Share

BAB 16

Janggala melirik ke arah jam dinding untuk ke sekian kalinya, kakinya tidak mau diam berjalan kesana kemari. Dia sudah begitu gelisah, jarum jam menunjukkan pukul dua malam. Dia menengok lagi ke belakang, mengecek kalau-kalau ibunya turun dari tangga meskipun kemungkinannya sedikit tapi tidak ada yang tidak mungkin.

Dia mengecek ponselnya lagi, mencari sebuah nama dan memencet tombol panggil. Hanya ada suara dengung panjang tanda telepon itu tersambung namun tidak ada jawaban.

“Van, jawab dong..” Gumamnya gelisah, dia sudah berusaha menelepon supir Lavani namun juga tidak ada jawaban.

Dia sekali lagi membuka gorden, mengecek apakah mobil Lavani sudah masuk halaman atau belum.

“Ga?” Suara ibunya menyentak Janggala, jantungnya hampir copot karena mendengar suara itu. Dia menoleh dan mendapati ibunya turun dari tangga, masih mengenakkan piyama tidur dari sutranya. “Kamu lagi ngapain?”

“Ah enggak ma, mama kok bangun?” Janggala berusaha mengalihkan perhatian ibunya dengan melempar pertanyaan balik.

“Gak tahu, tiba-tiba kebangun aja..” Ibunya mendekat ke arah Janggala, melihat anak laki-lakinya berdiri dekat jendela memakai piyama dengan membawa ponsel dia tidak perlu menebak apa yang sedang dia lakukan.

“Lavani belum pulang lagi? Ini sudah jam dua loh.” Ibunya kemudian berkomentar, melipat kedua tangannya di dada, menatap Janggala yang terdiam memunggunginya.

“Dia ada rapat hari ini ma, makanya pulang malam.”

Nancy berjalan menuju sofa, duduk dengan salah satu kaki menyilang. Menatap Janggala.

“Intensitas dia rapat dan ke klub malam akhir-akhir ini semakin meningkat ya?”

Janggala menoleh pada ibunya, kini ibu dan anak itu saling pandang. Janggala sendiri sudah tahu akan kemana pembahasan ini berlanjut sedangkan Nancy tidak ingin mengalah dengan apa yang ingin dia sampaikan.

“Sudah empat tahun loh kalian menikah, mau sampai kalian menunda punya anak?”

Tepat. Batin Janggala.

Ibunya membahas lagi masalah anak.

“Sudahlah ma, gak perlu bahas itu terus. Vani sama Gala sudah sepakat untuk menunda punya anak.”

“Yakin itu keputusan kalian berdua? Karena setahu mama hanya Vani yang gak mau punya anak.”

“Ma..” Janggala menghela napas, pembahasan ini sudah terjadi berulang kali semenjak usia pernikahannya dengan Lavani menginjak dua tahun. “Mama ‘kan tahu Gala juga lagi disibukkan sama proyek baru. Belum ada kesempatan buat Vani dan Gala untuk membahas lagi masalah anak.”

“Mama sudah sering kali membahas ini, dan jawaban Vani tetap sama. Tidak mau punya anak.”

Janggala menutup kedua matanya, berusaha mengatur napas agar tidak terpancing dengan omongan ibunya. Ketika dia baru saja mau melempar argumen pada ibunya, pintu rumah terbuka dan Lavani masuk sambil dibantu berjalan oleh supirnya.

“Mabuk lagi..” Nancy bersuara, menatap sinis ke arah Lavani yang hampir ambruk.

Janggala buru-buru menggantikan supir untuk membawa Lavani, bau alkohol menguar menusuk hidung. Entah berapa botol yang dia tenggak sampai hampir tidak sadarkan diri.

“Maaf pak, saya gak angkat telepon karena bu Vani terus-terusan muntah.” Kata si supir sambil pamit pergi.

Janggala bisa melihat banyaknya bekas muntahan di sekitar mulut dan baju wanita itu.

“Mama memilih wanita itu untuk menjadi istri kamu bukan untuk hal-hal seperti ini, bukan dia yang mengurusi kamu malahan kamu yang selalu mengurusi dia. Apalagi masalah mabuknya ini.” Ujar Nancy, menatap Lavani yang tidak sadarkan diri dari atas sampai bawah sebelum akhirnya dia beranjak pergi dari ruang tamu.

Janggala hanya menghela napas, dia kemudian membawa Lavani ke kamar mereka. Merebahkan wanita itu dan mengganti pakaiannya, dia mengelap tubuh Lavani dengan tisu basah.

“Huh? Ga…La!” Ucap Lavani sambil tersenyum lebar dan mata yang tidak fokus, dia memeluk leher pria itu, menggelayut.

“Diam dulu Van, aku masih lap tangan kamu..”

“Gala!” Lavani memekik dengan suara ceria sambil terkekeh.

Janggala terdiam kemudian membalas pelukan Lavani, dia mengelus punggung wanita itu perlahan.

Janggala tidak mengingat banyak hal selain Lavani dan keluarganya. Dia terbangun di suatu hari dan orang-orang di depannya tidak dia kenali. Mereka bilang dia sudah koma selama tiga bulan setelah mengalami kecelakaan lalu lintas, Janggala tidak mengingatnya.

Dia mengingat beberapa hal tapi tidak keseluruhan.

“Kamu usia berapa?”

“Enam belas tahun.” Katanya kala itu membuat ibunya menangis tersedu-sedu.

Janggala harus kembali mempelajari banyak hal, dia tidak mengingat apapun. Yang dia ingat dirinya hanyalah seorang anak berusia enam belas tahun kala itu, setelah terapi beberapa bulan dia sudah memahami kalau dirinya saat itu berusia dua puluh tahun.

Ibunya dan Lavani membantu dalam banyak hal termasuk terapinya, dia kemudian jatuh cinta pada Lavani. Ketika ibunya meminta keduanya menikah, dia senang.

Dia menyelesaikan kuliahnya di luar negeri bersama Lavani dan kembali ke Indonesia untuk meneruskan perusahaan.

Lavani mengambil bagian di perusahaan dan mengelola anak cabang, sedangkan Janggala mengelola pusat. Semuanya terlihat baik-baik saja kecuali,

“Aku gak mau punya anak.”

“Maksud kamu untuk sekarang ini?” Tanya Janggala pada hari jadi pernikahan mereka yang pertama saat itu, keduanya tengah makan malam di sebuah restauran.

“Enggak, aku gak mau punya anak. Aku gak suka anak-anak Ga, mereka itu berisik!”

Janggala menatapnya dengan ragu, “Tapi mama pengen kita segera punya anak.”

“Bukan mama loh yang nantinya hamil dan melahirkan apalagi urus anak, itu semua aku yang lakuin. Jadi, terserah aku ‘kan mau milih punya anak atau gak?”

“Tapi, kamu harus nanya pendapatku juga Van..” Kata Janggala dengan suara lembut, dia mengulurkan tangannya, menggenggam lembut tangan Lavani.

“Kamu pasti ngerti Ga, kamu ‘kan tahu aku sibuk banget sama kantor cabang. Kakakmu, Sivan sebagai Chief Operation Officer aja juga ngabisin waktu yang lumayan, apalagi aku dan kamu yang sama-sama CEO. Kita gak akan punya waktu mikirin punya anak.”

Janggala kembali pada sadarnya ketika mendengar Lavani akan muntah lagi, dia buru-buru melepaskan pelukan wanita itu dan pergi ke kamar mandi mengambil apa saja untuk menjadi wadah muntahnya.

“Kamu gak mau punya anak karena karir atau karena kamu masih mau sebebas ini Van?” Gumannya pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status