Ciiit!Suara ban yang bergesek dengan lantai basement itu berdecit dengan sangat keras. Lampu depan sebuah mobil hitam menyorot kuat ke arah Dzurriya dan lelaki di sebelahnya.Kemudian, seorang lelaki berkemeja putih dan bercelana hitam keluar dari mobil itu. Lelaki itu memakai masker, tetapi karena cahaya silau dari lampu mobil, ia jadi tidak bisa melihat jelas wajahnya. Ia berjalan mendekat dengan pelan. Sekarang, lelaki di belakangnya itu mendorong Dzurriya sampai jatuh.Lelaki bermasker itu tampak sangat terkejut, matanya membelalak marah. Namun, belum sempat dia menghampiri Dzurriya, lelaki yang memiliki pistol itu langsung mengarahkan pistolnya ke depan, seolah hendak menantang lelaki tadi.Dalam sekejap, lelaki itu menendang pistol itu dengan mudah, hingga benda itu jatuh beberapa meter darinya. Perkelahian pun tak terhindarkan. Mereka sama-sama kuat, sampai lelaki bermasker itu menendang perut lelaki jahat itu, dan membuatnya muntah darah.Melihat musuhnya jatuh, lelaki berma
Dzurriya yang menyadari Eshan keluar dari lift, pun berbalik ke belakang. Ia berusaha tersenyum dan menyapa suaminya, tapi lelaki itu malah hanya beranjak tanpa menghiraukannya. Dzurriya berjalan pelan mengikutinya, tapi Eshan terus saja berjalan menuju pintu depan. Dan sebelum dia keluar, Eshan berkata keras kepada Tikno: “Tikno, tutup pintu itu! Aku tak mau siapa pun keluar masuk rumah ini tanpa seizinku.”Tikno langsung menyanggupi perintah itu dan terlihat menutup juga mengunci pintu dari luar.*****Karena malam kemarin Dzurriya gagal berbicara dengan Eshan, pagi ini ia kembali bertekad. Mungkin kalau berbicara langsung akan terkesan aneh, jadi Dzurriya berniat membuatkan kopi juga sebagai alasan.Dzurriya memandang ke arah lift di depannya dengan was-was. Tangannya menggenggam nampan berisi secangkir kopi. Hatinya begitu penasaran dengan reaksi Eshan, tapi pikirannya begitu cemas. Mungkin saja Eshan akan mengabaikannya seperti malam tadi.Setelah keraguan yang panjang, Dzurriya
Malam tak begitu dingin, tapi rasa rindunya kepada sang suami, membuat cuaca hari itu tak begitu bersahabat di hatinya. Sejak kedatangan Alexa pagi itu, ia sama sekali tidak melihat Eshan. Entah lelaki itu sudah pergi bekerja, atau menghabiskan waktunya seharian bersama Alexa.Dzurriya hanya bisa pergi ke halaman belakang dan duduk sendiri di sana. Ia memeluk jaket pemberian Eshan yang diselampirkan di kedua lengannya. Ia saling berpangku itu sambil mencium bau musknya. Ia menghela napas panjang setelah menatap jauh ke arah jendela-jendela yang terpasang di dinding belakang rumah besar tersebut.‘Ya Allah rasanya aku mulai jatuh cinta pada suamiku, apakah ini berkah? Tapi kenapa rasanya begitu sakit?”Air matanya mulai menetes, sedikit demi sedikit akhirnya ia sesenggukan dan tangisnya tak bisa tertahan. Ia menunduk sambil mencium jaket itu yang basah oleh air mata. “Nyonya,” sapaan dari Tikno terdengar dari arah belakang.Dzurriya langsung mengusap air matanya dan mendongak. “Iya,
Ryan menatap Dzurriya dalam-dalam dan membuatnya merasa tidak nyaman.“Apa ada yang salah?” tanya Dzurriya sambil membenahi kerudungnya.Ryan hanya menggeleng pelan sambil berseru, “Ayo!”Keduanya pun berjalan beriringan menuju ruang makan. Sesampainya di sana, Eshan tampak mengikuti gerakan Dzurriya dan Ryan sampai keduanya duduk di hadapan mereka. Hal itu membuat Dzurriya refleks menundukkan kepalanya, apalagi ketika Alexa tiba-tiba membetulkan dasi Eshan.Wanita itu tampak berbisik di telinga Eshan, lalu tertawa lirih. Tak berhenti di situ, Alexa kemudian menempelkan pipinya pada pipi Eshan, kemudian bergerak lembut ke arah bibirnya. Dzurriya menelan air liurnya dan berusaha mengabaikan keduanya. ‘Terserah’Ia bergemam dalam hati dengan kesal kemudian tersenyum pada Ryan yang menggeser air mineral ke hadapannya.“Jangan dihiraukan, Alexa memang begitu, tidak tahu kapan dan di mana ia harus bersikap seperti itu. Baginya dunia ini miliknya,” bisik Ryan yang kembali disambut senyum
“Kalau dipaksakan akan terjadi blighted ovum atau kehamilan tanpa embrio atau calon janin.”Alexa langsung berteriak, dan tanpa bisa diprediksi, wanita itu langsung bangkit dari kursi untuk menghampiri Dzurriya.“JALANG SIALAN! INI SEMUA GARA-GARA KAU! MATI SAJA SANA!” teriak Alexa sambil berkali-kali menampar, memukul, dan menarik kerudung Dzurriya dengan membabi buta.Orang yang ada di sana membelalak kaget dan berusaha menolong Dzurriya. Bahkan Ryan pun terkena sasarannya, pipi kanannya tertampar karena menghalangi Alexa. Eshan sendiri segera memegangi istri pertamanya itu.“Lepaskan aku, aku akan membunuhnya!” teriak Alexa beberapa kali dengan lantang.Namun bukannya menangis dan diam seperti biasa, Dzurriya malah mengepalkan tangannya dan membalas ucapan Alexa. “Bagaimana bisa itu salahku?! Aku bahkan tidak ingat siapa diriku ketika bertemu kalian!”Semua terdiam, tidak hanya Alexa, tetapi juga Eshan dan Ryan. Ini pertama kalinya mereka melihat Dzurriya melawan, berteriak kembal
Dzurriya pulang diantar Ryan. Hatinya begitu was-was dengan apa yang terjadi selanjutnya, apalagi Ryan langsung pergi karena ada jadwal operasi sore itu. Dengan sisa keberanian, ia menghela napas panjang dan masuk. Baru sampai di ruang tamu, ia sudah berpapasan dengan Eshan yang menatapnya dalam-dalam. Lelaki itu kemudian menghampirinya. ‘Kamu kira Eshan dan Alexa akan melepaskanmu setelah apa yang kau lakukan tadi?’ suara Ryan bergema dalam pikirannya. Nyalinya bertambah ciut, apalagi Eshan tiba-tiba mengangkat tangannya. Sontak Dzurriya yang ketakutan langsung menutup matanya. Namun, bukannya pukulan atau tamparan, ia malah merasakan pipinya terasa dingin. Dzurriya pun meringis ketika luka sedikit perih yang sedari tadi dirasakannya seperti dioles sesuatu. Dzurriya membuka mata dan menatap wajah suaminya yang tengah fokus menyapu salep di pipinya yang meradang karena tamparan Alexa. Dia terlihat menyesal. ‘Apa dia tak marah? Kenapa dia tak tanya aku dari mana? Apa
“Kak Eshan di sini?”Keduanya langsung menoleh kepada Ryan yang datang dengan penampilan sangat segar. Ia sudah berganti pakaian menjadi setelan formal. Sepertinya ia akan sekalian berangkat kerja.Dzurriya tersenyum manis ke arahnya, sengaja menghindari Eshan. “Masakannya sudah selesai. Kau tunggu saja di meja.”Dzurriya lantas berbalik, memunggungi Eshan yang masih terpaku di sana. Entah wajah apa yang ditunjukkan lelaki itu sekarang, Dzurriya tidak mau tahu. Ia masih sakit hati dengan tamparan itu, apalagi Eshan belum meminta maaf.“Sebaiknya kalian tahu,” suara Eshan terdengar, bersamaan dengan suara langkahnya menjauh dari dapur. “Aku tidak suka ISTRIKU memasak di dapur. Jadi cepat bereskan!”Ryan terkekeh sambil berjalan mendekati Dzurriya dan melihat isi penggorengan, “Apa Kakak yakin tak ingin mencicipinya dulu? Masakan Kak Dzurri lebih enak dari koki kita.” Eshan mengangkat alisnya mendengar panggilan akrab Ryan untuk Dzurriya. Lalu, tanpa memperdulikannya, ia justru beranja
“Dia mantan karyawan kita yang kau pecat waktu itu karena mencuri,” jelas Tikno di tengah laju mobil yang begitu cepat. Eshan tampak tak kaget mendengar panggilan “kau” dari Tikno. Dia hanya tetap fokus menyetir. “Apa kau mau menghadapinya langsung atau diam-diam?” tanya Tikno kemudian. “Kita lihat kondisi nanti,” ujar Eshan dengan begitu tenang, kemudian memacu mobilnya lebih cepat. Mobil itu berhenti di sebuah gudang lama, tempat itu terlihat begitu sepi. Eshan masuk dan mengeluarkan sebuah sepeda motor sport hitam yang terlihat sudah usang dari sana. Sementara Tikno memarkir mobil ke dalam garasi gudang yang kelihatan kumuh itu, kemudian mengganti plat mobil dan menutupnya dengan terpal. Keduanya berboncengan keluar dari area sepi dan kumuh itu dengan cepat, menuju jalan raya besar. Satu per satu kendaraan di sana dilewatinya dengan ngebut. Hari berganti malam. Perjalanan yang cukup jauh tersebut tak membuat mereka berhenti untuk beristirahat. Akhirnya mereka sampai di