"kamu hebat, Sayang. Ibu memang pernah mendengar kisah-kisah wanita shalihah yang sangat lapang dada dengan poligami. Tetapi kini Ibu menyaksikannya sendiri. Dan itu terjadi pada menantu ibu sendiri. Ibu ... Ibu sangat kasihan sama kamu. Tapi kamu sendiri yang menggali lubang penderitaanmu."Aira menggeleng lemah. "Ibu jangan berfikiran seperti itu. Aku tidak menderita. Aku bahagia, Mas Alan tetap menjadi suamiku dan akan terus mencintaiku. Mas Alan segalanya bagiku, dengannya aku akan terus bahagia walau bagaimanapun keadaannya.""Yah. Ibu mengerti. Sekarang kita makan saja, ya? Biarkan Alan dan Yulia nanti makan sendiri. Ibu sudah lapar."Aira mengangguk. Mereka pun makan di sore hari berdua. Sedangkan di dalam kamar, Alan mengerjapkan matanya. Ia terbangun karena merasa keram dan susah menggerakkan tubuhnya. Alan memicingkan matanya ke samping, seorang wanita sedang terlelap juga sambil mendekap tubuhnya begitu erat. Alan mengucek matanya yang sedikit mengabur, lalu ia menyibakkan
Aira mengerucutkan bibirnya. "Kamu ini bicara apa sih, Mas? Buat apa juga aku dekat-dekat dengan ayah mereka?" tanyanya dengan melipat kedua tangan di dada. "Ya bisa saja, kan, dia yang memanfaatkan situasi? Dulu kan dia sempat mengutarakan perasannya sama kamu, Dek.""Ya tapi itu dulu, Mas. Sekarang kan sudah jelas aku istri kamu. Mana mungkin juga Bang Han punya fikiran seperti itu? Dia bukan pria aneh atau pria kurang waras, Mas.""Iya, iya. Mas kasih izin kamu juga pasti sangat rindu, kan, sama anak-anak itu?" Aira tersenyum dengan tulus. "Sangat, Mas. Apalagi saat mengetahui mereka masih begitu mengingat apa yang selalu aku lakukan untuk mereka dulu. Aku bahkan sampai tidak bisa menahan tangisku detik itu juga. Aku sangat menyayngkan, kenapa Bang Han sampai sekarang tidak menikah juga? Apa dia tidak mengerti kalau sosok seorang ibu itu sangat mereka butuhkan? Jika saja Bang Han menikah lagi, pasti mereka tidak akan terus-terusan mengingat aku, kan, Mas?" Alan menatap Aira deng
"Kenapa bertanya seperti itu?" tanya Aira dengan nyalang.Hanafi tersenyum kecil sambil menundukkan wajahnya. Membuat Aira semakin merasa diledek."Jadi benar?" tanyanya menatap Aira dengan alis terangkat."Itu bukan urusan Bang Han sama sekali."Aira langsung meninggalkan Hanafi dengan wajah kesal. Dia kembali bergabung bersama anak-anak dari pria yang sedang membuatnya kesal. Hanafi melipat kedua tangannya di dada. Berdiri bersandar di tembok sambil terus memperhatikan Aira. Aira yang menyadari pria itu masih belum pergi melirik menggunakan ekor matanya. Ia langsung memalingkan wajah saat melihat ternyata pria itu masih terus saja memperhatikannya."Apa delik-delik?" tanya Hanafi membuat Aira meoleh dengan tatapan nanar."Pergi, gak?" ucap Aira sambil bersiap menimpuk Hanafi menggunakan paperbag yang ada di hadapannya."Bibi, kenapa Bibi marah sama Abi?" tanya Raisa membuat Aira menaruh paperbag itu kembali."Em, t-tidak. Bibi hanya bercanda.""Oh, bercanda?" tanya Hanafi dengan sen
Esok harinya, Alan pulang dari kantor disambut Vina yang sedang bersantai di teras. "Assalaamu'alaikum, Bu?""Wa'alaikumussalaam."Alan mencium tangan Vina. "Aira belum pulang?" tanyanya pada Vina."Belum," jawab Vina singkat."Belum?" tanya Alan dengan sangat terkejut."Ya. Memang belum. Memangnya kenapa?""Kenapa Aira lama sekali di sana?" lirih Alan dengan cemas.Vina menyunggingkan senyum. "Mungkin dia kesulitan untuk pulang. Atau ... Mungkin dia merasa enggan untuk pulang."Alan menatap Vina dengan penuh tanda tanya. "Kenapa menatap Ibu seperti itu? Apa kamu lupa kalau ayahnya mereka dulu pernah melamar Aira? Kalau saja saat itu dia tidak keduluan sama kamu, pasti mereka sekarang menjadi suami istri.""Ya Allah, Ibu. Ibu ini kenapa bicara gak jelas? Sudahlah, Alan mau mandi dulu."Alan meninggalkan Vina dengan kesal. Sedangkan Vina masih terus menyunggingkan sudut bibirnya.---"Assalaamu'alaikum?""Wa'alaikumussalaaam. Mbak, baru pulang?" tanya Yulia.Aira datang di saat Alan
Pagi hari menjelang, Yulia terbangun dari tidur nyenyaknya semalaman. Bagaikan memberi respon, bayi kecilnya itu semalam begitu nyenyak tertidur di dalam boks bayi barunya. Hanya sesekali Cilla terbangun karena lapar. Bahkan di malam pertama ia menghuni rumah barunya, bayi itu terlihat sudah begitu nyaman hingga membuat ibunya ikut merasa damai. Yulia melirik sampingnya, Alan sudah tak ada di tempat tidur. Yulia pun perlahan mulai menurunkan kakinya dan berjalan perlahan ke kamar mandi. Yulia langsung masuk karena pintunya memang tak terkunci. Namun ... "Yulia!" Pekikan itu membuat mata yang semula masih begitu rapat itu pun langsung membelalak. "Aaaa ... " Yulia berteriak dengan histeris saat melihat Alan sedang tak berbusana di bawah guyuran air shower. Dengan cepat ia membalikkan badannya dan menutup wajahnya. "Kenapa kamu masuk?" tanya Alan. "Yaa ... Kenapa juga pintunya gak dikunci?" Yulia balik melayangkan pertanyaan pada suaminya itu tanpa menoleh."Ah, iya, kah? Mungkin
Aira berjalan ke rumah dengan berkali-kali menghembuskan nafas. Ia merasa tak habis fikir, bagaimana mereka bisa ikut merasa kesal dengan kehadiran Yulia di dalam rumah tangganya. Aira berjalan ke arah dapur dan melamun sambil berdiri menghadap ke jendela halaman luar. Sayuran yang awalnya akan ia potong pun malah dibiarkan saja di atas meja. "Mungkin itu sebagai bentuk kepedulian mereka padaku sebagai sesama wanita. Tetapi ... Tidak benar juga kalau pada akhirnya mereka merasa terancam dengan sikapku. Seharusnya mereka juga ikut mendukungku, bukannya malah ... ""Kenapa, sih, kok gak biasanya ngomel terus?" Aira langsung terjengkat kaget dan mendapati Alan sudah berada di belakangnya. "Ya ampun, Mas, aku kaget banget, tau." Aira mengusap dadanya berkali-kali sambil menghembuskan nafas."Maaf. Tadi Mas sudah ucap salam, tapi gak ada jawaban walaupun pintu terbuka. Ehh, ternyata kamu sedang melamun di sini sambil ngomel sendirian."Aira mengerucutkan bibirnya di hadapan Alan. "Ey, a
"Ayo, Ra!" "Iya, Bu. Sebentar."Aira langsung merapikan pakaian dan menyambar tas tangannya. Kemudian ia segera keluar dari kamar menghampiri Yulia yang telah memanggilnya dari tadi. "Kok ... Kamu pakai baju biasa?" tanya Vina sambil mengamati penampilan Aira dari bawah hingga ke atas.Aira mengikuti tatapan Vina, menunduk menatap penampilannya sendiri dari bawah kaki. "Memangnya kenapa, Bu?""Yaa ... Gak apa-apa. Memangnya kamu gak bakalan malu pakai baju itu?" "Ya memang kita mau ke mana?" tanya Aira dengan malas. "Kita akan makan malam. Teman lama Ibu tadi datang menemui Ibu di rumah. Dia ajak Ibu makan malam di restoran terkenal.""Oh, gak apa-apa, sih, Bu. Gak sama Mas Alan juga, buat apa aku dandan?" "Ya sudah. Ayo kita berangkat. Kamu sudah kirim pesan, kan, sama Alan?""Sudah, tapi belum di read.""Gak apa-apa, nanti juga dia baca. Ayo, Sayang."Dengan perasaan tak menentu akhirnya Aira pasrah juga mengikuti keinginan ibu mertuanya itu. Walau sepanjang jalan ia terus mela
Bagas terkejut dan langsung menutup telinga yang terasa berdengung karena teriakan Aira. "Dahlah, ayo masuk.""Gak mau!" Aira menghempaskan tangan Bagas yang telah berani memegang lengannya. "Jangan macam-macam, ya?!" Aira mengacungkan telunjuknya."Macam-macam apa, sih? Jangan terlalu kegeeran jadi perempuan. Aku tau kamu itu istri orang.""Ya bagus kalau gitu." Aira langsung membalikkan badannya hendak meninggalkan Bagas. "Hey tunggu!" Lagi-lagi Bagas memegang tangannya. Dengan cepat Aira pun melepaskannya. "Lepas, ih! Kenapa sih, gak ngerti-ngerti?""Oke, oke. Maaf. Tapi kamu mau ke mana? Ayo aku antar.""Gak perlu. Aku bisa sendiri."Aira kembali melangkah meninggalkan Bagas. Namun, laki-laki itu mengikutinya dari belakang. "Sepertinya kamu gak pusing. Bohong, ya?" tanyanya.Aira memutar bola matanya dengan malas, lalu menghentakkan kaki dan berhenti melangkah. "Kenapa ngikutin? Sana pergi!" "Hey, wanita gak baik loh jalan malam-malam gini di tepi jalan. Kamu mau di culik?" "