Zaara memutar tubuhnya untuk menghadap lawan bicaranya, Haikal yang tengah duduk dengan tegap. Sudah dia duga, teman yang dimaksud Embun ialah Haikal sebab dari jarak satu meter Zaara sudah bisa menghidu aroma parfum yang sering dipakai olehnya. Parfum mahal dan langka.“Eh, Mas tumben datang. Apa mau pesan bunga lagi?” tanya Zaara sembari terkekeh.“Um, bisa-bisa dompetku jebol dong setiap bertemu denganmu beli bunga terus,” jawab Haikal dengan tertawa hambar. Hatinya sedang galau saat ini. Namun ketika melihat Zaara kegalauan itu surut entah apa alasannya.“Mas orang kaya tak mungkin jebol uangnya,” ledek Zaara menoleh pada Haikal yang juga menoleh padanya. “Bagaimana perasaan Ibu Mas saat mendapat hadiah bunga dari anak tersayang?”Haikal menyimak betul pertanyaan Zaara. Sayang, dugaan Zaara keliru sebab Elia tidak terlalu senang dengan pemberiannya yang murah. Elia senang dengan pemberian benda-benda mahal dan mewah.“Senang,” sahut Haikal dengan datar. Mendengar jawaban Haikal, Z
Zaara berusaha mencerna perkataan Haikal soal mengajaknya pergi ke kedai es krim. Apa telinga Zaara tidak salah dengar? Apakah Haikal tidak malu mengajaknya karena dia seorang gadis buta?“Zaara, apa kamu mendengarku?” ulang Haikal dengan tak sabaran. Besar harapannya Zaara mau ikut bersamanya.“Um … tadi kamu ngomong apa? Aku tidak fokus mendengarnya,” cicit Zaara, masih tak percaya ajakannya.“Baiklah, jika kamu tak mendengarku lagi, aku pulang nih,” ancam Haikal.“Ah, iya apa?”Zaara terlihat meringis.“Di dekat alun-alun ada kedai es krim baru buka. Aku ingin mengajakmu pergi ke sana. Dengar sekarang?” tegas Haikal. “Aku tidak akan mengulanginya lagi,”“Um …”“Yaelah mulai deh, untuk menjawab iya atau tidak saja harus merenung dulu, melakukan kontemplasi, semedi atau apalah,” cibir Haikal yang justru membuat Zaara tertekeh.“Kamu malah menertawakanku? Memang aku komika begitu?” ucap Haikal berpura-pura ketus padahal dia tengah menikmati cara gadis itu tertawa. Tertawa yang sangat
"Jangan bilang kamu awalnya seorang pelukis?” ucap Haikal diikuti anggukan oleh Zaara. “Astaga … serius kamu pelukis?” Haikal menganga mengetahui fakta bahwa Zaara seorang pelukis yang kehilangan indera penglihatannya. Sungguh malang sekali nasibnya. Haikal meraih botol minum dan meneguknya cepat. “Iya Mas,” sahut Zaara dengan tatapan merana pada kantong yang tergeletak di atas meja. “Selepas lulus fakultas seni rupa, aku mulai mengikuti pameran lukis. Sayang, Allah punya rencana lain jadi … aku tak bisa ikut pameran,” “Menurut dokter apa matamu bisa dioperasi begitu?” telisik Haikal. Dia tak tega mendengar kisah pilu tentang Zaara. Andai dia bisa membantunya dengan membiayai pengobatan operasi matanya sebagai ucapan terima kasihnya karena Zaara adalah sang dewi penolong yang dikirim Tuhan untuk menolongnya saat itu. Zaara meneguk saliva dengan susah payah. “Kepalaku terbentur beberapa kali sehingga menyebabkan syaraf mata yang terganggu. Bukan kornea mata yang bisa ditransplant
Haikal buru-buru menunggangi kuda besinya dan mengantar Zaara pulang ke rumah. Dia tak ingin sampai keluarganya tahu jika dia pergi bersama dengan gadis itu. Kemungkinan akan terjadi badai masalah andai hal tersebut terjadi.Zaara turun dari motor gede Haikal dengan hati-hati lalu dia melambaikan tangannya seraya tersenyum manis padanya. “Makasih ya,” ucap Zaara melengos kembali menapakki jalan setapak menuju rumah dengan perasaan yang berbunga-bunga.“Bye!” singkat Haikal merasa berat harus berpisah dengan Zaara. dia tidak beranjak pergi sebelum punggung Zaara tenggelam tak terlihat.“Ra, semoga kita bisa bertemu lagi,” gumam Haikal memilih pulang pulang ke apartemennya. “Mengapa aku merasa nyaman saat bersamamu, Zaara? Apa aku benar-benar jatuh hati padamu? Argh, yang benar saja!” ***Di kantor PT Mahardika Mine CorpHaikal kembali melakukan rutinitasnya sebagai seorang wapresdir. Mau tidak mau dia berusaha keras untuk bekerja di perusahaan ayah sambungnya karena dia adalah satu-sa
“Halo Haikal!” ujar Haidar dengan tersenyum hangat pada sang kakak.Hasna yang fokus menatap pada layar laptop langsung mendelik ke arahnya dengan bibir yang menganga. Dia terkesiap melihat adik Haikal yang tak lain Haidar. Mungkin hanya orang-orang terdekat yang mengenal keluarga mereka termasuk Hasna yang pernah mendengar soal Elia memiliki dua orang putra yang tampan.Sementara itu Haikal menoleh ke arah Haidar tetapi dengan sikap datar. Padahal Haidar mendekatinya ingin memeluknya sebagaimana lajimnya hubungan adik dan kakak yang sudah lama tak bersua.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Haikal dengan ketus, berhasil membuat Hasna ikut menoleh ke arah saudara adik-kakak yang sama-sama tampan.“Aku kangen lah. Masa gak boleh kangen sama kakak sendiri. Maaf aku baru bisa datang. Aku dengar kamu kecelakaan jadi aku ke sini, meski telat,” sahut Haidar terkekeh renyah. Haidar duduk di sofa yang diduduki Zul.Sepulang dari bandara tak sengaja Haidar melihat Haikal membawa motornya dengan uga
Tanpa perlu pikir panjang, Haidar langsung menjawab pertanyaan pria paruh baya dengan rambut klimis di hadapannya. Matanya beralih dari sang ayah yang memandangnya intimidatif lalu beralih ke sang ibu yang tak kalah intimidatif dan horor. “Terima kasih tawarannya Dad. Mohon maaf dengan berat hati aku menolak untuk menduduki posisi penting tersebut.” Haidar menjawab dengan santun, khawatir salah kata. Suasana mulai menegang. Aura Elia dan Edi mulai terasa kelam. “Apa kamu mau menjadi CEO begitu?” cetus Edi dengan tersenyum miring. Dalam benaknya, mungkin Haidar ingin menempati posisi penting nomor satu, menjadi CEO, bukan nomor dua atau wakilnya. “Bukan seperti itu Dad. Aku tidak memiliki kompetensi dalam bidang itu. Aku lulusan seni rupa dan profesi yang kujalani sesuai dengan ilmu yang aku miliki, pelukis,” Haidar tersenyum tipis dengan perasaan yang gugup. ‘Bagus adikku, kamu jangan ikut-ikutan dua orang serakah di depanmu,’ Haikal tertawa girang dalam hati tentunya. Mungk
Rasa? Melukis dengan rasa? Zaara telah menemukan kata-kata bijak dari seniman genius berasal dari Spanyol, Pablo Picasso. Dia akan melukis dengan mengandalkan rasa. Bukan hal yang musykil Zaara mampu melakukannya, bertekad pada kemampuan diri dan percaya pada kekuasaan Allah di atas segalanya. Bukankah manusia hanya menggunakan kapasitas otak 10 %? Bagaimana dengan sisanya 90 %? Menurut apa yang Zaara dengar. Terlepas dari semua itu, akhirnya sebuah lukisan sederhana berbentuk meja hasil mahakarya Zaara sudah rampung. Dia hanya mewarnainya dengan warna kayu. Dia mulai melukis sebuah benda dua dimensi dengan dua buah warna yakni; coklat tua dan coklat muda. Zaara telah mencampurkan warna primer biru, kuning dan merah untuk menghasilkan sebuah warna coklat untuk gambar sebuah meja. Sebelumnya dia menandai tutup tube cat akrilik dengan stiker untuk membedakan warna di dalamnya. Zaara buru-buru menaruh lukisannya di kolong meja kamarnya. Dia akan meminta pendapat seseorang-yang mungkin
“Bagaimana lukisanku, Embun?”Zaara bertanya hingga dua kali tetapi Embun hanya diam.Lukisan Zaara terlihat sangat buruk dan tidak menarik sama sekali bahkan menurut seorang amatir sekalipun.Embun merasa serba salah. Ingin berkomentar secara objektif tetapi dia tak ingin melihat sahabatnya bersedih hati. Haruskah dia mengatakan bahwa lukisan Zaara tak ubahnya lukisan corat coret anak TK yang sedang mengantuk?Embun menebak-nebak dari bentuk gambar yang terlihat olehnya. Bentuk benda tersebut seperti trapesium dengan ke empat kaki yang miring. Semua terlihat miring. Sama sekali tidak ada kemiripan dengan bentuk meja.“Embun, katakanlah! Aku tidak akan marah mendengar pendapatmu. Menurutmu, benda apa yang aku lukis?” telisik Zaara dengan ke dua tangan bersedekap di dada. Menyaksikan sahabatnya yang terdiam secara tiba-tiba sudah membuktikan bahwa hasil lukisan Zaara benar-benar buruk.“Um …”Embun diserbu rasa gugup.‘Allah, tolong beritahu aku, gambar apa yang dilukis Zaara,”Embun m