"Apa maksud Ibu mengatakan hal seperti itu? Jangan mengatakan hal-hal yang membuatku marah, Bu. Sampai detik ini, aku masih menghormati dirimu sebagaimana aku menghormati Mama. Jadi, tolong jangan membuatku tidak menyukai…""Dengarkan Ibu, Mawar.""Ibu yang seharusnya mendengarkan diriku." Aku melangkahkan kakiku menuju ke arah Ibu duduk."Apa ibui ingat, hari dimana Ibu dan Ayah datang dan mengatakan bahwa kalian telah mengetahui bahwa Mas Akbar berselingkuh. Ayah dan Ibu, saat itu kalian mendukungku. Tapi, entah mengapa. Kenapa kalian jadi berbalik menyerangku dan menyembunyikan fakta tersebut." Aku memilih duduk di sofa yang langsung berhadapan dengan Ibu, sehingga kami dapat saling pandang satu sama lain."Ibu sama sekali tidak menyerangmu. Seandainya kau bisa lebih bersabar lagi, Ibu memiliki sebuah rencana matang untuk menyingkirkan itu. Tapi, sayangnya sudah terlambat. Video itu memperkeruh keadaan."Aku menatap ke arah bayi yang saat ini terlihat tidur dengan nyenyak di pangku
Kekecewaan adalah hal yang menguras energi. Walaupun sebenarnya aku sudah tidak ingin lagi berurusan dengan keluarga Akbar, kali ini aku tak dapat menghindar. Terlebih Ibu Mertuaku mendapatkan angin segar dari Abian.Wanita itu masih setia duduk di sofa dan entah apa yang ada dalam pikirannya. Setelah penolakanku, wajahnya terlihat begitu sedih. Tapi aku menepis itu semua karena diriku, melainkan dirinya memikirkan bagaimana nasib keluarga dan bisnisnya yang telah tercoreng oleh video panas Akbar."Apa kau kecewa dengan Ibu, Mawar?"mataku meneliti raut wajah wanita di hadapanku ini. Pertanyaan yang Ia katakan membuatku merasa kesal dan ingin langsung mengusirnya dari sini. Tapi, itu hanyalah angan belaka. Tidak mungkin aku bersikap kurang ajar seperti itu."Ibu mengerti maksud pertanyaan yang ibu lontarkan. Tidak ada wanita yang mau diselingkuhi oleh suaminya sendiri."Sania tersenyum, namun sarat akan kesedihan."Berarti aku adalah wanita terhormat yang mau dijadikan istri oleh pria
Saat akan menjawab pernyataan Ibu, pintu terbuka lebar. Ingin memaki pria yang pastinya Abian itu, namun mulutku tak bisa berkata-kata saat yang datang justru adalah Mas Akbar.Apa-apaan ini!"Apa yang…""Ada yang harus kita bicarakan.""Akbar, seharusnya kau bisa ketuk pintu terlebih dahulu. Atau setidaknya…""Bu, Tolonglah. Aku ingin berusaha untuk meyakinkan Mawar, bahwa aku ingin meneruskan pernikahanku dengannya. Jadi, Ibu keluar saja dan beri kami ruang Untuk bisa membicarakan ini semua dengan kepala yang dingin."Sania menatap wajahku, aku tak dapat mengartikan ekspresi wajah beliau. Tapi, entah mengapa rasanya hatiku terasa tercubit saat Ibu mertuaku itu mengatakan kebenaran sesungguhnya.Saat Ibu mertuaku sudah keluar, Akbar berjalan ke arah tempat dudukku. Pria itu memilih untuk duduk di tempat yang sama diduduki oleh Ibu mertuaku. Pandangan kami bertemu, kalau dulu aku mengaguminya, kali ini rasa itu sedikit demi sedikit mulai terkikis oleh perilaku Mas Akbar yang kian menj
"Jangan berani-berani menuduhku melakukan hal-hal diluar batas kemampuanku."Aku tersenyum sinis Mendengar jawaban Mas Akbar. Pria itu masih saja mengelak."Lalu, kalau bukan kau. Siapa Mas?"Mas Akbar mendekat ke arahku. Ingin rasanya untuk menghindari tatapan matanya dan pergi dari tempat dudukku. Tapi, harga diriku melarangku untuk beranjak dari tempat dudukku. Walaupun ditatap tahan seperti itu, aku tak gentar menghadapi suami tak tahu malu seperti Mas Akbar ini.Mas Akbar menggeser meja agar bisa duduk jongkok di hadapanku."Apa aku tidak memiliki kesempatan untuk bisa mendapatkan hatimu lagi?""Tidak, kau sudah mendapatkan semua kesempatan itu. Tapi, tak ada satupun kesempatan yang kau gunakan dengan baik." Jawabku sambil tersenyum menatap wajah pria yang dulu sungguh membuat hatiku berdebar kencang, setiap kali berhadapan langsung dengannya."Tapi, aku sungguh mencintaimu Mawar. Aku bersumpah, bukan aku pria yang ada di dalam video tersebut."Mas Akbar meraih tanganku, lalu dig
Sania menatap wajah suaminya yang saat ini sedang duduk di kursi kebesarannya. Setelah bertemu dengan Mawar, Ia memutuskan untuk pergi menemui Sandoro. Berharap suaminya itu mau mendengarkan perkataannya."Apa yang kau inginkan? Untuk apa datang ke kantor?" tanya Sandoro tanpa menatap Sania. Pria itu masih setia fokus dengan dokumen-dokumen yang menumpuk di atas mejanya "Lebih baik kita menyingkirkan wanita itu. Kau pasti tidak menginginkan sebuah perceraianmu pada rumah tangga Akbar.""Menyingkirkan…Mulan?"Sania mengangguk mengiyakan."Tidak.""Kenapa, Mas?""Apa Mawar bisa bertahan dengan kondisi Akbar? Menantumu itu belum mengetahui secara pasti bahwa Akbar memiliki kelainan seksual. Apa kau belum juga memahaminya! Mulan adalah alat untuk menyalurkan kelainan anak kita. Mulan hanya sekedar boneka, tidak lebih."Sania memejamkan kedua matanya, Ia merasa bahwa selama ini Sandoro terlalu memanjakan Akbar. Sehingga anaknya itu tidak memiliki kompeten dalam hal menyelesaikan sebuah ma
"Jangan bicara sembarangan, Abian! aku akan pulang untuk menemui Mama dan papa. Ada hal yang ingin aku tanyakan pada mereka. Setelah bertemu dengan Ibu mertuaku dan Akbar, rasanya tenagaku habis diserap oleh mereka."Abian mengangguk, tak keberatan jika aku langsung pulang tanpa membantu keadaan Restoran yang sedang ramai pengunjung."Aku akan mengantarkan dirimu, pulang. ""Tidak, aku…""Tidak ada penolakan."***"Apa Mawar telah mengajukan gugatan perceraiannya?"Sania tersenyum seraya menganggukan kepalanya."Kurang ajar! Berani sekali anak itu mempermainkan diriku. Sudah aku katakan, dalam keluarga Sandoro tidak ada yang namanya perceraian. Dia harus diberikan pelajaran, agar tidak semena-mena terhadap anakku."Sania menatap iba pada suaminya itu. Dalam hal ini, seharusnya Sandoro dapat mengerti tentang hal yang dirasakan oleh Mawar, menantunya itu pasti merasakan sakit hati luar biasa karena kesalahan Akbar yang telah berselingkuh pada Mulan. Namun, nyatanya Sandoro justru menyala
Sania membekap mulutnya dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya berfokus pada gendongannya pada Nathan. Bayi itu nampak tenang, namun dirinya bagaikan kayu jati yang telah dibakar. Panas membara.Kedua matanya hanya mampu menatap wajah Sandoro yang begitu menikmati service yang telah diberikan oleh Jenny. Wanita berwajah cantik itu sudah tak memperdulikan bahwa dirinya telah melakukan hal-hal diluar batas bersama bosnya.Sania terduduk lemas, ingin meninggalkan ruangan Sandoro, tapi kedua kakinya tak dapat digerakkan. Sinyal yang dikirimkan oleh otaknya, tak mampu dilakukan dengan baik.Sania ingin memalingkan pandangannya, namun. Lagi-lagi, otak dan matanya tidak bekerja dengan baik, sehingga ia terus menatap ketika Sandoro menekan kepala Jenny agar maju mundur sesuai dengan keinginannya.Jenny begitu lihai dalam melakukan pekerjaan yang membuat Sandoro mendesah keenakan."Yes, baby. Bersiaplah, aku akan keluar…"Sania menyiratkan sebuah senyuman. Hatinya yang tadinya terluka
"Ayo masuk!""Abian, ini…"aku merapatkan tubuhku pada pria yang berdiri tepat di sebelahku."Kau takut?""Ini rumah tak berpenghuni. Sebenarnya apa sih rencanamu!" kesalku pada Abian saat pria itu masih bersikeras mendorong tubuhku agar masuk ke dalam rumah yang terlihat kotor sekali. Bahkan, di bagian atapnya banyak bersarang jaring laba-laba menghiasi sampai ke pintu."Kau akan menyesal jika tidak masuk ke dalam." bisiknya tepat di telingaku.dengan perasaan bercampur aduk, aku memaksakan diri untuk masuk ke dalam bersama dengan Abian. Rumah ini benar-benar membuatku merinding saat melihat isi rumahnya yang begitu berantakan."Abian, ayo ki…""Mawar. Akhirnya kau datang juga."Kedua netraku membulat sempurna saat melihat sesosok tubuh yang aku kenal."Jimmy?"Pria itu terlihat menyunggingkan senyumnya. Namun, senyumannya itu berbeda dengan Jimmy yang aku kenal. Jimmy yang kukenal memiliki lesung pipi setiap kali tersenyum. Sedangkan pria di hadapanku ini tidak memilikinya."Apa bena