Share

2. Pertemuan Kembali Dengan Sang Mantan

Ah, kondisi Mia sangat kacau. Bisa-bisanya–

Tiba-tiba, Max masuk ke dalam lift dan memanggul tubuh Mia begitu saja di salah satu pundaknya yang tegap.

“Max, apa-apaan kamu?” pekik Mia.

Mengabaikan kebingungan Mia, Max melangkah mantap menuju sebuah kamar yang tadi ia tinggalkan. 

“Kita perlu bicara banyak, Mia.” Suara Max terdengar dalam, membuat tubuh Mia gemetar. “Ke mana saja kamu menghilang selama tujuh tahun ini? Aku mencari-carimu seperti orang gila!” 

Tubuh Mia dilemparkan begitu saja ke atas ranjang.

Ya, Mia tahu. Ia bersalah pada lelaki ini.

Max berkacak pinggang, berdiri di tepi ranjang. Tatapannya mengurung Mia dengan rasa ingin tahu yang tak terelakkan. 

“Jelaskan apa yang terjadi selama tujuh tahun ini, Mia.” Max bergerak mendekat dan duduk di tepi ranjang. “Kenapa kamu tiba-tiba menghilang, Mia? Meninggalkanku tanpa kabar sama sekali.” 

Mia beringsut mundur, menjauhi Max dengan tatapan takut-takut, seolah ada rahasia besar yang selama ini dia sembunyikan dari mantan kekasihnya ini. 

Mantan? Kenyataannya, mereka tidak pernah mengucapkan kata “putus.” Bagi Max, Mia masih kekasihnya.

“Mia. Jawab aku.” Max kembali mendesak.

Mia menutup wajahnya dengan tangan dan tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dia bingung, dari mana mulai menjawab pertanyaan tersebut.

Mereka menjalin hubungan cukup lama. Pertemuan pertama mereka terjadi saat Mia masih SMP, dia sedang berlibur di rumah teman ayahnya di Amsterdam, Belanda. Pada waktu itu, sebagai anak tetangga, Max mengajaknya berkenalan lalu dengan ramah menawarkan diri untuk menemani Mia jalan-jalan naik sepeda. 

Komunikasi mereka tetap berlanjut setelah Mia kembali ke Indonesia. Max rajin bertukar kabar dengan Mia, bahkan di tengah kesibukannya sebagai atlet sepakbola. Hubungan pertemanan itu pun berkembang menjadi hubungan asmara yang manis, sekalipun jarak jauh karena Max sedang menekuni kariernya sebagai pesepakbola junior di Inggris.

Sampai akhirnya, pria itu melamarnya setelah resmi pindah kewarganegaraan dan bergabung dengan tim nasional sepakbola Indonesia.

Mia ingat, saat Max melamarnya waktu itu, ia begitu bahagia. Tanpa pikir panjang, ia langsung menerima pinangan kekasihnya tersebut.

Baru kemudian, ia menyesali keputusannya.

Bagaimana Mia bisa menjelaskan masa lalu dan perasaannya yang begitu kompleks pada pria yang telah ia tinggalkan tanpa penjelasan ini?

Sementara Mia sibuk dengan pikirannya, melihat Mia menangis, Max menghela napas dalam-dalam.

Perlahan, pria itu merengkuh tubuh Mia dan mendekapnya. Saat Mia berusaha menolak, Max justru semakin mempererat pelukannya.

“Mia, kamu bisa menjelaskannya pelan-pelan. Aku akan mendengar apa pun yang kamu sampaikan.” Max berkata, kali ini dengan nada lebih lembut. “Aku merindukanmu, Mia. Tidakkah kamu merasakan hal yang sama?” 

Max menatap wanita dalam pelukannya itu dan mengecup lembut kening Mia, lalu memandanginya lekat-lekat. 

Mia terlihat semakin cantik, lebih berisi daripada terakhir kali Max melihatnya, namun tetap memikat. 

I love you, Mia. I miss you so much.” Max berbisik lembut.

Mia menggigit bibir, kata-kata cinta Max menusuk-nusuk hatinya dengan rasa bersalah dan penyesalan. Tubuh Mia membeku saat Max kembali memeluknya, tidak mampu menolak. 

“Mia,” panggil Max seraya memindahkan tubuh Mia begitu saja, seolah tubuh Mia seringan kapas bagi pria bertubuh atletis dengan tinggi badan 189 cm itu. Kini Mia terduduk di pangkuan Max. “Aku menunggu penjelasanmu, tolong … bicaralah.”

Mata Mia terpaku pada wajah Max yang tampan dan semakin matang di usia 28 tahun. Max yang berdarah Jawa-Belanda-Inggris memiliki kulit yang tak terlalu pucat. Bibirnya yang penuh memiliki senyum memikat dan rambutnya hitam menawan. Dan matanya, ah, sepasang “hunter eyes” yang sungguh luar biasa; abu-abu yang dalam, mengandung kehangatan dan misteri sekaligus. 

“Max, maafkan aku.” Akhirnya Mia mulai berkata. “Aku—” Mia menelan ludah, menunduk saat pandangannya bertemu dengan sepasang mata abu-abu indah itu, yang menatapnya penuh harap. 

“Aku sudah menikah, Max. Aku menghilang dari hidupmu selama tujuh tahun ini karena aku sudah menikah, aku bahkan sudah punya anak.” Mia berkata sambil beranjak dari pangkuan Max yang seketika menegang mendengarnya. 

Mia bisa melihat wajah Max yang seketika tampak pucat, terpukul oleh ucapan “kekasihnya”.

Perlahan, Mia beringsut pergi. Ia tidak boleh ada di–

Tiba-tiba, Max mencekal erat tangannya. 

“Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Mia?” sentak Max. Matanya menatap Mia nyalang, penuh kemarahan. Tapi juga berkaca-kaca. “Jelaskan padaku! Setelah menghilang tanpa penjelasan, setelah membuatku mencari dan menunggumu selama tujuh tahun–Tujuh tahun, Mia!” 

Mia tertegun, tak mengira kejujurannya sanggup mengguncang emosi pria itu. 

“Kamu … menungguku?” Mata Mia memanas. Segala perasaan campur aduk dalam dadanya. Setelah perselingkuhan suaminya, pertemuannya dengan mantan kekasihnya kian menambah beban mentalnya. “Tapi kenapa? Kamu tampan dan terkenal, kamu bisa mendapatkan wanita lain yang lebih segala-galanya dariku!” 

Otak Mia benar-benar sudah tidak bisa berpikir jernih.

Namun, kalimat Mia tersebut membuat Max mendorong tubuh Mia ke tempat tidur dengan satu gerakan kuat.

“Apa aku kurang menunjukkan bahwa aku ini mencintaimu?” sergah Max, suaranya serak dan penuh dengan kemarahan dan kesedihan mendalam. “Apa otakmu itu tidak ingat kalau hanya kamu wanita yang kuinginkan? Selama ini aku selalu memegang janji kita, sialan!” 

Mia terguncang, dia tidak pernah melihat Max seperti ini. Sebelum dia bisa merespons, Max sudah menindih tubuhnya di atas ranjang, bibirnya mencium Mia dengan ganas, seolah ingin menyalurkan semua kerinduan, rasa sakit, dan kekecewaannya.

Ciuman Max begitu kasar, penuh dengan gairah yang dipicu oleh amarah. Mia berusaha melawan, tetapi tubuhnya terasa lemah di bawah kekuatan Max. 

“Max, berhenti! Kumohon!” Mia mencoba berteriak, namun suaranya tertahan oleh ciuman Max yang semakin dalam. 

“Max, jangan!” seru Mia saat Max malah mencabik pakaiannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status