Share

BAB 8

Janggala masuk ke dalam kantor, seperti hari-hari biasa tatapan sinis orang-orang disana tidak pernah berubah. Semenjak dia diangkat jadi penerus sementara semua orang menyepelekannya.

Tentu saja, siapa yang mau tunduk pada anak berusia dua puluh tahun yang bahkan masuk kuliah saja belum.

Berbeda dengan Dirra yang lebih dulu bekerja setelah lulus sekolah, Janggala menghabiskan waktunya untuk berleha-leha dibawah ketiak orangtuanya. Setelah ayahnya meninggal dan dia diberikan tugas yang berat, dia baru merasa sangat kewalahan. Itulah mengapa dia absen memberi kabar pada Dirra setelah apa yang mereka lakukan di hotel.

Dia masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh sekretarisnya.

“Hari ini ada jadwal rapat sampai jam dua sore aja pak.” Ujar Siska, mengecek jadwal Janggala di tablet milik kantor yang selalu dia bawa kemanapun.

Janggala melepaskan jas dan menggantungnya, ia duduk di kursinya menatap area kerjanya.

“Sis, kamu bisa pesankan saya taksi nanti setelah jam dua?”

Siska terdiam sebentar, mencerna ucapan Janggala.

“Pak, saya bukannya gak mau…”

“Saya tahu,” Potong Janggala, dia memainkan jemarinya diatas meja karena gugup. “Tapi saya harus bertemu Dirra, saya tahu kamu pasti diminta Eveline untuk mengawasi saya. Saya janji hanya sebentar.”

Siska menghela napas, dia sudah diberi mandat oleh Eveline untuk mengawasi tuan muda di kantor selama Eveline bertugas menemani sang nyonya besar. Dia juga tahu permasalahan apa yang tengah menimpa keluarga Tantra.

“Pak, setengah jam. Bapak cuma punya waktu setengah jam sebelum kembali kesini, nyonya dan bu Eveline akan datang pukul tiga sore.” Siska berkata sambil keluar dari dalam ruangan Janggala.

Janggala berjingkrak girang, akhirnya dia berhasil membujuk salah satu karyawan ibunya untuk berpihak padanya. Dia kemudian berusaha untuk menyelesaikan semua pekerjaannya secepat mungkin.

Dia mengikuti rapat dengan penuh fokus bahkan tidak berniat untuk makan siang. Isi kepalanya hanya dipenuhi oleh Dirra. Dia harus bertemu dengan wanita itu sebelum terlambat, dia harus memastikan semua perkataan ibunya mengenai Dirra dan keluarganya.

Janggala tengah membaca berkas-berkas ketika pintu kantornya diketuk, dia mengangkat kepalanya dan mendapati Lavani berada disana tersenyum dengan lebar. Perempuan muda itu masuk ke ruangan, dia mengenakkan pakaian kasual hari ini.

Celana jeans dengan baju putih berlengan panjang.

“Jam setengah satu loh, kok gak makan siang?” Tanyanya sambil mengecek jam di tangan kirinya.

“Lagi gak nafsu. Kamu kok disini?”

Lavani mengerenyitkan hidungnya, meledek jawaban Janggala. Perempuan itu mendekat dan duduk di sofa ruangan Gala.

“Aku habis ketemu beberapa klien.”

Janggala mengangkat kedua alisnya, “Berpakaian seperti ini?” Ujarnya sambil menunjuk pakaian kasual yang tengah Lavani pakai.

“Gak boleh ya?” Ucapnya sambil tertawa.

Well, memang tergantung sih.. Klien bagaimana dulu..”

Lavani tertawa sekali lagi mendengar sindiran yang dilayangkan padanya.

“Ga, kamu sudah booking apartemen yang kemarin aku bilang ke tante Nancy?” Topik pembicaraan Lavani seketika berubah, membuat Janggala kini gantian mengerenyitkan dahinya tidak mengerti.

“Apartemen?” Janggala menyimpan dokumen yang tengah dia baca dan tanda tangani, mulai tertarik dengan pembahasan Lavani.

“Loh? Kata tante Nancy kamu yang minta lokasi apartemennya dekat sama apartemenku?”

Janggala masih terdiam sebelum akhirnya dia mulai menyusun puzzle yang tengah dilempar oleh Lavani.

Ibunya menyinggung masalah apartemen?

“Apartemen dimana?”

Kini gantian Lavani yang terlihat bingung mendengar pertanyaan Janggala, karena sepahamnya Janggala yang meminta mengenai apartemen tersebut. Ia mengalihkan pandangannya pada Janggala.

“New York, kata tante Nancy minggu depan kamu sudah pergi ke New York untuk mengikuti ujian penerimaan mahasiswa baru.”

Tangan Janggala seketika mengepal mendengar hal itu. Dia tahu ibunya tengah merencanakan sesuatu, tapi dia tidak pernah berpikir ibunya dengan segera mendaftarkan dia untuk berkuliah di New York.

Wanita tua itu benar-benar ingin memisahkannya dengan Dirra.

“Bukannya kamu akan menetap di Indonesia?” Tanya Janggala kemudian.

“Karena tante Nancy bilang kamu mau berkuliah disana, ayah jadi mengizinkan aku menyelesaikan kuliah disana juga. Eh, jangan bilang kamu belum tahu?”

Janggala berdiri dari duduknya, tanpa basa-basi dia mengambil jas yang tergantung dan pergi keluar meninggalkan Lavani yang memanggil-manggilnya dari dalam ruangan. Siska terkejut melihat Janggala keluar, berusaha mencegahnya namun percuma.

Dengan segera dia menyetop taksi dan pergi masuk ke dalam, dia akan pergi ke rumah Dirra. Kalau dia saja dengan mudah diperlakukan seperti ini oleh ibunya, bagaimana dengan Dirra?

Janggala menatap jalanan dengan hati yang tidak karuan. Ada banyak spekulasi dan ketakutan yang dia harap tidak terjadi, dia takut apa yang ibunya katakan mengenai Dirra dan keluarganya menjadi kenyataan.

Taksi berhenti di sebuah gang perumahan padat penduduk, Janggala dengan langkah panjangnya masuk ke dalam. Dia kemudian berhenti ketika melihat mobil truk besar mulai berjalan meninggalkan rumah Dirra, kalau dilihat dari banyaknya barang yang dibawa, dia yakin benar kalau Dirra dan keluarganya akan pindah.

“Dir! Dirra!” Janggala memekik ketika dia melihat sosok perempuan yang dia kenali sebagai Dirra masuk ke dalam mobil sedan berwarna hitam.

Dirra menoleh, matanya terlihat cekung dan wajahnya pucat, dia terlihat sangat kurus dari yang terakhir Janggala lihat.

“Gala! Gala!” Dirra berteriak ketika tangannya ditarik paksa dari dalam mobil, ayahnya datang dan memaksa Dirra masuk ke dalam mobil.

Dirra menoleh dan berteriak memanggil nama Janggala.

“Dir! Dirra!! Dirra!!” Janggala memekik, dia mulai berlari ketika mobil sedan itu berjalan pergi menjauh. Dia bisa melihat Dirra menoleh padanya dan berteriak memanggil namanya dari dalam mobil, menangis.

Dia terus berlari mengejar mobil itu.

Janggala berlari sampai keluar gang mengejar mobil sedan itu. Mata mereka bertemu tapi mobil itu tidak berhenti.

“Dirra! Dirra! Berhenti! Hentikan mobilnya!!” Pekik Janggala, dia berlari dan terus berlari.

“ASTAGA MAS! MAS! AWAS MAS!!!!!!” Seseorang dari seberang jalan memperingatkannya, namun Janggala tidak mendengar, dia terus berlari mengejar mobil sedan hitam yang sudah tidak tampak lagi sebelum akhirnya sebuah mobil menghantam tubuhnya dengan kencang.

“ASTAGA! ADA ORANG KETABRAK!!” Seru banyak orang, mereka menjerit.

Janggala tidak merasakan apapun, yang dia ingat hanyalah dia menatap langit.

Langit yang biru, airmata tidak berhenti menetes, hatinya remuk. Dan matanya terpejam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status