“Tenang saja, Mas Haikal tak usah khawatir soal Antonie. Dia sekarang masih menjadi asisten juga. Tapi asisten Pak Arif,” seru Zul yang bisa melihat kilatan khawatir yang terpancar dari mata Haikal.Haikal hanya bisa mendengus kesal. Selain asisten pamannya, Arif, Zul juga kaki tangan Edi sehingga gerak-gerik Haikal kini diawasi.“Aku tidak mengkhawatirkan anak itu,” sahut Haikal ketus lalu kembali menatap berkas di atas meja dan mulai mempelajarinya satu per satu.“Jika ada kesulitan, kita bisa diskusikan semua hal,” desis Zul seraya duduk di bangku yang biasa ditempati Antonie.‘Sialan, dasar Nenek lampir! Bisa-bisanya berbuat sesuka hati,’Haikal menggerutu dalam hati, kesal dengan sikap sang ibu yang padahal tidak punya kuasa di perusahaan tetapi tingkahnya di atas suaminya.***Hari ini Zaara mengantar Fatimah pergi ke dokter. Mau tak mau Fatimah mengikuti keinginan Zaara untuk pergi ke sana. Zaara sangat mengkhawatirkan kondisi kesehatannya yang memburuk.“Bu Fatimah hanya perlu
“Baiklah, tidak apa-apa. Lain kali saja aku akan ke sini lagi. Aku minta brosur saja Mbak,” ucap Zaara memilih untuk kembali pulang sebab tak mungkin dia bisa masuk saat ini.‘Coba ketemu Mae,’ gumam Zaara.Zaara berjalan keluar dari lobi gedung tetapi tiba-tiba brosur pameran jatuh terhempas begitu saja dari tangannya membuatnya meraba-raba mencari brosur tersebut. Hingga Zaara tak menyadari pergerakan sebuah mobil yang tengah berusaha parkir.“Awas!” seru seorang pemuda yang mengendarai mobil itu dengan mengerem mendadak.Zaara terjatuh karena kaget mendengar suara pekik klakson mobil.“Ough!” seru Zaara meringis sebab saat terjatuh tangan kanannya menahan bobot tubuhnya. Tangannya terasa sakit. Tongkatnya pun terlepas begitu saja. Namun Zaara masih mencari brosur itu.Setelah meraih brosur pameran kini Zaara terlihat meraba-raba mengambil tongkatnya yang terjatuh. “Dasar kertas nakal!” omel Zaara pada secarik kertas tersebut sembari berusaha berdiri.Sementara itu pemuda itu keluar
Di lorong sepi belakang gedung pameran Zaara membiarkan air matanya lolos begitu saja. Dia mendadak melankolis. Dia tidak marah dan sedih saat teman kampusnya membully-nya tetapi dia merasa sedih atas sikap Evelyn padanya di mana dia malu mengakui Zaara sebagai saudarinya. Begitu hinakah Zaara di hadapan semua orang hingga membuat Evelyn merasa malu?Zaara buru-buru mengusap air matanya agar tak terlihat sehabis menangis.‘Zaara stupid, ngapain nangis juga,’ rutuk Zaara seraya berjalan menuju toilet gedung tersebut. Dia akan mencuci wajahnya. Dia berjalan mendekati wastafel tetapi mundur beberapa langkah sebab ada seorang gadis juga tengah mencuci tangan di sana.Hening. Zaara hanya medengar suara air yang mengalir dan gemericiknya mengenai tangan perempuan itu yang tengah dibasuh.Perempuan itu menoleh pada Zaara dengan tatapan yang tajam dan penuh kebencian. Dia memerhatikan Zaara dari pucuk kepala hingga ujung kaki. Lalu kembali menatap matanya yang sembab sehabis menangis. Seketik
***“Di mana gadis buta itu?” tanya Haidar pada salah satu panitia yang merangkap jadi pemandu pameran. Nafasnya sedikit tersengal-sengal sebab dia setengah berlari demi menemui Zaara.“Sepertinya sudah pulang Mas,” jawab pemandu tersebut setelah mengedarkan pandangannya ke segala arah, menyisir lorong dan kerumunan pengunjung mahasiswa dari fakultas seni rupa yang berasal dari luar kota.“Aku meninggalkan gadis itu di lorong C-panel pahatan,” seru Haidar. “Kamu benar ke sana?”“Masa iya aku berdusta Mas Haidar ini ada-ada saja. Tenang saja, aku tidak membeda-bedakan pengunjung kok Mas. Mereka semua sama. Baik yang buta ataupun normal.”“Iya-iya aku percaya kamu jujur. Hanya saja sebagian kita menganggap tak lajim melihat seorang tunanetra mengunjungi pameran. Ketika aku berada di luar negeri biasa saja aku melihat orang difabel mengunjungi pameran. Orang sana tidak mengurus orang lain,” papar Haidar yang benar adanya. “Aku hanya iba saja melihat dia sendirian. Tapi aku yakin dia buka
Zaara memutar tubuhnya untuk menghadap lawan bicaranya, Haikal yang tengah duduk dengan tegap. Sudah dia duga, teman yang dimaksud Embun ialah Haikal sebab dari jarak satu meter Zaara sudah bisa menghidu aroma parfum yang sering dipakai olehnya. Parfum mahal dan langka.“Eh, Mas tumben datang. Apa mau pesan bunga lagi?” tanya Zaara sembari terkekeh.“Um, bisa-bisa dompetku jebol dong setiap bertemu denganmu beli bunga terus,” jawab Haikal dengan tertawa hambar. Hatinya sedang galau saat ini. Namun ketika melihat Zaara kegalauan itu surut entah apa alasannya.“Mas orang kaya tak mungkin jebol uangnya,” ledek Zaara menoleh pada Haikal yang juga menoleh padanya. “Bagaimana perasaan Ibu Mas saat mendapat hadiah bunga dari anak tersayang?”Haikal menyimak betul pertanyaan Zaara. Sayang, dugaan Zaara keliru sebab Elia tidak terlalu senang dengan pemberiannya yang murah. Elia senang dengan pemberian benda-benda mahal dan mewah.“Senang,” sahut Haikal dengan datar. Mendengar jawaban Haikal, Z
Zaara berusaha mencerna perkataan Haikal soal mengajaknya pergi ke kedai es krim. Apa telinga Zaara tidak salah dengar? Apakah Haikal tidak malu mengajaknya karena dia seorang gadis buta?“Zaara, apa kamu mendengarku?” ulang Haikal dengan tak sabaran. Besar harapannya Zaara mau ikut bersamanya.“Um … tadi kamu ngomong apa? Aku tidak fokus mendengarnya,” cicit Zaara, masih tak percaya ajakannya.“Baiklah, jika kamu tak mendengarku lagi, aku pulang nih,” ancam Haikal.“Ah, iya apa?”Zaara terlihat meringis.“Di dekat alun-alun ada kedai es krim baru buka. Aku ingin mengajakmu pergi ke sana. Dengar sekarang?” tegas Haikal. “Aku tidak akan mengulanginya lagi,”“Um …”“Yaelah mulai deh, untuk menjawab iya atau tidak saja harus merenung dulu, melakukan kontemplasi, semedi atau apalah,” cibir Haikal yang justru membuat Zaara tertekeh.“Kamu malah menertawakanku? Memang aku komika begitu?” ucap Haikal berpura-pura ketus padahal dia tengah menikmati cara gadis itu tertawa. Tertawa yang sangat
"Jangan bilang kamu awalnya seorang pelukis?” ucap Haikal diikuti anggukan oleh Zaara. “Astaga … serius kamu pelukis?” Haikal menganga mengetahui fakta bahwa Zaara seorang pelukis yang kehilangan indera penglihatannya. Sungguh malang sekali nasibnya. Haikal meraih botol minum dan meneguknya cepat. “Iya Mas,” sahut Zaara dengan tatapan merana pada kantong yang tergeletak di atas meja. “Selepas lulus fakultas seni rupa, aku mulai mengikuti pameran lukis. Sayang, Allah punya rencana lain jadi … aku tak bisa ikut pameran,” “Menurut dokter apa matamu bisa dioperasi begitu?” telisik Haikal. Dia tak tega mendengar kisah pilu tentang Zaara. Andai dia bisa membantunya dengan membiayai pengobatan operasi matanya sebagai ucapan terima kasihnya karena Zaara adalah sang dewi penolong yang dikirim Tuhan untuk menolongnya saat itu. Zaara meneguk saliva dengan susah payah. “Kepalaku terbentur beberapa kali sehingga menyebabkan syaraf mata yang terganggu. Bukan kornea mata yang bisa ditransplant
Haikal buru-buru menunggangi kuda besinya dan mengantar Zaara pulang ke rumah. Dia tak ingin sampai keluarganya tahu jika dia pergi bersama dengan gadis itu. Kemungkinan akan terjadi badai masalah andai hal tersebut terjadi.Zaara turun dari motor gede Haikal dengan hati-hati lalu dia melambaikan tangannya seraya tersenyum manis padanya. “Makasih ya,” ucap Zaara melengos kembali menapakki jalan setapak menuju rumah dengan perasaan yang berbunga-bunga.“Bye!” singkat Haikal merasa berat harus berpisah dengan Zaara. dia tidak beranjak pergi sebelum punggung Zaara tenggelam tak terlihat.“Ra, semoga kita bisa bertemu lagi,” gumam Haikal memilih pulang pulang ke apartemennya. “Mengapa aku merasa nyaman saat bersamamu, Zaara? Apa aku benar-benar jatuh hati padamu? Argh, yang benar saja!” ***Di kantor PT Mahardika Mine CorpHaikal kembali melakukan rutinitasnya sebagai seorang wapresdir. Mau tidak mau dia berusaha keras untuk bekerja di perusahaan ayah sambungnya karena dia adalah satu-sa