Beberapa kali Kasih mencoba menghubungi nomor Gilang, sayangnya pria itu sama sekali tidak mengangkat panggilannya."Dia ke mana sih? Tumben banget hari ini nggak ada nelpon aku, biasanya jam segini udah ada 10 kali nelpon. Ini kok nggak ada. Apa jangan-jangan dia cari teman tidur baru?" gumam Kasih menduga-duga."Kasih, apa kamu masih lama? Taxinya dari tadi udah nunggu nih," ucap Diana sambil menggedor-gedor pintu toilet itu dengan sedikit keras.Kasih menghela napas panjang, dia segera menghapus air matanya supaya tidak ketahuan Diana jika dia habis menangis."Iya, bentar dulu. Tiba-tiba aja aku sakit perut. Bentar lagi selesai kok," jawab Kasih."Ya udah, aku tunggu di tempat tadi ya.""Iya."Kasih mendengar suara langkah kaki itu menjauh, membuat wanita itu menghela napas lega. Ia cepat-cepat mencuci wajahnya, memakai riasan tipis untuk menutupi wajah habis menangisnya itu."Lama banget keluarnya. Apa masih sakit perut?" tanya Diana ketika melihat kedatangan Kasih. "Kopermu sudah
"Kasih, kamu seriusan tadi ngomong gitu?" tanya Diana.Kasih melirik temannya itu dengan sinis. "Emangnya kenapa? Ada yang salah?""Ya nggak tahu sih. Aku, kan, nggak tahu kalian ada masalah apa, tapi dengan kamu ngomong kayak gitu, itu sama aja kalau kamu ... halah, sudahlah, tuh dari tadi ponsel kamu bunyi terus. Diangkat kenapa," gerutu Diana."Ish! Nggak mau, dia itu nyebelin banget. Giliran ada maunya aja hubungi aku."Diana mengedikkan bahunya acuh. "Terserah kamu aja deh, aku mau ke kamar aku dulu ya, nanti kalau butuh apa-apa tinggal panggil aku. Eh, telepon aku aja, kamu kan malu kalau keluar kamar.""Oke deh, ingat ya, jangan ngewe dulu, nanti kena azab loh karena bercinta mendekati pernikahan," peringat Kasih.Diana tergelak mendengarnya. "Bahasamu masih belepotan, Kasih. Lagian kalau dipikir-pikir mana mungkin bercinta di saat lagi ada banyak orang di sini. Nah, kecuali kalau semi-semi baru bisa dipikirkan."Kasih mendelik kesal. "Udahlah, sana pergi aja. Mesum aja kamu tu
"Habis ketemu sama Rio kenapa kamu banyak melamun gitu? Pasti terpesona sama dia ya? Aku bilang juga apa," cibir Diana.Kasih diam saja, dia masih memikirkan kejadian tadi. Dia tidak salah lihat, wanita tadi itu benar-benar istri Gilang.Bahkan Kasih juga sempat mengikuti kedua sejoli itu sampai masuk ke kamar hotel. Jelas saja di situ pikiran Kasih mulai ke mana-mana.Kasih terus menggelengkan kepalanya ketika menyadari pikirannya yang terlalu jauh.'Astaga! Mikir apa sih kamu, Kasih. Kamu itu nggak ada jauh bedanya sama dia,' batin wanita itu."Kasih!" sentak Diana.Kasih terlonjak, dia mengelus dadanya karena kaget, Diana memanggilnya cukup keras."Apa sih, kamu ini selalu aja kalau ngomong selalu ngegas," decak wanita itu."Jelas aja aku ngegas, orang kamunya diajak ngobrol malah melamun, kesambet baru tahu rasa," cibir Diana. "Sampai segitunya ya karena terpesona sama si Rio," ejeknya lagi.Kasih mengerutkan keningnya. Terpesona? Hah! Memikirkannya saja tidak pernah."Kamu ngomon
"Jadi bagaimana, Pak. Apa pembangunan hotel di sini bisa kita lanjutkan?"Gilang menatap rekannya itu dengan kesal, kalau saja dia tidak menjunjung tinggi tentang profesional, sudah dia tonjok laki-laki yang ada di depannya itu."Kau tahu, kalau aku membatalkannya, sudah pasti aku rugi karena pembangunan itu sudah setengah jalan. Lalu kalau aku melanjutkan pembangunan itu, apa kamu pikir aku bakal percaya lagi sama kamu?" tanya Gilang sinis."Saya berani bersumpah, Pak, saya tidak pernah mengambil dana itu, mandor itu benar-benar tidak bertanggung jawab karena sudah membawa kabur uangnya," kata pria itu menunduk."Tetap saja di sini kamulah yang patut untuk disalahkan. Aku ingin melanjutkan pembangunan, tapi yang pegang uangnya bukan kamu."Pria itu mengangguk paham. "Saya memakluminya, Pak. Sebenarnya ada yang ingin saya katakan pada Anda, sepertinya saya sudah tidak bisa memegang tanggung jawab ini, karena saya akan pulang untuk menemui istri saya," jelas pria itu."Istri? Memangnya
"Kamu yakin mau pulang?" tanya Diana lesu."Iya, Gilang minta agar aku secepatnya untuk pulang, bentar lagi dia akan sampai sini," ucap Kasih memberitahu."Jadi kamu kasih tahu alamatnya ke dia?""Iya, emangnya kenapa?""Ya ... nggak apa-apa sih, cuma kenapa nggak nunggu acara sampai selesai aja sih," keluh Diana."Sebenarnya sih penginnya kayak gitu, tapi nggak tahu kenapa tiba-tiba Gilang memintaku untuk segera menemuinya. Kayaknya ada hal penting yang mau dia katakan deh, aku juga bingung. Padahal waktu itu dia beri aku izin pergi selama seminggu."Diana mendesah berat. "Ya sudahlah, mau gimana lagi.""Minta tolong pamitin ke calon mertua kamu ya," pinta Kasih."Kenapa nggak pamit sendiri aja, nanti dibilangnya nggak sopan loh."Kasih menggeleng. "Nggaklah, mending kamu aja. Dia itu nyeremin, dan kayaknya memang aku nggak cocok sama dia. Kalau ngelihat aku tuh sinis banget, kayak nggak suka sama aku. Jadi kamu aja ya nanti yang bilang.""Iya deh iya, itu kayaknya ada mobil parkir d
Kasih mengernyit heran karena sedari tadi dia selalu melihat Gilang tampak melamun. Dia begitu penasaran, sebenarnya apa yang tengah pria itu pikirkan. Apa dia tengah memikirkan istrinya? Ah, bisa jadi. Entah mengapa mengingat hal itu membuat hati kecil Kasih menjadi nyeri."Mau aku buatkan kopi?" tawar wanita itu.Lihatlah, bahkan Kasih berbicara dengan pelan saja bisa mengagetkannya. Sebenarnya apa yang terjadi?Gilang menatap Kasih sambil tersenyum tipis, lalu arah pandangnya beralih ke perut Kasih."Tidak usah, lebih baik kamu duduk di sini di dekatku. Aku tidak ingin membuatmu kelelahan," kata pria itu lembut.Meskipun kebingungan, Kasih tetap menuruti perintah pria itu."Kamu capek?" tanya Kasih hati-hati."Hemm, sepertinya begitu. Bayangkan saja, empat jam aku baru nyampe, lalu lanjut menjemputmu," kata Gilang lirih, dia menidurkan kepalanya di pundak Kasih. "Uh, nyaman sekali," gumamnya."Kalau capek sebaiknya kamu tidur saja."Gilang menggeleng, dia malah semakin mengeratkan
Di dalam taksi itu Kasih cepat-cepat membersihkan ponselnya, baik chat, panggilan atau apapun itu dengan Gilang segera dia hapus, buat jaga-jaga kalau nanti Dani akan memeriksa ponselnya."Kenapa aku harus seheboh ini, padahal dia juga tengah menyembunyikan sesuatu dariku, kan?" gerutu wanita itu.Beberapa saat kemudian taksi itu sudah sampai di pelataran rumah Kasih, jantung wanita itu berdegup begitu kencang ketika melihat suaminya tengah duduk di teras depan, sepertinya tengah menunggu dirinya.'Aduh, kok jadi deg-degan gini sih,' batin Kasih."Kita sudah sampai, Mbak," tegur supir taksi tersebut."Ah ya," ucap wanita itu setengah tergagap.Kasih merogoh tasnya, kemudian memberikan uang pada supir taksi itu."Kembaliannya ambil aja ya, Pak.""Makasih ya, Mbak.""Sama-sama, Pak."Kasih pun akhirnya keluar dari taksi tersebut, jantungnya semakin ketar-ketir ketika pandangan mereka saling bertemu.Dan ketika Kasih sudah berada di depan pria itu, Dani masih saja memperhatikannya dengan
[Aku merindukanmu.]Kasih tersenyum tipis ketika mendapat pesan dari Gilang. Dengan cepat dia membalas pesan dari pria itu.[Tidak! Kamu hanya merindukan tubuhku.]Lagi-lagi wanita itu tersenyum ketika membayangkan raut wajah kesal Gilang saat ini.[Oh, ayolah. Apa yang kamu katakan memang benar, tapi pikiranku nggak melulu ke arah sana. Aku merindukanmu, aku rindu dengan suara kamu, tawamu, dan juga perutmu.]Kasih mengerutkan keningnya, ketika membaca kata yang terakhir yang Gilang ketik.'Perut? Apa dia salah ketik? Atau typo?' batin wanita itu bertanya-tanya.[Perut?]Kasih tak sabar menunggu balasan dari Gilang, dia sedikit dongkol karena Gilang membalas pesannya cukup lama.[Ya, aku sangat menyukai perutmu, sangat seksi. Ada masalah?][Nggak, hanya saja terdengar cukup aneh.][Jadi, kapan kamu akan datang ke sini? Pokoknya aku nggak mau ya kamu terus-terusan nempel sama suami kamu itu!]Ketika membaca pesan itu, Kasih merasakan aura mengintimidasi dari Gilang.[Aku tidak bisa pe