Andy menyuruh Putri pulang setelah selesai makan siang. Beralasan akan ada pertemuan dengan teman menyangkut mobil, Putri pun menurut saja. Setelah Putri pergi, Andy menyerahkan bengkel kepada karyawannya. Bohong kalau Andy tidak penasaran dengan apa yang dikatakan Belva.“Amora pasti sedang ada di tempat loundry,” kata Andy sambil memakai sabuk pengaman. “Aku harus ke sana.”Mungkin ini bukan urusan Andy lagi, tapi mengingat kata balas dendam, Andy merasa khawatir dengan keadaan Amora. Pikir Andy, semua ini pasti ada sangkut pautnya tentang kebebasan ayah Amora beberapa bulan yang lalu.“Hari ini banyak ya,” kata Lela saat sedang mengepak baju yang sudah bersih. “Aku sampai kelelahan.”Amora yang sibuk menyetrika melempar senyum. “Lumayan. Setidaknya uang bayaranmu akan nambah.”Keduanya tertawa.“Em, Amora,” panggil Lela setelah itu.“Hm.”“Aku beberapa kali mendengar percakapan dari beberapa orang mengenai pernikahanmu.”“Kenapa dengan pernikahanku?” tanya Amora.Suasana
Amora dibuat terheran-heran lagi oleh Gery. Amora bingung karena mobil melaju bukan ke arah jalan pulang melainkan entah kemana. Mobil masuk ke sebuah parkiran gedung tinggi sebuah apartemen.“Kenapa kesini?” tanya Amora. Kepalanya mendongak dari balik kaca mobil.“Jangan banyak tanya. Turun saja, cepat!” hardik Gery.Mereka berdua sudah turun. Gery yang tidak sabar melihat Amora yang lambat dan masih terlihat bingung, segera menarik dan mengajak masuk.“I-ini di mana? Kenapa kesini?” Amora bertanya lagi. Saat Gery menarik lengannya, bahkan Amora sempat mengerem langkah kakinya.Bukan bermaksud menolak, tapi Amora hanya takut Gery akan melakukan hal buruk padanya.“Jangan banyak tanya,” sergah Gery. Gery masih menggenggam erat pergelangan tangan Amora.Menahan rasa takut, Amora akhirnya diam dan menurut saja. Selesai berjalan melewati lorong utama, mereka berdiri di depan pintu lift. Amora yang masih was-was, terlihat tengok kanan kiri sambil menunggu pintu lift terbuka.Ting
Lagi-lagi Amora merasakan ada sesuatu benda berat tengah menindihnya. Ini tidak jauh berbeda dengan waktu itu. Amora mengerjap-kerjapkan matanya supaya bisa melihat apa yang membuat tubuhnya sedikit terasa sesak.“Ini kan?” mata Amora membola dan refleks mengatupkan bibir dengan satu tangan.“Kenapa aku bisa ada di sini?” Amora bertanya-tanya di dalam hati.Mulai merasa tidak nyaman, Amora perlahan mencoba menggeser tubuhnya dan mengangkat lengan kekar yang tengah melingkar di perutnya. Pelan dan benar-benar pelan, Amora tak ingin sampai sosok tampan yang masih dalam lelap itu terbangun.“Kau mau kemana?”“Eh!”Amora terkejut saat sosok yang masih mendekapnya bersuara. Embusan napas yang menyapu di bagian telinga terasa dingin dan menggelitik.Gery menarik napas lalu kembali mendekap erat tubuh Amora. “Masih pagi, temani aku tidur dulu.”“Ta-tapi ... semalam ...”“Ssst!” Gery menggelitik tengkuk Amora dengan desisannya. “Dibahas nanti saja.”Amora mengatupkan bibir membentu
Wajah keduanya terlihat bersinar ketika sampai di rumah. Dikarenakan hari ini Gery tidak berangkat kerja, jadi waktu untuk Amora lebih banyak.Saat baru saja turun dari mobil, mata keduanya bertemu kemudian saling pandang dan perlahan lempar senyum. Keduanya lantas saling dekat dan jalan beriringan.“Ada apa dengan mereka?” tanya Belva yang ternyata sudah berdiri di balik jendela kaca ruang tamu setelah mobil Gery masuk halaman.“Mereka seperti baru bulan madu saja,” ketus Belva lagi.Amora dan Gery melangkah hingga mendekat sampai ke teras. Tak mau sampai mereka tahu kalau sedang mengintip, Belva beranjak dan segera mendaratkan pantat di atas sofa ruang tamu.“Apa kalian sudah gila?” seloroh Belva begitu Gery dan Amora masuk.Gery dan Amora yang bingung terlihat saling pandang. Setelah itu, Gery meraih lengan Amora dan mengajaknya masuk ke dalam.“Menyebalkan sekali mereka?” decak Belva. “Kenapa mereka terlihat mesra?”Belva tertegun sambil memikirkan sesuatu. Di saat Belva m
Selesai dari makan malam dalam suara hening, Gery masuk ke kamar lebih dulu untuk mengantar Amora. Sampai di sana, Gery menyuruh Amora tidur lebih dulu.“Apa lama?” tanya Amora ragu-ragu. Kedua tangannya saling menggenggam dan menatap wajah Gery penuh harap.Gery mendekat dan tersenyum lalu mengusap pucuk kepala sang istri. “Tidak. Aku hanya ada perlu dengan Lina dan Dion.”Amora mengangguk percaya. Dan setelah memakai jaket hoodienya, Gery pun berlalu meninggalkan Amora.“Tidak apa-apa Amora ditinggal?” tanya Lina ketika sudah berada di dalam mobil bersama Gery.“Tidak,” sahut Gery yang sedang sibuk memakai sabuk pengaman. “Toh kalau kita ngobrol di rumah, banyak telinga yang mungkin akan dengar.”“Benar juga.”Selang beberapa menit keduanya pergi, Belva yang ternyata sedang menunggu kepergian mereka terlihat menyeringai. Satu tangannya mencengkeram tirai jendela lalu beranjak pergi.“Sedang apa kau?” kejut Theo.Belva yang kaget spontan mendaratkan satu tangan di dada dan b
Rasa kantuk yang semula sudah tidak tertahankan, kini mendadak sirna berubah menjadi terjaga sempurna. Amora tidak lagi bisa berbaring dengan tenang apalagi sampai memejamkan mata. Bayang-bayang tentang rencana Gery, pikiran Amora jadi kacau.Dalam hal ini, sepertinya Belva telah berhasil menghasut Gery.“Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?” Amora mengusap kasar wajahnya lalu kembali terduduk.Karena merasa kesal, Amora sampai menendang-nendangkan kakinya dibatas kasur membuat selimut sampai terjatuh di atas lantai.Amora ingin berteriak histeris, tapi sadar betul posisinya saat ini. Selain sedang berada di rumah mertua, Amora juga tahu bagaimana awal pernikahan ini.“Kenapa Aku takut? Bukankah dulu aku sudah bersiap-siap. Kenapa hatiku tidak rela. Ada apa dengan perasaanku?”Tidak terasa dada Amora terasa berkecamuk. Bola matanya nanar memandangi tanpa arah. Hanya tembok yang Amora pandang yang perlahan nampak kabur karena luapan air mata.Amora duduk di tepian ranjang dan
Rasa penasaran terus mendorong Gery untuk tetap duduk dan menunggu Amora keluar dari kamar mandi. Satu menit, dua menit sampai sepuluh menit, Gery sudah tidak sabar dan akhirnya bangkit.Gery pria yang tidak sabaran. Rasa penasaran sekaligus risih dengan sifat aneh Amora pagi ini, membuat Gery merasa tidak nyaman dan harus memastikan.“Amora!” panggil Gery sambil mengetuk pintu beberapa kali.Di dalam sana, Amora terjungkat. Wajahnya yang masih menatap pantulan dirinya sendiri dari cermin, berkedip beberapa kali sambil menarik ingus yang hampir keluar.“Amora!” sekali lagi Gery memanggil.Amora segera membasuh wajahnya lagi dan mengelapnya dengan handuk. “Jadi dia menungguku?” batin Amora.Cekleeeek ....Perlahan pintu terbuka dan sosok Amora muncul dari baliknya. “Maaf lama.”“Kemari kau!” Gery spontan meraih dan menarik lengan Amora. “Duduk!”Gery yang sudah tidak sabar lagi, menjatuhkan badan Amora—terduduk di tepi ranjang. Amora tetap diam dan menurut.“Ada apa denganmu?
Wajah Belva sudah terlihat sumringah, usai malam itu memanasi hati Amora. Belva sudah sangat yakin kalau Amora pasti akan sedikit menjauhi Gery.“Pagi ...” sapa Belva saat berbarengan keluar dari kamar masing-masing. Tidak ada Theo ataupun Amora. Mungkin belum bangun.Gery malas jika harus berurusan dengan Belva. Melihat wajahnya saja rasanya ingin berlari menjauh.“Apa Amora belum bangun?” tanya Belva lagi. Belva kini berjalan mendekat.“Belum,” jawab Gery sekenanya.Karena memang ingin mendekati Gery, Belva terus berjalan di samping Gery. Harusnya Belva sadar dari raut wajah Gery kalau tidak mau diganggu.“Kau mau sarapan kan?” tanya Belva lagi. “Sarapan saja bersamaku.”“Hm.” Gery tak menggubris.Mereka berdua sudah sampai di ruang makan. Di sana hanya ada ibu dan para pelayan. Ayah mungkin sudah berangkat atau justru masih di dalam kamar juga.“Pagi, sayang,” sapa Wenda pada Gery.“Pagi, Bu,” Gery duduk.“Pagi, Bu,” Belva ikut menyapa.“Pagi juga, sayang. Ayo kita maka