Bagas terkejut dan langsung menutup telinga yang terasa berdengung karena teriakan Aira. "Dahlah, ayo masuk.""Gak mau!" Aira menghempaskan tangan Bagas yang telah berani memegang lengannya. "Jangan macam-macam, ya?!" Aira mengacungkan telunjuknya."Macam-macam apa, sih? Jangan terlalu kegeeran jadi perempuan. Aku tau kamu itu istri orang.""Ya bagus kalau gitu." Aira langsung membalikkan badannya hendak meninggalkan Bagas. "Hey tunggu!" Lagi-lagi Bagas memegang tangannya. Dengan cepat Aira pun melepaskannya. "Lepas, ih! Kenapa sih, gak ngerti-ngerti?""Oke, oke. Maaf. Tapi kamu mau ke mana? Ayo aku antar.""Gak perlu. Aku bisa sendiri."Aira kembali melangkah meninggalkan Bagas. Namun, laki-laki itu mengikutinya dari belakang. "Sepertinya kamu gak pusing. Bohong, ya?" tanyanya.Aira memutar bola matanya dengan malas, lalu menghentakkan kaki dan berhenti melangkah. "Kenapa ngikutin? Sana pergi!" "Hey, wanita gak baik loh jalan malam-malam gini di tepi jalan. Kamu mau di culik?" "
"Yulia. Sini," ucap Aira sambil menepuk kursi di sampingnya. Dengan pelan Yulia melangkahkan kakinya, mendekati Aira dan kemudian duduk di dekat wanita yang pembawaannya tenang itu. "Yulia, seharusnya kamu tidak melakukan itu. Mbak sudah mengizinkan Mas Alan menikahimu. Tentu Mbak juga sudah mempersiapkan hati Mbak untuk menerima kenyataan bahwa Mas Alan kini bukan hanya milik Mbak. Sebelum memberikan izin pun Mbak sudah memikirkan segalanya lebih dulu. Bahwa Mbak harus siap berbagi jiwa dan raga suami Mbak dengan kamu. Mbak harus menerima dengan lapang dada, kalau suatu saat cinta dan kasih sayang Mas Alan yang semulanya hanya untukku kini harus terbagi untukmu juga. Tapi Mbak gak takut. Mbak tau Mas Alan punya banyak cinta dan kasih sayang yang cukup untuk kita berdua. Bahkan untuk anak-anak dari Mbak dan dari kamu nanti yang pastinya sangat banyak. Mbak sudah ikhlas, jadi kamu jangan melakukan itu. Untuk apa aku selama ini bersabar sekuat tenaga kalau apa yang menjadi modal kesab
Perlahan Alan membalikkan badan. Menatap istri pertamanya dengan wajah yang kusut."Sudah cukup untuk hari ini, Dek. Mas mau istirahat. Sebaiknya kamu pulang sekarang."Alan langsung membalikkan badan dan meninggalkan Aira begitu saja."Tunggu, Mas!"Gerakan tangan yang hendak memutar gagang pintu kamar Yulia pun langsung berhenti. Keributan itu juga membuat Yulia yang sedang di dapur langsung berlari kecil ke sumber suara. "Aku mencintaimu karena Allah, Mas. Aku menikahimu karena Allah. Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik selama ini juga karena Allah. Dan sekarang, aku menerima Yulia sebagai istrimu pun karena Allah. Aku memintamu memenuhi hak atasnya karena Allah. Aku bisa melakukan semuanya. Tentu bisa. Karena aku melakukannya bukan untuk kebahagiaanmu yang malah akan menyengsarakanku. Tapi justru untuk kebahagiaanku sendiri. Untuk kebaikanku, untuk menjadi layak menghuni surga-NYA nanti. Untuk surgaku, untuk mendapatkan keridhoannya. Aku melakukannya untuk surgaku, bukan u
Menjalankan sunnah Nabi itu bagaikan menggenggam bara api. Jika kau sanggup bertahan, maka ketinggian derajat sudah pasti kau dapatkan. Tapi jika kau tak mampu menajalankannya sesuai dengan syariat, maka bersiaplah menghadapi kehancuranmu sendiri.Pagi harinya, sepeninggal Alan bekerja Yulia mengunci diri di rumah. Ia memang selalu tertutup dari tetangga sekitar rumah karena melihat tatapan tak bersahabat dari mereka. Sedangkan untuk berbelanja Alan selalu melakukannya setiap seminggu sekali. Namun, tetap saja di saat ada kebutuhan mendesak, Yulia pun tak bisa menunda untuk berangkat ke warung terdekat. Yulia sedang duduk di atas karpet di ruang televisi. Ia menonton sambil mengajak Cilla bermain. "Mbak Aira tumben sekali gak ada main," ucapnya. Tok tok tok"Assalaamu'laikum, Yulia ... "Suara Aira membuat Yulia menoleh. "Ah, baru juga diomongin, panjang umur Mbak Aira. Tunggu sebentar, ya, Sayang ... " ucapnya sambil mengelus lengan Cilla yang sedang anteng menonton kartun di tel
Aku mengerutkan kening, merasa bingung dengan apa yang Bapak katakan."Hati-hati untuk apa, Pak?"Bapak semakin mendekat untuk berbisik. "Candra ada datang ke rumah. Dia bersikeras ingin tau sekarang kamu tinggal di mana."Sontak saja perkataan Bapak itu membuatku langsung melotot. Terlebih saat mendengar kembali nama pria yang paling aku benci selama ini. Pria yang sudah menjadi penyebab hacurnya hidupku. "Apa?" tanyaku sambil memicing."Dia juga mengakui apa yang sudah dia perbuat padamu. Bapak marah sekali padanya."Aku tak mampu lagi berkata-kata. Jelas saja aku begitu terkejut dengan kabar yang Bapak katakan. Untuk apa pria itu melakukan semua itu tiba-tiba? Padahal dulu dia yang memaksaku untuk menyembunyikannya dari semua orang."Makanya, kamu hati-hati, ya? Candra mengaku menyesal sudah menyia-nyiakan kamu dan anak kalian. Maka dari itu dia terus memaksa Bapak memberitahunya tentang keberadaan kamu. Tapi Bapak tidak mau kamu kembali dengan pria brengsek itu. Hidupmu sekarang
Sejak malam itu, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak hingga Mas Alan datang dan menemaniku. Setiap hari aku selalu merasa ada sepasang mata yang mengawasiku dari jauh. Di saat aku menyapu halaman, mengepel lantai, atau saat sesekali aku ke teras rumah untuk mengantar kepergian Mas Alan. Namun, aku masih berusaha menahan diri dari menceritakan semuanya pada Mas Alan. Toh, aku pun masih belum yakin dan membuktikan dugaanku itu. Aku tak mau malah membuat Mas Alan merasa cemas dan pada akhirnya lebih mementingkan menemaniku. Padahal, apa yang kutakutkan selama ini hanyalah keparnoan semata. Kecuali saat Mas Alan berada di dekatku. Aku merasa begitu aman dan nyaman. Aku tidak merasa takut dan cemas. Aku juga merasa, tidak akan terjadi hal buruk apapun selama Mas Alan ada bersamaku. Waktu terasa begitu cepat berlalu dengan kehadirannya di sisiku. Hingga tak terasa kini habis saatnya Mas Alan kembali lagi ke rumah pertamanya."Mas, kamu belum siap-siap?" tanyaku sore itu. Mas Alan yang se
Suara tangis Cilla disambut bahagia oleh Mbak Aira. Dia yang semula sedang rebahan menonton televisi bersamaku kini langsung berlari ke kamar. "Akhirnya kamu bangun, Sayang," ucapnya sambil berlari ke kamar. Aku hanya terkekeh melihatnya. Memang sudah cukup lama Mbak Aira tak datang main ke rumahku. Jadi, pasti kali ini ia begitu merindukan Cilla. Melihat kasih sayangnya sebagai seorang ibu, aku sangat berharap semoga saja Mbak Aira segera diberi kepercayaan untuk menjadi seorang ibu juga.Sore hari Mbak Aira pulang. Ia tentu harus menyambut kepulangan Mas Alan di rumah. Kepulangannya itu membuat suasana hangat di rumah ini kembali redup. Ya, rumah ini kembali seperti biasanya, sunyi dan sepi. Aku mulai melakukan rutinitas sore hari seperti biasa. Memandikan Cilla dan menyetrika pakaian. Hingga malam mulai menjelang, saat aku sedang mengambil wudhu di kamar mandi untuk melaksanakan shalat isya, tiba-tiba lampu mati. Entah memang ada pemadaman atau bagaimana. Setelah menyelesaikan w
Keringat dingin memenuhi dahi dan badan Yulia. Ia bermimpi buruk, memimpikan apa yang semalam terjadi di rumahnya."Ini, minum dulu." Aira menyerahkan air minum kemasan. "Kamu gak sehat mungkin," ucap Vina. "Kamu sakit, Dik?" tanya Alan. "E-enggak, Mas. Aku cuma mimpi buruk saja.""Ya sudah, ayo kita turun. Kita sudah sampai."Mereka pun turun dari mobil dan langsung masuk setelah membayar loket. Aira yang melihat gelagat Yulia sedikit aneh pun tetap menggendong Cilla, ia yakin kalau pasti ada yang disembunyikan oleh wanita itu."Yul, ayo." Aira menarik tangan Yulia untuk berjalan lebih cepat. Keadaan begitu ramai, tak mustahil kalau salah satu di antara keluarga pengunjung bisa saja terpisah dan kesulitan mencari keluarganya lagi.Mereka berpiknik dengan ceria, Cilla pun juga terlihat sangat senang. Ia terus berceloteh dan tertawa-tawa. Pemandangan sekitar yang penuh dengan hiasan warna warni menarik perhatian bayi 4 bulan tersebut. Ia juga mengerjap-ngerjapkan matanya dengan luc