“Halo Haikal!” ujar Haidar dengan tersenyum hangat pada sang kakak.Hasna yang fokus menatap pada layar laptop langsung mendelik ke arahnya dengan bibir yang menganga. Dia terkesiap melihat adik Haikal yang tak lain Haidar. Mungkin hanya orang-orang terdekat yang mengenal keluarga mereka termasuk Hasna yang pernah mendengar soal Elia memiliki dua orang putra yang tampan.Sementara itu Haikal menoleh ke arah Haidar tetapi dengan sikap datar. Padahal Haidar mendekatinya ingin memeluknya sebagaimana lajimnya hubungan adik dan kakak yang sudah lama tak bersua.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Haikal dengan ketus, berhasil membuat Hasna ikut menoleh ke arah saudara adik-kakak yang sama-sama tampan.“Aku kangen lah. Masa gak boleh kangen sama kakak sendiri. Maaf aku baru bisa datang. Aku dengar kamu kecelakaan jadi aku ke sini, meski telat,” sahut Haidar terkekeh renyah. Haidar duduk di sofa yang diduduki Zul.Sepulang dari bandara tak sengaja Haidar melihat Haikal membawa motornya dengan uga
Tanpa perlu pikir panjang, Haidar langsung menjawab pertanyaan pria paruh baya dengan rambut klimis di hadapannya. Matanya beralih dari sang ayah yang memandangnya intimidatif lalu beralih ke sang ibu yang tak kalah intimidatif dan horor. “Terima kasih tawarannya Dad. Mohon maaf dengan berat hati aku menolak untuk menduduki posisi penting tersebut.” Haidar menjawab dengan santun, khawatir salah kata. Suasana mulai menegang. Aura Elia dan Edi mulai terasa kelam. “Apa kamu mau menjadi CEO begitu?” cetus Edi dengan tersenyum miring. Dalam benaknya, mungkin Haidar ingin menempati posisi penting nomor satu, menjadi CEO, bukan nomor dua atau wakilnya. “Bukan seperti itu Dad. Aku tidak memiliki kompetensi dalam bidang itu. Aku lulusan seni rupa dan profesi yang kujalani sesuai dengan ilmu yang aku miliki, pelukis,” Haidar tersenyum tipis dengan perasaan yang gugup. ‘Bagus adikku, kamu jangan ikut-ikutan dua orang serakah di depanmu,’ Haikal tertawa girang dalam hati tentunya. Mungk
Rasa? Melukis dengan rasa? Zaara telah menemukan kata-kata bijak dari seniman genius berasal dari Spanyol, Pablo Picasso. Dia akan melukis dengan mengandalkan rasa. Bukan hal yang musykil Zaara mampu melakukannya, bertekad pada kemampuan diri dan percaya pada kekuasaan Allah di atas segalanya. Bukankah manusia hanya menggunakan kapasitas otak 10 %? Bagaimana dengan sisanya 90 %? Menurut apa yang Zaara dengar. Terlepas dari semua itu, akhirnya sebuah lukisan sederhana berbentuk meja hasil mahakarya Zaara sudah rampung. Dia hanya mewarnainya dengan warna kayu. Dia mulai melukis sebuah benda dua dimensi dengan dua buah warna yakni; coklat tua dan coklat muda. Zaara telah mencampurkan warna primer biru, kuning dan merah untuk menghasilkan sebuah warna coklat untuk gambar sebuah meja. Sebelumnya dia menandai tutup tube cat akrilik dengan stiker untuk membedakan warna di dalamnya. Zaara buru-buru menaruh lukisannya di kolong meja kamarnya. Dia akan meminta pendapat seseorang-yang mungkin
“Bagaimana lukisanku, Embun?”Zaara bertanya hingga dua kali tetapi Embun hanya diam.Lukisan Zaara terlihat sangat buruk dan tidak menarik sama sekali bahkan menurut seorang amatir sekalipun.Embun merasa serba salah. Ingin berkomentar secara objektif tetapi dia tak ingin melihat sahabatnya bersedih hati. Haruskah dia mengatakan bahwa lukisan Zaara tak ubahnya lukisan corat coret anak TK yang sedang mengantuk?Embun menebak-nebak dari bentuk gambar yang terlihat olehnya. Bentuk benda tersebut seperti trapesium dengan ke empat kaki yang miring. Semua terlihat miring. Sama sekali tidak ada kemiripan dengan bentuk meja.“Embun, katakanlah! Aku tidak akan marah mendengar pendapatmu. Menurutmu, benda apa yang aku lukis?” telisik Zaara dengan ke dua tangan bersedekap di dada. Menyaksikan sahabatnya yang terdiam secara tiba-tiba sudah membuktikan bahwa hasil lukisan Zaara benar-benar buruk.“Um …”Embun diserbu rasa gugup.‘Allah, tolong beritahu aku, gambar apa yang dilukis Zaara,”Embun m
Tak disangka Haikal bisa bersikap sedikit manis pada adiknya, Haidar. Alasannya dia senang saat mendengar sang adik menolak tawaran ayah sambung mereka soal mengurus perusahaan. Untuk merayakan rasa senang yang bersemayam dalam dadanya, dia mengajak Haidar bertanding naik kuda.Mereka pun mulai berbincang agak hangat tak sedingin sebelumnya. Terutama Haikal yang menjaga jarak dari Haidar. Mereka berbincang tentang masa kecil mereka hingga cinta pertama mereka, Ayana. Mungkin lebih tepatnya cinta pertama Haidar, Ayana. Sayang, Ayana lebih menyukai Haikal.Hingga suatu hari Ayana menyatakan cintanya pada Haikal dan Haikal menerimanya tetapi dia hanya mempermainkannya lalu mengabaikannya seperti sampah. Padahal Haidar sudah mengikhlaskan Ayana untuknya.“Aku bicara andai, jika kita menyukai wanita yang sama maka aku akan memperjuangkannya meskipun aku harus melawanmu.” Haidar mengutarakan isi hatinya. “Aku takkan membiarkanmu seperti saat kamu mencampakkan Ayana dulu.”“Ayana? Kamu masih
Beberapa menit Haikal dan Safira terjebak dalam kesunyian. Satu kata yang keluar dari bibir Haikal telah berhasil membuat ke duanya bergeming dengan pikiran yang ricuh. Safira menarik nafas dalam. “Okay, terserah,” ucapnya seraya beringsut mundur dengan menghentakkan kakinya meninggalkan Haikal. Dia berlari kecil menuju Marina yang tengah celingukan melihat kuda yang ditaksirnya lewat. “Ayo, Marina!” Kuda itu pun langsung menyahut majikannya dengan menoleh padanya. Safira langsung memegangi badan Marina untuk menginjak sanggurdi, duduk seraya menarik tali kekang dan menungganginya dengan kecepatan yang tinggi. Safira kesal mendengar keputusan kekasihnya. Namun dia tak mau ambil pusing. Dia merasa Haikal tidak serius dengan perkataannya. Haikal akan kembali pada pelukannya. Dia terlalu percaya diri. Hanya suara teriakan Safira yang tertinggal di telinga Haikal. Dia masih diam terpaku di atas tempat berpijaknya, rumput gajah berwarna hijau tua. Dia tersentak dengan perkataannya sen
Seorang security bertubuh atletis berujar dengan pongah.“Nyonya Ratih tak mungkin mengundang gelandangan datang ke sini. Dia adalah pemilik restoran ini. Silahkan keluar sebelum aku menyeret kalian semua dengan paksa!” ancam security tersebut dengan menarik sudut bibirnya. Seringai keji terlukis jelas di wajahnya.Embun bergidik ngeri mendengar ucapannya yang omong kosong. Dia teringat Ratih, wanita tua tersebut akan merasa senang jika dia datang ke sana. Seperti halnya Zaara, dia juga memiliki hati yang lembut, dia tak tega jika membuat Ratih bersedih karena undangannya tidak dipenuhi.Adapun Zaara mengepalkan ke dua tangannya hingga urat-urat hijau menyembul, menampakkan diri. Namun dia tak ingin membuat keributan. Dia hanya khawatir pada Embun—yang pasti merasa bersedih karena tidak bisa masuk ke dalam restoran mewah tersebut.Embun mengerjapkan matanya, teringat sebuah kartu yang diberikan oleh Ratih padanya tempo hari.“Ah, ya, Zaara, aku punya kartu akses masuk restoran,” kata
Suara gelas-gelas pecah terdengar sehingga mencuri atensi pengunjung restoran. Namun suara gesekan biola kembali membuat mereka melanjutkan aktifitas mereka, makan malam dengan khidmat.Mereka tidak menyadari sebuah drama perundungan telah terjadi di ruangan yang lain.“Mbak, saya mohon maaf atas keteledoran saya menyenggol pelayan sehingga membuatnya menumpahi minuman pada pakaian Mbak,” ucap Embun dengan sedikit tergeragap. Dia terjebak dalam situasi yang pelik. Ternyata berurusan dengan orang yang menyandang status sosial kelas atas sangatlah rumit. Perkara pakaian yang terkena noda saja bisa seperti perkara pidana di mana dia seolah dianggap telah melakukan kesalahan yang fatal.Beberapa teman gadis itu berbisik pada gadis—yang pakaiannya terkena cipratan minuman, mengomporinya untuk memberi hukuman pada Embun.“Mbak, saya akan membersihkan pakaian Anda,” seru pelayan wanita yang menggantikan pelayan pria tadi. Dia mengamati betul pakaian yang terkena noda yang cukup pekat tetapi