"Kamu kenapa sih, dari tadi kenapa diemin aku terus, apa aku ada salah?"Kasih terus diam. Tidak mungkin, kan, kalau dia harus mengatakan jika dirinya tidak suka Gilang memanggil istrinya dengan cara seperti itu? Lagian hal itu sah-sah saja dalam hubungan suami-istri, lantas mengapa Kasih begitu kesal? Cemburukah dirinya?"Kasih," panggil Gilang, pria itu tengah membujuk wanita itu."Apa," sahut Kasih ketus."Kamu kenapa? Apa aku ada salah ngomong sama kamu tadi?" tanya pria itu hati-hati."Nggak ada!" Kali ini suara Kasih tambah ketus."Terus kenapa marah?""Satenya nggak enak," elaknya.Gilang melirik bungkusan plastik bekas sate itu, dia mengerutkan keningnya heran. Sate itu sudah Kasih makan separo."Beneran nggak enak?" tanya pria itu sekali lagi."Iya!""Terus kenapa satenya tinggal dikit? Kalau nggak enak, kan, nggak usah dimakan.""Aku laper."Gilang mengangguk paham, alasan itu masih bisa diterima di indera pendengarannya."Terus kamu pengin makan apa?""Aku mau pulang, lagi
"Besok kamu jadi pergi?" tanya Gilang yang saat ini tengah memeluk Kasih dari belakang."He'em," jawab wanita itu singkat."Beneran nih aku nggak boleh ikut?""Kamu ngapain ikut?""Buat jagain kamu lah, masa nggak boleh sih.""Nggak boleh, Gilang. Katanya kamu juga mau ke luar kota, ada proyek yang harus kamu kerjakan. Gimana sih.""Itu mah gampang, bisa diatur. Seriusan ini loh, boleh nggak kalau aku ikut?""Nggak boleh!" jawab Kasih tegas.Gilang semakin mengeratkan pelukannya, mencium pundak wanita itu berkali-kali."Beneran nggak boleh.""Iya."Gilang mendesah berat. Sejujurnya dia tidak rela membiarkan Kasih pergi sendiri, apalagi wanita itu pergi dalam waktu satu Minggu. Pasti dia akan kangen berat."Kenapa harus datang sih," keluh pria itu."Dia, kan, teman aku. Jadi aku wajib datang. Kamu kenapa sih, kok tumben jadi manja gini?" tanya Kasih dengan alis berkerut."Nanti kalau aku kangen gimana? Nanti kalau Jerry aku kepengin gimana? Kamu nggak kasihan?""Jerry? Siapa?" tanya Ka
Beberapa kali Kasih mencoba menghubungi nomor Gilang, sayangnya pria itu sama sekali tidak mengangkat panggilannya."Dia ke mana sih? Tumben banget hari ini nggak ada nelpon aku, biasanya jam segini udah ada 10 kali nelpon. Ini kok nggak ada. Apa jangan-jangan dia cari teman tidur baru?" gumam Kasih menduga-duga."Kasih, apa kamu masih lama? Taxinya dari tadi udah nunggu nih," ucap Diana sambil menggedor-gedor pintu toilet itu dengan sedikit keras.Kasih menghela napas panjang, dia segera menghapus air matanya supaya tidak ketahuan Diana jika dia habis menangis."Iya, bentar dulu. Tiba-tiba aja aku sakit perut. Bentar lagi selesai kok," jawab Kasih."Ya udah, aku tunggu di tempat tadi ya.""Iya."Kasih mendengar suara langkah kaki itu menjauh, membuat wanita itu menghela napas lega. Ia cepat-cepat mencuci wajahnya, memakai riasan tipis untuk menutupi wajah habis menangisnya itu."Lama banget keluarnya. Apa masih sakit perut?" tanya Diana ketika melihat kedatangan Kasih. "Kopermu sudah
"Kasih, kamu seriusan tadi ngomong gitu?" tanya Diana.Kasih melirik temannya itu dengan sinis. "Emangnya kenapa? Ada yang salah?""Ya nggak tahu sih. Aku, kan, nggak tahu kalian ada masalah apa, tapi dengan kamu ngomong kayak gitu, itu sama aja kalau kamu ... halah, sudahlah, tuh dari tadi ponsel kamu bunyi terus. Diangkat kenapa," gerutu Diana."Ish! Nggak mau, dia itu nyebelin banget. Giliran ada maunya aja hubungi aku."Diana mengedikkan bahunya acuh. "Terserah kamu aja deh, aku mau ke kamar aku dulu ya, nanti kalau butuh apa-apa tinggal panggil aku. Eh, telepon aku aja, kamu kan malu kalau keluar kamar.""Oke deh, ingat ya, jangan ngewe dulu, nanti kena azab loh karena bercinta mendekati pernikahan," peringat Kasih.Diana tergelak mendengarnya. "Bahasamu masih belepotan, Kasih. Lagian kalau dipikir-pikir mana mungkin bercinta di saat lagi ada banyak orang di sini. Nah, kecuali kalau semi-semi baru bisa dipikirkan."Kasih mendelik kesal. "Udahlah, sana pergi aja. Mesum aja kamu tu
"Habis ketemu sama Rio kenapa kamu banyak melamun gitu? Pasti terpesona sama dia ya? Aku bilang juga apa," cibir Diana.Kasih diam saja, dia masih memikirkan kejadian tadi. Dia tidak salah lihat, wanita tadi itu benar-benar istri Gilang.Bahkan Kasih juga sempat mengikuti kedua sejoli itu sampai masuk ke kamar hotel. Jelas saja di situ pikiran Kasih mulai ke mana-mana.Kasih terus menggelengkan kepalanya ketika menyadari pikirannya yang terlalu jauh.'Astaga! Mikir apa sih kamu, Kasih. Kamu itu nggak ada jauh bedanya sama dia,' batin wanita itu."Kasih!" sentak Diana.Kasih terlonjak, dia mengelus dadanya karena kaget, Diana memanggilnya cukup keras."Apa sih, kamu ini selalu aja kalau ngomong selalu ngegas," decak wanita itu."Jelas aja aku ngegas, orang kamunya diajak ngobrol malah melamun, kesambet baru tahu rasa," cibir Diana. "Sampai segitunya ya karena terpesona sama si Rio," ejeknya lagi.Kasih mengerutkan keningnya. Terpesona? Hah! Memikirkannya saja tidak pernah."Kamu ngomon
"Jadi bagaimana, Pak. Apa pembangunan hotel di sini bisa kita lanjutkan?"Gilang menatap rekannya itu dengan kesal, kalau saja dia tidak menjunjung tinggi tentang profesional, sudah dia tonjok laki-laki yang ada di depannya itu."Kau tahu, kalau aku membatalkannya, sudah pasti aku rugi karena pembangunan itu sudah setengah jalan. Lalu kalau aku melanjutkan pembangunan itu, apa kamu pikir aku bakal percaya lagi sama kamu?" tanya Gilang sinis."Saya berani bersumpah, Pak, saya tidak pernah mengambil dana itu, mandor itu benar-benar tidak bertanggung jawab karena sudah membawa kabur uangnya," kata pria itu menunduk."Tetap saja di sini kamulah yang patut untuk disalahkan. Aku ingin melanjutkan pembangunan, tapi yang pegang uangnya bukan kamu."Pria itu mengangguk paham. "Saya memakluminya, Pak. Sebenarnya ada yang ingin saya katakan pada Anda, sepertinya saya sudah tidak bisa memegang tanggung jawab ini, karena saya akan pulang untuk menemui istri saya," jelas pria itu."Istri? Memangnya
"Kamu yakin mau pulang?" tanya Diana lesu."Iya, Gilang minta agar aku secepatnya untuk pulang, bentar lagi dia akan sampai sini," ucap Kasih memberitahu."Jadi kamu kasih tahu alamatnya ke dia?""Iya, emangnya kenapa?""Ya ... nggak apa-apa sih, cuma kenapa nggak nunggu acara sampai selesai aja sih," keluh Diana."Sebenarnya sih penginnya kayak gitu, tapi nggak tahu kenapa tiba-tiba Gilang memintaku untuk segera menemuinya. Kayaknya ada hal penting yang mau dia katakan deh, aku juga bingung. Padahal waktu itu dia beri aku izin pergi selama seminggu."Diana mendesah berat. "Ya sudahlah, mau gimana lagi.""Minta tolong pamitin ke calon mertua kamu ya," pinta Kasih."Kenapa nggak pamit sendiri aja, nanti dibilangnya nggak sopan loh."Kasih menggeleng. "Nggaklah, mending kamu aja. Dia itu nyeremin, dan kayaknya memang aku nggak cocok sama dia. Kalau ngelihat aku tuh sinis banget, kayak nggak suka sama aku. Jadi kamu aja ya nanti yang bilang.""Iya deh iya, itu kayaknya ada mobil parkir d
Kasih mengernyit heran karena sedari tadi dia selalu melihat Gilang tampak melamun. Dia begitu penasaran, sebenarnya apa yang tengah pria itu pikirkan. Apa dia tengah memikirkan istrinya? Ah, bisa jadi. Entah mengapa mengingat hal itu membuat hati kecil Kasih menjadi nyeri."Mau aku buatkan kopi?" tawar wanita itu.Lihatlah, bahkan Kasih berbicara dengan pelan saja bisa mengagetkannya. Sebenarnya apa yang terjadi?Gilang menatap Kasih sambil tersenyum tipis, lalu arah pandangnya beralih ke perut Kasih."Tidak usah, lebih baik kamu duduk di sini di dekatku. Aku tidak ingin membuatmu kelelahan," kata pria itu lembut.Meskipun kebingungan, Kasih tetap menuruti perintah pria itu."Kamu capek?" tanya Kasih hati-hati."Hemm, sepertinya begitu. Bayangkan saja, empat jam aku baru nyampe, lalu lanjut menjemputmu," kata Gilang lirih, dia menidurkan kepalanya di pundak Kasih. "Uh, nyaman sekali," gumamnya."Kalau capek sebaiknya kamu tidur saja."Gilang menggeleng, dia malah semakin mengeratkan