Share

3. Fakta Menyakitkan

Air mata Mia mengalir deras, tangisannya menggema di ruangan. Tapi Max justru menciumnya dengan makin kasar. 

Ini bukan Max yang dia kenal, bukan pria yang selama ini ia percayai dan cintai. 

Mia mendorong dada Max, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya. Namun, kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan pria ini. 

“Max, STOP!” Mia menggeliat, menendang, dan memukul, tapi Max seolah terbutakan oleh amarah dan keputusasaan.

Mia teringat saat-saat indah mereka bersama, senyum hangat Max, tatapan lembutnya. Bayangan itu membuatnya bertekad ingin mengembalikan Max. 

“Max, lihat aku!” Mia berteriak, matanya mencari-cari mata Max, ditahannya kedua sisi wajah Max yang sejak tadi menciumnya dengan liar.

Tatapan mereka bertemu, dan di saat itu, ada sesuatu yang berubah. Mata Max yang tadinya dipenuhi amarah kini memancarkan keraguan. Mia tidak berhenti. “Ini bukan kamu, Max. Kamu bukan orang yang seperti ini,” serunya.

Max tertegun. Cengkeramannya melemah. Dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang remuk. Sorot mata Mia yang penuh luka dan ketakutan menghantam kesadarannya. Ia melihat air mata yang mengalir di pipi Mia, mendengar isak tangisnya membuat hati Max terguncang.

“Maaf…,” suaranya hampir tidak terdengar. Max melepaskan tangannya dari tubuh Mia, mundur beberapa langkah dan terhuyung, seolah-olah baru saja disadarkan dari mimpi buruk. Dia jatuh berlutut di lantai, kepalanya tertunduk dalam rasa malu dan penyesalan yang mendalam.

Max menghempaskan tubuhnya ke dinding, napasnya terengah-engah, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Matanya terbuka lebar, dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam. Sementara itu, Mia meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar dan pandangannya kosong. 

Pertarungan mereka barusan meninggalkan bekas luka tak terlihat di hati mereka berdua. Kesunyian pun melingkupi ruangan, detik demi detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan.

Max membenahi pakaiannya, merapikan rambut yang kusut dengan gerakan gugup, lalu mendekat ke arah Mia. 

"Maafkan aku, Mia," katanya dengan suara serak, hampir berbisik. "Aku … kehilangan kendali. Aku … benar-benar menyesal."

Mia mendongak perlahan, tatapannya menusuk tepat ke dalam mata Max. Ada ketegangan di sana, campuran antara kemarahan, ketakutan, dan ketidakpercayaan. Namun, ia tahu bahwa di balik itu semua, Max hanya sedang tersesat dalam emosinya. 

"Aku tahu." Suara Mia tegar meskipun ada goresan kepedihan. Wanita itu menunduk, memandang blusnya yang terkoyak. Ia berusaha menutupinya bagian depan kancingnya yang terlepas. 

“Maaf, aku akan mengganti pakaianmu yang rusak. Akan segera kubelikan.” Max berkata lirih. 

Pria itu memejamkan matanya ketika menyadari bahwa dia telah menyakiti Mia. Leher wanita itu dipenuhi bekas ciuman yang memerah di beberapa tempat, menunjukkan betapa kuatnya isapan yang dia lakukan di sana tadi.

“Tidak perlu, aku punya pakaian ganti.” Mia beranjak bangun, ingin menuju ke kamar mandi. 

Max mengulurkan tangan ketika melihat Mia berjalan dengan sedikit sempoyongan. Keadaan wanita ini jelas tidak baik-baik saja.

“Mia!” Max dengan sigap meraih tubuh Mia yang tiba-tiba saja terkulai pingsan.

***

Sementara itu, di kamar yang ditinggalkan Mia, Alyra, dengan gaun kecil berwarna merah muda yang anggun, duduk di depan kue tartnya dengan mata berbinar-binar. Senyumnya lebar, penuh kegembiraan anak-anak yang murni. 

Nathan duduk di sebelahnya, menyembunyikan kegelisahan yang menggelayuti hatinya. Namun, senyum yang ia pasang untuk Alyra terlihat tulus, penuh kasih sayang.

Tadi, saat ia berniat mengejar Mia, tiba-tiba Vena, ibu dari Alyra, datang menghadangnya. Membuat emosi Nathan makin tidak karuan. 

Namun, wanita itu mengatakan, “Jangan marah, Pak. Aku di sini demi Alyra.”

Oleh karena itu, Nathan menahan semua emosi dan kekalutan hatinya. Ia tidak mungkin menyalahkan gadis kecil yang tidak tahu apa-apa.

"Selamat ulang tahun, Sayang." Nathan mencium pipi Alyra yang gembul. Lalu menyanyikan lagu ulang tahun. Vena juga ikut bernyanyi untuk putrinya.

"Happy birthday to you…, happy birthday to you…, happy birthday dear Alyra…, happy birthday to you!"

Nathan menatap Alyra.. "Sekarang, tiup lilinnya, Sayang."

Alyra mengambil napas dalam-dalam, meniup lilin dengan penuh semangat. Api di atas angka tiga padam, dan Alyra bersorak girang, bertepuk tangan dengan gembira. 

Nathan tertawa, suaranya penuh kebahagiaan yang menyamarkan kegelisahan di hatinya. Dia mengangkat Alyra dan memeluknya erat, mencium pipinya dengan lembut. 

"Alyra anak hebat,” bisiknya memuji. 

Namun, saat Nathan memeluk bocah 3 tahun itu, pikirannya melayang ke tempat lain. Di balik senyum dan tawa, hatinya dipenuhi kecemasan yang mendalam tentang Mia. Dia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana keadaannya sekarang, apakah dia baik-baik saja? 

Rasanya tidak. Rasa bersalah menyelinap di sela-sela kegembiraannya bersama Alyra, membuatnya merasa terpecah antara cinta untuk bocah ini dan kekhawatiran untuk Mia, istri yang dicintainya.

Vena melirik Nathan, dia bisa melihat kilat kegelisahan di mata pria itu. “Pasti memikirkan Mia!” gerutunya dalam hati.

“Terima kasih sudah merayakan ulang tahun Alyra kali ini, Pak.” Vena berkata sambil menyelimuti Alyra yang baru saja tertidur. Ini menjadi kali pertama Nathan ada untuk Alyra di hari ulang tahunnya.

Nathan memasang wajah dingin, jauh berbeda dengan wajah yang senantiasa ia tampakkan untuk Alyra. 

“Sekali lagi kamu mengacau, aku tidak akan memaafkanmu, Vena.” Pria itu berkata.

“Tapi, Pak … Alyra sedang sakit. Mia memiliki banyak kesempatan untuk merayakan ulang tahunnya dengan Bapak, tapi Alyra?” ratap Vena mengais iba. 

Begitulah, bila sudah membawa-bawa nama Alyra, Nathan seolah tak bisa berkutik di depan Vena. Nathan tak tega pada bocah cilik itu.

“Cepat siap-siap, kuantar kalian ke Gambir,” kata Nathan esok paginya, setelah semalaman mereka menginap bersama untuk merayakan ulang tahun Alyra. Rencananya Vena dan Alyra akan kembali ke Malang naik kereta api pagi ini.

Alyra mengalungkan tangan mungilnya ke leher Nathan sambil terkekeh saat pria itu menggesekkan ujung hidung mancungnya ke ujung hidungnya. Nathan tampak menikmati kebersamaan mereka. Sementara itu di sebelah Nathan, Vena ikut tersenyum.

Tawa Nathan seketika menyurut ketika tiba-tiba saja matanya menangkap sosok sang istri di lobi hotel. 

“Mia…!” panggilnya dengan nada yang tinggi.

Mia yang sedang berjalan bersisian dengan Max segera menoleh, wajahnya seketika pias. Dia tak mengira bakal melihat Nathan menggendong anaknya bersama wanita lain. 

“Jadi…, semalam dia menginap bersama anaknya dan wanita selingkuhannya itu? Di sini?” geramnya dalam hati. “Setelah aku pergi?”

Mia memandang Vena dengan sorot marah dan juga jijik. 

Sial. Dia pikir mentalnya kuat saat berhadapan dengan si pelakor itu, tapi rupanya tidak! 

Andai Max tak segera merangkul dan menopang tubuhnya yang gemetar, mungkin Mia sudah merosot ke lantai saat ini. 

“Mia, kamu tidak apa-apa?” bisik Max, terdengar khawatir. 

Mia berpegangan erat pada lengan Max yang kokoh, menjadikannya sandaran dalam situasi sulitnya saat ini.

“MIA…!” Suara Nathan kembali menggema di sana, menyoroti dirinya dan Max dengan tatapan seperti siap membunuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status