Pagi hari menjelang, Yulia terbangun dari tidur nyenyaknya semalaman. Bagaikan memberi respon, bayi kecilnya itu semalam begitu nyenyak tertidur di dalam boks bayi barunya. Hanya sesekali Cilla terbangun karena lapar. Bahkan di malam pertama ia menghuni rumah barunya, bayi itu terlihat sudah begitu nyaman hingga membuat ibunya ikut merasa damai. Yulia melirik sampingnya, Alan sudah tak ada di tempat tidur. Yulia pun perlahan mulai menurunkan kakinya dan berjalan perlahan ke kamar mandi. Yulia langsung masuk karena pintunya memang tak terkunci. Namun ... "Yulia!" Pekikan itu membuat mata yang semula masih begitu rapat itu pun langsung membelalak. "Aaaa ... " Yulia berteriak dengan histeris saat melihat Alan sedang tak berbusana di bawah guyuran air shower. Dengan cepat ia membalikkan badannya dan menutup wajahnya. "Kenapa kamu masuk?" tanya Alan. "Yaa ... Kenapa juga pintunya gak dikunci?" Yulia balik melayangkan pertanyaan pada suaminya itu tanpa menoleh."Ah, iya, kah? Mungkin
Aira berjalan ke rumah dengan berkali-kali menghembuskan nafas. Ia merasa tak habis fikir, bagaimana mereka bisa ikut merasa kesal dengan kehadiran Yulia di dalam rumah tangganya. Aira berjalan ke arah dapur dan melamun sambil berdiri menghadap ke jendela halaman luar. Sayuran yang awalnya akan ia potong pun malah dibiarkan saja di atas meja. "Mungkin itu sebagai bentuk kepedulian mereka padaku sebagai sesama wanita. Tetapi ... Tidak benar juga kalau pada akhirnya mereka merasa terancam dengan sikapku. Seharusnya mereka juga ikut mendukungku, bukannya malah ... ""Kenapa, sih, kok gak biasanya ngomel terus?" Aira langsung terjengkat kaget dan mendapati Alan sudah berada di belakangnya. "Ya ampun, Mas, aku kaget banget, tau." Aira mengusap dadanya berkali-kali sambil menghembuskan nafas."Maaf. Tadi Mas sudah ucap salam, tapi gak ada jawaban walaupun pintu terbuka. Ehh, ternyata kamu sedang melamun di sini sambil ngomel sendirian."Aira mengerucutkan bibirnya di hadapan Alan. "Ey, a
"Ayo, Ra!" "Iya, Bu. Sebentar."Aira langsung merapikan pakaian dan menyambar tas tangannya. Kemudian ia segera keluar dari kamar menghampiri Yulia yang telah memanggilnya dari tadi. "Kok ... Kamu pakai baju biasa?" tanya Vina sambil mengamati penampilan Aira dari bawah hingga ke atas.Aira mengikuti tatapan Vina, menunduk menatap penampilannya sendiri dari bawah kaki. "Memangnya kenapa, Bu?""Yaa ... Gak apa-apa. Memangnya kamu gak bakalan malu pakai baju itu?" "Ya memang kita mau ke mana?" tanya Aira dengan malas. "Kita akan makan malam. Teman lama Ibu tadi datang menemui Ibu di rumah. Dia ajak Ibu makan malam di restoran terkenal.""Oh, gak apa-apa, sih, Bu. Gak sama Mas Alan juga, buat apa aku dandan?" "Ya sudah. Ayo kita berangkat. Kamu sudah kirim pesan, kan, sama Alan?""Sudah, tapi belum di read.""Gak apa-apa, nanti juga dia baca. Ayo, Sayang."Dengan perasaan tak menentu akhirnya Aira pasrah juga mengikuti keinginan ibu mertuanya itu. Walau sepanjang jalan ia terus mela
Bagas terkejut dan langsung menutup telinga yang terasa berdengung karena teriakan Aira. "Dahlah, ayo masuk.""Gak mau!" Aira menghempaskan tangan Bagas yang telah berani memegang lengannya. "Jangan macam-macam, ya?!" Aira mengacungkan telunjuknya."Macam-macam apa, sih? Jangan terlalu kegeeran jadi perempuan. Aku tau kamu itu istri orang.""Ya bagus kalau gitu." Aira langsung membalikkan badannya hendak meninggalkan Bagas. "Hey tunggu!" Lagi-lagi Bagas memegang tangannya. Dengan cepat Aira pun melepaskannya. "Lepas, ih! Kenapa sih, gak ngerti-ngerti?""Oke, oke. Maaf. Tapi kamu mau ke mana? Ayo aku antar.""Gak perlu. Aku bisa sendiri."Aira kembali melangkah meninggalkan Bagas. Namun, laki-laki itu mengikutinya dari belakang. "Sepertinya kamu gak pusing. Bohong, ya?" tanyanya.Aira memutar bola matanya dengan malas, lalu menghentakkan kaki dan berhenti melangkah. "Kenapa ngikutin? Sana pergi!" "Hey, wanita gak baik loh jalan malam-malam gini di tepi jalan. Kamu mau di culik?" "
"Yulia. Sini," ucap Aira sambil menepuk kursi di sampingnya. Dengan pelan Yulia melangkahkan kakinya, mendekati Aira dan kemudian duduk di dekat wanita yang pembawaannya tenang itu. "Yulia, seharusnya kamu tidak melakukan itu. Mbak sudah mengizinkan Mas Alan menikahimu. Tentu Mbak juga sudah mempersiapkan hati Mbak untuk menerima kenyataan bahwa Mas Alan kini bukan hanya milik Mbak. Sebelum memberikan izin pun Mbak sudah memikirkan segalanya lebih dulu. Bahwa Mbak harus siap berbagi jiwa dan raga suami Mbak dengan kamu. Mbak harus menerima dengan lapang dada, kalau suatu saat cinta dan kasih sayang Mas Alan yang semulanya hanya untukku kini harus terbagi untukmu juga. Tapi Mbak gak takut. Mbak tau Mas Alan punya banyak cinta dan kasih sayang yang cukup untuk kita berdua. Bahkan untuk anak-anak dari Mbak dan dari kamu nanti yang pastinya sangat banyak. Mbak sudah ikhlas, jadi kamu jangan melakukan itu. Untuk apa aku selama ini bersabar sekuat tenaga kalau apa yang menjadi modal kesab
Perlahan Alan membalikkan badan. Menatap istri pertamanya dengan wajah yang kusut."Sudah cukup untuk hari ini, Dek. Mas mau istirahat. Sebaiknya kamu pulang sekarang."Alan langsung membalikkan badan dan meninggalkan Aira begitu saja."Tunggu, Mas!"Gerakan tangan yang hendak memutar gagang pintu kamar Yulia pun langsung berhenti. Keributan itu juga membuat Yulia yang sedang di dapur langsung berlari kecil ke sumber suara. "Aku mencintaimu karena Allah, Mas. Aku menikahimu karena Allah. Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik selama ini juga karena Allah. Dan sekarang, aku menerima Yulia sebagai istrimu pun karena Allah. Aku memintamu memenuhi hak atasnya karena Allah. Aku bisa melakukan semuanya. Tentu bisa. Karena aku melakukannya bukan untuk kebahagiaanmu yang malah akan menyengsarakanku. Tapi justru untuk kebahagiaanku sendiri. Untuk kebaikanku, untuk menjadi layak menghuni surga-NYA nanti. Untuk surgaku, untuk mendapatkan keridhoannya. Aku melakukannya untuk surgaku, bukan u
Menjalankan sunnah Nabi itu bagaikan menggenggam bara api. Jika kau sanggup bertahan, maka ketinggian derajat sudah pasti kau dapatkan. Tapi jika kau tak mampu menajalankannya sesuai dengan syariat, maka bersiaplah menghadapi kehancuranmu sendiri.Pagi harinya, sepeninggal Alan bekerja Yulia mengunci diri di rumah. Ia memang selalu tertutup dari tetangga sekitar rumah karena melihat tatapan tak bersahabat dari mereka. Sedangkan untuk berbelanja Alan selalu melakukannya setiap seminggu sekali. Namun, tetap saja di saat ada kebutuhan mendesak, Yulia pun tak bisa menunda untuk berangkat ke warung terdekat. Yulia sedang duduk di atas karpet di ruang televisi. Ia menonton sambil mengajak Cilla bermain. "Mbak Aira tumben sekali gak ada main," ucapnya. Tok tok tok"Assalaamu'laikum, Yulia ... "Suara Aira membuat Yulia menoleh. "Ah, baru juga diomongin, panjang umur Mbak Aira. Tunggu sebentar, ya, Sayang ... " ucapnya sambil mengelus lengan Cilla yang sedang anteng menonton kartun di tel
Aku mengerutkan kening, merasa bingung dengan apa yang Bapak katakan."Hati-hati untuk apa, Pak?"Bapak semakin mendekat untuk berbisik. "Candra ada datang ke rumah. Dia bersikeras ingin tau sekarang kamu tinggal di mana."Sontak saja perkataan Bapak itu membuatku langsung melotot. Terlebih saat mendengar kembali nama pria yang paling aku benci selama ini. Pria yang sudah menjadi penyebab hacurnya hidupku. "Apa?" tanyaku sambil memicing."Dia juga mengakui apa yang sudah dia perbuat padamu. Bapak marah sekali padanya."Aku tak mampu lagi berkata-kata. Jelas saja aku begitu terkejut dengan kabar yang Bapak katakan. Untuk apa pria itu melakukan semua itu tiba-tiba? Padahal dulu dia yang memaksaku untuk menyembunyikannya dari semua orang."Makanya, kamu hati-hati, ya? Candra mengaku menyesal sudah menyia-nyiakan kamu dan anak kalian. Maka dari itu dia terus memaksa Bapak memberitahunya tentang keberadaan kamu. Tapi Bapak tidak mau kamu kembali dengan pria brengsek itu. Hidupmu sekarang