikir apa yang ada di dalam kepala bocah itu, ketimbang menuruti keinginan ibunya dan menjalani kehidupan penuh fasilitas dia malah membangkang dan berpacaran dengan orang miskin.

“Tidak ada apa-apa, tuan muda.” Jawab Eveline setelah sebelumnya sedikit mengutuk di dalam hati.

“Gimana sama Dirra? Mama gak ngomong aneh-aneh ‘kan? Gimana kandungannya?” Pertanyaan itu berjejalan masuk ke dalam telinga Eveline tanpa jeda.

“Saya tidak menjawabnya.”

Janggala berdecak, dia mengacak rambutnya.

“Lo harus bantuin gue untuk ketemu sama Dirra, please Eve. Gue gak bisa minta tolong ke siapa-siapa.” Kini bocah itu merengek, wajahnya memelas saat mengatakan hal itu pada Eveline.

“Kalau sudah bertemu, tuan muda mau apa? Gak ada yang bisa dilakukan, kalaupun tuan muda masih terus mau bersama dengan Dirra, nyonya gak akan mengizinkan dan urusannya akan jauh lebih rumit.”

“Gak Eve, please, gue mau bertanggung jawab. Dirra lagi hamil anak gue.” Ujar Janggala dengan nada yang kian mendesak pada Eveline.

“Dirra sudah menggugurkan kandungannya.” Pernyataan itu membuat Eveline dan juga Janggala menoleh, mendapati Nancy berdiri dengan tangan terlipat di dadanya menatap angkuh Janggala.

“Apa? Apa yang mama bilang?! Bohong ‘kan Eve?” Janggala berpaling ke arah Eveline yang tidak menjawab apa-apa, wanita muda itu hanya diam tidak bergerak di tempatnya.

Nancy mendekat, “Mama memberikan mereka kompensasi, sejumlah uang dengan syarat harus menggugurkan kandungan. Dan mereka menyetujuinya.”

Janggala membelalak tidak percaya dengan apa yang dia dengar, dia menggeleng berkali-kali sambil mengacak rambutnya kasar.

“Mama bohong!” Dia kini berteriak kencang sampai memekakan telinga.

“Gala! Mereka itu orang miskin! Sejumlah uang besar untuk melunasi hutang Bank jauh lebih berharga dari nyawa seorang anak!”

Janggala menutup kedua telinganya, dia tidak percaya dengan apa yang ibunya katakan. Dia yakin itu semua kebohongan, dia tahu bagaimana Dirra. Kekasihnya tidak akan melakukan hal itu demi uang.

“Keluarga Dirra dililit hutang besar dari Bank! Mereka mengajukan nominal uang dan mama memberikannya, mereka berjanji akan melakukan aborsi. Semuanya sudah selesai.”

Janggala beranjak dari ruangan dimana ibunya berada, dia tidak ingin mendengar banyak omong kosong yang keluar dari mulut wanita paruh baya itu. Dia harus mencari tahu sendiri apa yang terjadi.

Keesokan harinya, Kaili di panggil secara mendadak oleh HRD di tempatnya bekerja. Tanpa alasan jelas dia diberikan surat mutasi ke sebuah desa dimana itu adalah desa yang akan Dirra tuju.

Dia membaca semua isi surat mutasi tersebut dan merasakan kejanggalan tersebut.

“Apa ini ada hubungannya dengan keluarga Tantra?” Tanyanya kemudian.

“Saya gak ngerti apa maksud kamu, kenapa ini harus ada hubungannya dengan keluarga Tantra?” Tanya balik HRDnya dengan wajah seolah tidak mengerti maksud pertanyaan Kaili.

Kaili menghela napas panjang dan menandatangi surat mutasi tersebut, dia tidak mungkin protes karena sekuat apapun dia melawan keluarga Tantra akan menyingkirkan dia dan keluarganya pergi dari kota ini.

“Nanti ada uang mutasi yang di transfer ke nomor rekeningmu ya.” Ujar HRD tersebut ketika Kaili baru saja bangun dari duduknya.

Kaili menghentikan langkahnya dan menoleh.

“Tolong beritahu pada keluarga Tantra untuk tidak mengirimkan saya uang. Saya tidak butuh uang yang mereka berikan, saya dan keluarga saya akan diam-diam pergi dari sini.” Ucapnya sambil melangkah pergi dari dalam kantor, isi kepalanya berantakan sekarang.

Namun setidaknya dia tidak diputus kontrak begitu saja, dia masih bisa berusaha untuk membiayai keluarga kecilnya. Dia melangkah keluar kantor tanpa membereskan apapun di meja kerjanya, langkah demi langkah itu membuat airmatanya jatuh.

Di pojok ruangan dia berjongkok, menangis dengan tersedu-sedu.

Dia tidak pernah berpikir apa yang terjadi padanya sekarang adalah nyata, seperti di sebuah sinetron TV yang dia tonton anaknya diperlakukan seperti sebuah barang usang yang sudah tidak dipakai lagi.

Dia mengelap airmatanya, dengan langkah pasti dia keluar dari ruangan tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status