Share

BAB 13

Kehamilan Dirra berjalan dengan baik, setiap bulannya dia rutin pergi ke Bidan dan mendapatkan beberapa vitamin serta pengecekan rutin. Untuk USG dia harus pergi ke kota yang jaraknya hampir dua jam dari perkampungan yang dia tinggali.

Cukup menguras waktu dan tenaga, tapi untungnya ada Elang yang selalu siap mengantarnya.

“Itu yang diluar suaminya bu?” Tanya dokter ketika hendak memeriksa Dirra yang masuk ke dalam ruangan, sebelum ruangan ditutup Dirra sempat menitip botol minum pada Elang dan dokter melihatnya.

“Oh bukan dok.. Teman.” Jawaban Dirra membuat dokter dan asistennya mengangguk, meskipun tidak mengatakan apapun namun hawa di ruangan menjadi agak sedikit canggung.

Dirra tahu beberapa orang di kampung juga bertanya-tanya mengenai keakuratan cerita ibunya meskipun mereka tetap menghargai Dirra dan keluarga dengan tidak bertanya secara langsung.

Dirra juga beberapa kali menolak tawaran Elang untuk mengantarnya pergi ke dokter, namun orangtua Elang justru paling semangat meminta Elang untuk melakukan hal itu.

“Gak apa-apa, Elang juga lagi gak ada kesibukan! Masih tiga bulan sebelum Elang masuk kuliah!” Begitu kata ibunya setelah Dirra mengatakan rasa sungkannya karena selalu diantar jemput Elang.

Keluarganya dan keluarga Elang begitu dekat sampai beberapa wargan berpikir kemungkinan keduanya dijodohkan sudah pasti.

Namun Dirra tidak terlalu menanggapi hal itu.

Dirra berfokus pada kehamilannya yang semakin lama semakin besar, bayi di dalam perutnya begitu aktif sampai-sampai kadang ketika dia sedang membantu ayahnya bertani Dirra dikejutkan oleh tendangan yang mengejutkan.

Nafsu makannya normal, tidak begitu rakus, dia juga tidak mengalami ngidam.

“Tuh ‘kan kakinya bengkak..” Ibunya masuk ke dalam kamar membawa baskom berisi air hangat ketika Dirra sedang merebahkan tubuhnya di malam hari.

“Ih ibu, gak usah..” Dirra berkata sambil berusaha bangun dari tidurnya.

Ibunya tersenyum sambil menyimpan baskom berisi air hangat itu di bawah, dia duduk di ujung kaki Dirra, “Gak usah bangun Dir, biar ibu pijit ya pakai air hangat. Semoga gak begitu bengkak lagi besok.” Ujar ibunya, mulai mengambil handuk yang kemudian di peras dan di tempel pada kaki Dirra.

“Maaf ya bu..” Dirra berkata lagi, ibunya tersenyum lebar sambil memijat kaki putrinya.

“Kenapa minta maaf? Emang salah kalau ibu pijitin kaki kamu?”

“Harusnya ‘kan Dirra yang pijit kaki ibu..” Ujarnya pelan.

Ibunya terkekeh, memijat agak sedikit lebih lembut karena khawatir putrinya akan merasa kesakitan. Dirra diminta banyak berjalan oleh bu Bidan, namun ketika dia banyak berjalan kakinya malah bengkak, ketika dia mengurangi jalanpun kakinya masih bengkak.

Ibu dan bu Bidan khawatir hal itu karena masalah kesehatan Dirra, jadi sebelum anaknya ke Rumah Sakit minggu depan, ibunya ingin membuat kaki Dirra sedikit lebih baik.

“Ya nanti saja kalau Dirra sudah lahiran, pijitin ibu ya!”

Ibu dan anak itu tertawa bersamaan, “Ibu bingung harus digimanain lagi ngakalin bengkak kamu..”

“Kata bu Bidan minggu depan harus check up biar tahu masalahnya dimana..” Kata Dirra, pandangannya beralih pada ibunya. “Ibu masih ada uang?”

Pertanyaan itu membuat ibunya sedikit terkejut, dia mengangkat wajahnya dan mendapati putri semata wayangnya tengah menatapnya. Ekspresi wajah itu menunjukkan rasa khawatir, namun Kaili tersenyum, melanjutkan pijatannya.

“Masih kok, tenang aja. Kamu gak usah mikirin apa-apa dulu, fokus saja sama kehamilan kamu Dir..”

Kaili tidak pernah bilang pada Dirra kalau setelah sebulan mereka berada disini, sekretaris kepercayaan keluarga Tantra datang ke tempat kerjanya. Eveline si sekretaris mengultimatum Kaili kalau dia sudah memakan ‘uang’ yang diberikan oleh Nancy maka dari itu dia harus menandatangani persetujuan untuk tidak meminta tanggung jawab pada Elang.

Dia sudah bosan di desak mengenai hal ini, maka dari itu akhirnya Kaili menandatangani pernyataan tersebut. Dia tidak peduli lagi yang terpenting adalah keluarga kecilnya dijauhkan dari keluarga Tantra.

Namun, berkas tersebut mencakup poin-poin lain yang dimana tertulis kalau Kaili bersedia menggunakan uang Nancy untuk pelunasan hutang Bank.

“Ya, anggap saja itu uang untuk menyuap Dirra agar bisa pergi dari hadapan Gala.” Ujar Nancy angkuh dari sambung telepon ketika Kaili menyadari ada yang salah dengan berkas pernyataan tersebut.

“Tidak perlu berlagak menolak uang, toh juga Dirra berpacaran dengan Janggala mengharapkan semua harta itu. Ambil saja meskipun hanya saya kasih bagian kecilnya saja.”

Harga diri Kaili seperti diinjak-injak saat itu, makanya dia tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya pada Dirra. Dia hanya bercerita pada suaminya sambil menangis.

Bulan demi bulan berlalu dengan cepat, Dirra sudah sangat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Sesekali dia memang memikirkan Janggala dan terkadang masih menatap foto mereka yang tertinggal di ponselnya.

Dan tanpa Dirra sadari kehamilannya sudah memasuki bulan terakhir, hari-hari yang dia lewati selama kehamilan akan segera berakhir. Dia bersemangat sekaligus khawatir, ada banyak hal yang terlintas di benaknya namun dia percaya semuanya akan baik-baik saja.

Kemudian di suatu malam Dirra merintih kesakitan, ibu dan ayahnya segera mencari bantuan. Keluarga Elang dengan siap membantu, mereka menggunakan mobil menuju Rumah Sakit. Selama di perjalanan Dirra memekik dan meraung karena kesakitan.

Setelah sampai, bayinya tidak langsung lahir. Mereka menunggu bukaan lengkap sampai menjelang pagi, ketika matahari naik disaat itulah bayi perempuan itu lahir. Menangis dengan kencang menggetarkan hati semua orang yang mendengarnya.

Bayi dengan kulit seputih susu, bibir merah merekah, hidung yang tinggi dan rambut hitam gelap itu diberi nama DALENNA GAVAH.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status