Share

BAB 17

Janggala sudah berada di kantor tepat waktu, hari ini dia ada rapat dengan pemegang saham dan direksi membahas kantor cabang baru yang akan didirikan dalam waktu dekat ini.

Pembahasan kali ini mengenai lokasi dan beberapa hal lain yang mungkin akan menyita waktu yang lumayan.

Dia mengecek ponselnya, sudah pukul dua siang. Tidak ada kabar dari Lavani, tadi pagi dia pergi lebih dulu sebelum wanita itu bangun. Dia mengirimkan pesan berpamitan namun tidak ada balasan.

“Ka, bisa cek sekretaris Lavani gak? Dia sudah datang ke kantor belum?” Tanya Janggala ketika Siska baru saja masuk ke dalam ruangannya dengan membawa banyak berkas, wanita bermata sipit dengan rambut hitam tergulung rapi itu menatapnya.

“Loh, bu Vani sama Sivan sudah datang dari sejam lalu pak. Tadi ke ruangan rapat duluan karena ada beberapa hal yang harus dipersiapkan.”

Janggala mengerenyitkan dahinya, Lavani tidak membalas pesannya tapi sudah datang ke kantor sejam lalu.

Hatinya tidak begitu menyukai hal itu namun dia kemudian membuang pikiran-pikiran buruk.

“Sudah beres persiapannya? Ayo kita mulai aja, sepuluh menit lagi pasti sudah datang semua.” Kata Janggala berusaha untuk bersikap profesional.

Siska mengangguk, mengambil beberapa berkas dan tablet untuk persiapan rapat. Dia berjalan di belakang Janggala. Semenjak kembali dari New York atasannya itu terlihat begitu berbeda, entah karena kini Janggala sudah dewasa atau karena sudah menikah, dia terlihat semakin tampan dan juga karismatik.

Semua karyawan disini memanggilnya dengan sebutan “Tuan Pangeran.”

Janggala tegas pada semua karyawannya, dia terkenal galak dan pelit senyum. Namun ketika dia bersama dengan sang istri, dari tatapan wajah sampai ekspresi, semuanya berubah. Sudah jelas sekali kalau pria itu mencintai istrinya.

“Selamat siang.” Suara Janggala menggema di ruangan, dia menggunakan microphone yang ada di meja. Tempatnya duduk membuatnya bisa melihat semua orang yang hadir di ruang rapat.

Ada sekitar tiga puluh orang yang hadir, termasuk pemegang saham dan direksi.

“Kita mulai saja rapat mengenai lokasi dan rencana pembangunan kantor cabang.” Ucapnya.

Dia memimpin rapat dengan baik, semua masukan dipilah dan didiskusikan dengan baik. Sesekali dia melirik ke arah Lavani, wanita itu mengenakkan jas dan kemeja berwarna putih dengan warna celana serta sepatu yang senada. Rambut hitam panjang dan lurusnya terlihat kontras dengan warna putih yang berada di tubuhnya.

Dia cantik.

Selalu cantik.

Tubuhnya yang langsing dan tinggi itu selalu membuat Janggala jatuh hati, terutama matanya yang menyihir sejak kali pertama mata mereka bertemu di Rumah Sakit.

“Kami punya usulan tempat yang cocok untuk kantor cabang.” Lavani tiba-tiba bersuara ketika beberapa orang bertanya mengenai lokasi yang cocok. Semua mata kini tertuju padanya, dia kemudian duduk agak maju, tangannya menyentuh meja rapat.

“Karena kantor cabang ini nantinya akan mengurus bahan mentah untuk produksi, saya kira ada baiknya dibuka di tempat yang selama ini menjadi pemasok sayuran perusahaan.”

“Maksud anda Desa Permadani?” Tanya salah satu yang hadir di rapat.

“Betul, selama ini sudah bertahun-tahun desa itu menjadi salah satu pemasok bahan mentah perusahaan. Saya rasa ada baiknya dirikan kantor cabang disana dan perbaiki sistemnya, kualitas mereka bagus tapi kita selalu menunggu lama untuk dapat jumlah yang kita pinta.” Lavani menjelaskan dengan suara yang tenang.

“Tapi desa itu hanya dihuni oleh seratus kepala keluarga, itu desa kecil dan jarak dari sini kesana memakan waktu sampai lima jam. Desa Permadani berada tepat di kaki gunung.” Ujar pak Hartono, salah satu pemegang saham PT. TANTRA WIBAWA.

“Lagipula akan sulit kalau secara mendadak membeli lahan disana.”

“Keluarga Tantra punya tanah disana.” Pernyataan Janggala membuat semua orang di ruangan beralih menatapnya. “Tapi untuk membuatnya menjadi sebuah kantor cabang mungkin akan diperlukan beberapa hektar lagi.”

“Tidak bisa, itu akan memakan banyak waktu. Kita butuh tahun ini sudah selesai.” Pak Ibrahim kini bersuara, dia menyandarkan punggungnya ke kursi.

“Bisa, biarkan saya yang handle. Saya dan Janggala.” Sivan bersuara, membuat orang-orang di ruangan mulai riuh.

Tidak ada yang mempercayai kinerja Sivan meskipun selama berada di kantor cabang yang dibawahi oleh Lavani prestasinya gemilang. Semua orang di ruangan sudah diberikan ultimatum oleh Nancy untuk tidak mempercayai Sivan, mereka tahu urusan Nancy dan Sivan adalah ranah pribadi namun seluruh kekayaan mereka ada di tangan Nancy.

Mereka tidak ingin berulah.

“Kalau begitu, untuk lokasi sudah ditentukan.” Ucapan Janggala membuat seluruh ruangan semakin riuh, mereka tidak menyetujui keputusan Janggala.

“Mohon di dengarkan, saya disini bukan untuk menopang ide istri saya. Tapi apa yang Lavani usulkan ada benarnya, selama ini kita agak kesulitan mengenai bahan mentah untuk produksi. Satu-satunya yang cocok hanyalah hasil panen desa Permadani, hanya saja selama ini kita tidak pernah ikut campur masalah penanaman dan lainnya. Saya rasa sekaranglah waktunya.”

Penjelasan Janggala membuat semua orang di dalam ruangan tutup mulut. Mereka tidak mampu membantah atasan mereka yang masih muda itu. Meskipun usianya masih terbilang muda sejumlah prestasi sudah diraih oleh Janggala, kemampuannya sebagai seorang CEO tidak bisa disepelekan.

Janggala membubarkan rapat pukul lima sore, ketika dia keluar dari ruangan dia mencari Lavani. Namun wanita itu tidak ada disana, dia mengecek ruangannya. Nihil.

“Lavani pulang duluan, katanya kepalanya masih pusing.” Sivan berkata, berjalan mendekat ke arah Janggala sambil tersenyum.

“Oh, kakak gak kembali ke kantor?”

“Jam 5 Ga, waktunya pulang. Kamu juga bereskan semuanya dan pulang, temani Lavani.” Ucap Sivan sambil menepuk pundak sang adik.

“Semalam kakak sama Lavani?”

Sivan menghentikan langkahnya kemudian menoleh pada Janggala yang menatapnya, “Enggak. Kakak kemarin ada pertemuan dengan pak Rudy. Kenapa?”

Janggala mengangguk, “Gak apa-apa, kemarin Vani pergi sama siapa ya ke klub?”

Sivan terdiam sesaat sebelum akhirnya tertawa, “Tanyakan sama istrimu dong Ga. Dasar kamu ini, kakak duluan ya.”

Janggala hanya tersenyum kecil, dia masuk ke dalam kantor dan mengepalkan jarinya. Semalam ketika dia mau tidur, Lavani mengigau.

Dalam igauannya dia menyebut nama Sivan.

“Vaaan, Sivan! Jangan tinggali aku..”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status