"Kau habis Mandi, rambutmu terlihat basah." Ulang Mawar yang masih belum puas mendapatkan jawaban dari Abian."Iya," jawab Abian tanpa ingin memperpanjang pembicaraan. Pria itu terlihat keluar dari kamar dan menuju balkon kamar untuk melihat pemandangan luar. Sebenarnya aku ingin sekali mengikutinya, tapi aku tak bisa. Takut jika ada wartawan yang masih berada di luaran Hotel dan mengambil foto-fotoku bersama dengan Abian. Sungguh, aku ingin sekali keluar dari tempat ini dan menyelesaikan rangkaian masalahku bersama dengan Akbar. Seharusnya tidak ada yang perlu ditakutkan, namun hal itu ternyata tidak berlaku pada Papa. Walaupun beliau tidak mengetahui rencanaku, tetap saja Papa masih mau membantuku dengan caranya sendiri.Jimmy, ya pria itu. Dimana dirinya sekarang? Apa Ayah mertuaku mengetahui kebenarannya dan bertindak…tidak!"Abian!"Mendengar teriakanku, Abian bergegas masuk ke dalam."Ada apa?""Tolong berikan kuncinya, aku harus mencari Jimmy. Abian menyipitkan matanya, menc
"Apa maksud ucapanmu, Abian? Ini tidak ada hubungannya denganmu, Menikah? Yang benar saja, bahkan aku belum bercerai dengan Akbar." Aku memijat kepalaku yang tiba-tiba saja berdenyut, merasakan sakit karena masalah ini. "Ini hanya sebuah wedding agreement."Tatapanku teralihkan pada Abian, pria itu terlihat bersandar pada lemari pakaian."Dan aku pernah menandatangani kontrak perjanjian seperti itu. Jadi aku mohon Abian, berhentilah merengek seperti anak kecil." Kesabaranku sudah mulai menipis. Rencana yang telah aku susun rapi bersama dengan Jimmy sedikit meleset, bahkan aku tak tahu dimana keberadaan pria tersebut."Aku tidak akan menyentuhmu,""Abian! Aku belum bercerai dari Akbar. Jadi, please…sadarkan dirimu itu."Abian menyilangkan kedua tangannya di dada, senyumannya lenyap begitu saja. Ia kembali terlihat seperti Abian sebelumnya, dingin dan tak tersentuh."Aku tidak ingin mengulang kembali apa yang aku ucapkan. Satu jam lagi kita akan keluar dari Hotel, jadi bersiaplah." Uca
"Jadi, dia benar orang yang membantumu?"aku mengangguk mengiyakan dan kembali memandang matahari yang telah terbenam setengah, warna orange begitu memikat hati siapa saja yang melihat pemandangan indah ini."Lalu, dimana Jimmy?""Justru itu, aku tak tahu dimana keberadaannya. Bisakah kau membantuku?"Abian terlihat tersenyum saat pesanan kami sudah datang."Bukankah kau memesan jagung bakar?"aku melihat dua piring yang telah terisi makanan hanya ada pisang gapit."Tidak, aku memilih apa yang kau pilih.""Jangan mengalihkan pembicaraan Abian, tolonglah aku. Tolong suruh anak buahmu untuk mencari keberadaan Jimmy, mungkin saja telah terjadi sesuatu padanya. Atau…Ayah mertuaku sudah tidak, maksudku…ayahku mengetahui kebenarannya."Abian tidak menjawab pertanyaanku, pria itu justru memilih untuk menikmati makanannya sendiri.***"Dimana Ayah, Ibu?"Sania menggeleng, ia masih memenangkan tangisan Nathan. "Biar aku gendong Nathan Bu," Mulan mencoba mengambil Nathan, namun dengan kasar Sa
Aku dan Abian sampai rumah pada waktu adzan Isya berkumandang. Ternyata tidak hanya ada papa dan Mama, Paman Wibowo dan Paman Hamzah sudah berada di rumah. "Kenapa lama sekali, apa Abian membawamu ke tempat yang tidak-tidak?" tanya Paman Wibowo dengan tatapan menusuk terarah pada Abian."Tidak, Paman. Abian mengajakku ke Melawai dan kami mampir ke Masjid untuk menunaikan sholat Magrib."Baru saja datang, tapi Mereka seperti wartawan yang ingin memperkeruh suasana saja.Aku duduk di sofa samping Mama, wanita berwajah teduh itu kembali menghangatkan diriku dengan menggenggam erat tanganku. Memastikan bahwa keadaanku baik-baik saja."Bagaimana dengan pemberitaan di luaran sana?" Papa mulai membuka pembicaraan."Masih sama, banyak pakar yang ikut campur masalah video itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa video itu benar adanya. Tapi pihak Sandoro menentang keras dan mencari siapa pelaku yang berani memfitnah Akbar dengan Video yang mereka anggap itu hanya rekayasa. Untuk sahamnya, sudah
"Jangan berani-berani mendekati atau menyentuh diriku lagi. Karena sebentar lagi kau bukan istriku!""Apa maksudmu bicara seperti itu, Mas? Apa kau ingin membuangku setelah banyak hal yang aku korbankan demi masa depan kita!"Akbar mendorong tubuh Mulan agar menjauh, ia mencoba untuk menenangkan dirinya yang sebenarnya diliputi hasrat ingin menyentuh lawan bicaranya."Aku tidak terima Mas! Kembalikan Nathan padaku, kalau kau…""Diam!" Akbar tak dapat mengontrol emosi dalam jiwanya. "Sekali lagi kau berbicara, kau akan merasakan bagaimana rasanya rasa perih itu menjalari seluruh tubuhmu."Mulan mengatupkan bibirnya. Nyalinya menciut saat melihat kilatan kemarahan terpampang jelas di kedua mata Akbar.Mulan melangkah mundur menghindari tatapan mata Akbar. Ia tidak ingin mencari mati, nyawanya harus tetap hidup demi mewujudkan mimpinya sebagai istri satu-satunya Akbar.Ia harus memulai sebuah rencana agar Akbar kembali tergila-gila pada tubuhnya. Apapun itu, Ia harus melakukannya.Akba
Abian melangkah masuk ke dalam rumahnya. Pria itu terlihat begitu santai saat melangkah, kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman yang terukir jelas di wajahnya."Wah, wah…Sepertinya ada sesuatu yang membuat dirimu terus tersenyum seperti itu."Abian menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara tersebut."Kenapa kau ada di rumahku?" Abian menatap malas pada seseorang yang saat ini sedang duduk di sofa ruang tamu."Seharusnya kau berterima kasih padaku. Akulah yang menyebabkan kau tersenyum seperti itu." Aslan menjawab dengan terlihat begitu santai."Tapi gara-gara dirimu, wanitaku mengalami insiden. Kepalanya terbentur dasboard Mobil." Abian ikut serta duduk di hadapan Aslan yang telah dibatasi oleh meja bundar dari kaca."Wanitamu? Yang benar saja, Abian. Mawar itu masih istri Akbar.""Cerewet!" kesal Abian memandang wajah Aslan, sahabatnya itu."Jangan mengatai diriku. Kau akan menyesal jika aku mengatakan bahwa kau dalang dibalik ini semua. Mobil yang mengejar buk
Aku terus saja menggedor pintu kamar untuk mendapatkan simpati dari Mama atau Papa. Jika terus berada di dalam kamar, bagaimana aku bisa berbicara dengan Papa? Lagi pula, apa salahku sampai-sampai harus dihukum Seperti ini. Aku bukanlah anak kecil yang melakukan kesalahan dan harus berdiam diri di kamar. "MA, PA! Buka pintunya!" teriakku sambil terus menggedor pintu dan berharap ada tanggapan dari kedua orang tuaku itu.Karena tak ada tanggapan, aku memutuskan untuk kembali duduk di tepi ranjang sambil memikirkan cara agar bisa keluar dari kamar.Saat akan kembali menggedor pintu kamar, ponselku berdering pertanda ada seseorang yang meneleponku.Saat memeriksa ponsel, ternyata Abian yang saat ini sedang menelponku."Hallo, assalamualaikum. Apa sebenarnya rencanamu dengan papa?" aku sudah tidak memikirkan asas kesopanan. Tidak peduli jika Abian merasa tersinggung dengan ucapanku bahwa diriku telah bersekongkol dengan Papa mengurungku di dalam kamar.'Apa maksud ucapanmu, Mawar? Aku ti
Matahari bersinar terang, pertanda langit malam telah menghilang tergantikan oleh eksotisnya keindahan sang penerang siang.Dan dengan semangat pagi ini, Aku memilih untuk menggunakan gamis berwarna peach dengan dipadukan hijab berwarna hitam. Aku menatap wajahku pada kaca rias, memperhatikan wajah cantik yang aku miliki. Jika diperhatikan, wajahku dan Mulan sangatlah berbeda. Wanita itu memiliki kulit kecoklatan, berbeda dengan diriku yang putih. Mungkin itu penyebabnya, Mas Akbar lebih memilih meninggalkan diriku dan memilih wanita lain untuk melahirkan anaknya.Sempat merasa kecil dengan kenyataan yang aku rasakan, kembali aku mengingat bahwa Mulan seringkali memakai lipstik merah menyala.Dengan perasaan ragu, aku mengambil warna lipstik merah dan mengoleskan lipstik merah itu pada bibirku.***Aku dapat merasakan tatapan aneh yang dilayangkan pada diriku. Mama dan Papa tampak begitu terkejut dengan perubahan wajahku."Apa kau tidak salah memilih warna lipstik?" tanya Mama yang ma