Sam sontak merasa kesal. Sekalipun napasnya juga terengah-engah, tetap saja dia tidak mau kalah dari George. "Aku memang menyarankan naik feri, tapi kamu 'kan juga nggak nolak! Kalau bukan karena kamu yang sok pamer pesona ke perempuan-perempuan di kapal feri itu, memangnya kita bakal kena todong?"George marah sekali hingga bibirnya tampak gemetar. "Kamu, kamu, kamu .... Kamu sendiri juga sibuk menggoda seorang gadis berkulit gelap, 'kan!""Bukan aku yang menggodanya, tapi dia yang menggodaku!" bantah Sam."Apa bedanya!" George menggertakkan giginya. "Ini semua gara-gara kamu yang nggak mau naik pesawat dan bersikeras naik feri!"Wina pun langsung melangkah maju dan menarik George menjauh untuk melerai mereka berdua. "Kalau kamu pergi dengan Sam, kamu memang harus bersiap dirampok."George merasa Wina sudah berpengalaman. Seolah akhirnya mendapatkan teman senasib sepenanggungan, George pun mengeluh dengan pilu."Kalau ditodong doang sih nggak masalah! Masalahnya, dia itu keluar cuma m
Sementara itu, Leona yang berada di dalam kastel tampak menggandeng lengan Tuan Besar Killian sambil berkata, "Kakek, apa kamu ingin bertemu dengan cucu iparmu?"Killian yang memegang tongkat berkepala naga, pun memalingkan pandangannya sambil mendengus dengan dingin. "Memangnya dia pantas untuk kutemui?"Akan tetapi, Leona bisa membaca makna tersirat dalam ucapan kasar kakeknya. "Kalau Kakek nggak mau bertemu, Kakek nggak akan hadir di sini."Killian memang hanya duduk tersembunyi di belakang sambil menonton dengan tenang, bukan karena pesan teks Wina yang membuatnya berlari mendekat.Isi hati Killian yang terbaca pun membuat Killian berkata dengan dingin, "Kalau dia sampai nggak bisa hamil, jangan harap dia akan diterima di Keluarga Lionel ....""Aduh, Kakek sudah lupa, ya?" sahut Leona sambil tersenyum. "Sekarang, Jihan-lah yang bertanggung jawab atas Keluarga Lionel. Bukan Kakek yang berhak memutuskan.""Kamu ini mencoba membuatku marah, ya?" gerutu Killian sambil menatap Leona den
Sinar matahari terbenam pun menyinari Jihan, membuatnya tampak elegan, bersinar dan memesona.Sinar matahari itu juga membuat berlian yang menghiasi gaun pengantin Wina tampak berkilauan dengan pendar kebiruan ....Semua orang yang berada di bawah kapal sontak mengerti kenapa gaun pengantin itu disebut sebagai satu-satunya di dunia.Ternyata cahaya malam hari membuat berlian itu menyilaukan warna biru yang samar dan menyatu dengan warna air laut.Wina termangu menatap gaun pengantinnya, tetapi Jihan yang tidak sabar pun melangkah maju dan menariknya bergegas menaiki kapal."Kamu kenapa buru-buru banget?"Jihan pun menggendong Wina, lalu menunduk menatap leher Wina yang putih, serta dadanya yang berisi."Menurutmu?""Kamu mau melihat matahari terbenam?""Melihatmu."Wina hendak bertanya apa yang hendak Jihan lakukan, tetapi tiba-tiba pria itu mengangkat tubuh Wina ke tengah udara dan menggendongnya beserta dengan gaun pengantin Wina yang berat.Jihan sudah hafal dengan jalannya. Dia mem
Wina tersipu malu dan membuka bibir merahnya."Sa ...."Dia mencoba untuk bicara, tetapi tidak bisa."Ah ... aku nggak bisa."Dia menutupi wajahnya yang memanas dengan telapak tangan, merasa terlalu malu."Hmm? Panggil saja nggak bisa?"Pria itu menggigit telinganya. Tubuh Wina gemetar saat bibir panas itu menyentuh kulit sensitifnya.Lehernya terkejut, berusaha menghindari. Namun, napasnya yang panas tetap jatuh di daun telinganya. Dia benar-benar kehilangan tempat untuk melarikan diri."Aku akan membuatmu memanggilku ...."Jihan menarik tali yang sudah berantakan dan dengan mudah melepaskan gaun pengantin yang memakainya perlu bantuan banyak desainer.Jari-jarinya rampingnya menggenggam gaun pengantin itu dan melemparkannya ke samping. Matanya dipenuhi hasrat yang menghipnosis, menatap wanita di depannya yang hanya tinggal mengenakan penutup dada.Sepertinya, ini pertama kali dia melihat benda seperti ini. Alisnya yang tebal dan indah tampak mengerut. "Apa ini?"Melihat dia tidak men
Akung sekali, setelah benar-benar memanggilnya seperti itu, bukan saja Jihan tidak melepasnya, dia bahkan mendekapnya semakin erat.Mereka melakukannya berkali-kali dalam satu malam. Baik di tempat tidur, di kamar mandi, di kolam renang, di lantai.Kapalnya berlayar, berguncang beberapa kali, dan beberapa kali itu, mereka ....Jika seseorang melihat pemandangan di kapal melalui kaca, jantung mereka akan berdebar kencang dengan wajah memerah.Saat langit mulai bercahaya kembali, Wina mendengarkan napas pria itu yang lama kelamaan semakin berat, lalu dia mengikuti.Bibir merahnya tertawan, membuatnya kehilangan kendali dan menyuarakan erangan serak.Setelah seluruh tubuhnya kembali tenang, pria yang mendekap dia dalam pangkuannya itu menggigit telinganya lagi dan membujuknya."Akung, sekali lagi."Pria ini, setelah menikah, seolah-olah melepaskan sepenuhnya keliaran dalam tubuhnya, lagi dan lagi, tanpa henti.Wina menelungkupkan wajah di bahunya, membuka bibir, berkata dengan lemah."Jih
"Dia ada di kapal itu, mengundangmu naik ke kapal untuk ngobrol."Jihan mengikuti arah yang ditunjuk jari Zeno dan memandang ke arah kapal raksasa yang berjalan di samping mereka.Di dek kapal raksasa itu, berdiri seorang pria yang mengenakan baret dan memancarkan wibawa kuat.Saat melihat Jihan, dia melepas baret di kepalanya, sedikit mengangkat sudut bibirnya, dan memberi senyuman datar.Ekspresi Jihan yang tadinya lembut langsung mengeras. Matanya yang seperti elang menyiratkan rasa tidak suka."Bagaimana dia tahu rute pelayaranku?""Kapal Tuan Jovan sepertinya sudah mengikuti kapal kita sejak keberangkatan."Dengan kata lain, Jovan telah mengikutinya sejak dia keluar dari kastel.Jihan tidak suka perasaan dikontrol dan diawasi seperti ini. Wajahnya menjadi semakin suram.Jovan yang cukup jauh di kapal itu membuka bibir dan mengatakan sesuatu. Suaranya tidak terdengar, tetapi Jihan bisa membaca gerak bibirnya.Dia mengepalkan tinjunya, berbalik, dan menatap wanita yang terbaring nye
Dia meletakkan ponselnya dan melihat sekeliling. Tidak terlihat Jihan sejauh matanya memandang.Pria itu pasti sudah bangun untuk pergi makan. Matanya tertuju pada beberapa koper besar di dalam kamar.Dia memaksa kakinya yang lemah untuk bangkit dari tempat tidur. Rasa sakit yang tajam dari bagian bawah tubuhnya membuatnya menggertakkan gigi kesakitan.Kejam sekali, Jihan sungguh terlalu kejam. Setiap kali mereka melakukannya, rasanya seakan Jihan ingin membunuhnya.Dia memang sangat menikmati saat melakukannya. Hanya setelahnya saja, sakitnya tak tertahankan ...Dia berpegangan pada dinding, berjalan selangkah demi selangkah menuju kopernya, lalu berjongkok dengan susah payah untuk membuka koper.Dia masih ingat Lilia memberitahunya untuk membuka koper sebelum dia pergi mandi di malam hari.Jihan terlalu tidak sabaran tadi malam sampai dia lupa membukanya. Apa sebenarnya yang telah dia lewatkan ...?Dengan penuh antisipasi dan sedikit antusiasme, dia membuka koper itu ....Isinya adal
Bukan. Veransa sudah lama meninggal.Wanita muda itu terlihat sangat muda. Bukan dia.Jovan memandang Wina dengan tatapan yang sedikit kosong, membuat Jihan tampak waspada."Tuan Jovan, kamu kenal istriku?"Jovan pun tersadar. Mata tajamnya segera kembali tenang."Dia istrimu?"Jovan tidak menjawab pertanyaannya."Apa kamu sudah memeriksa latar belakangnya?"Bukankah Jovan memata-matai dirinya?Dia bahkan tidak memeriksa latar belakang istrinya?Jovan berbalik melirik Jihan yang menatapnya dengan penuh waspada."Jihan, aku memperlakukanmu seperti anakku sendiri, jadi untuk apa aku menyelidiki istrimu?"Kecurigaan di mata Jihan hilang dalam sekejap. Jovan memang memperlakukannya lebih baik dari anak sendiri.Ini adalah hal yang tidak dia mengerti saat masih kecil. Seiring dia tumbuh semakin dewasa, kemungkinan yang rasanya paling tepat adalah karena dia adalah yang paling berguna untuknya.Namun, Jovan tidak pernah memanfaatkan dia sampai berlebihan. Dia bahkan memberikan tugas untuk me