Selamat membaca. Ada sedikit alasan yang tak bisa ku katakan, tentang mengapa aku bisa tahu tentang informasi itu. Dan ya. Aku menolak bicara, dan Almosa juga demikian. Ia marah padaku, bahkan tak pernah menemuiku. Untungnya, Kafkan mau menemaniku diasa-masa sulitku. "Almosa, apakah dia masih marah padaku?" tanyaku dengan suara serak. Karena berteriak kemarin malam—ulah siapa kalau bukan ulah Raja tidak punya hati itu. "Jadi tidak mau bicara denganku lagi?"'Hah' Kafkan menghembuskan nafasnya kasar. Menatap nampan makanan yang masih utuh di samping tempat tidur. Lalu ia menatap mataku dengan tajam. "Coba pikir? Bagaimana ada yang tidak marah, jika keinginannya tak tercapai?"ku kerutkan keningku bingung. "Keinginan? Almosa punya keinginan?!"Ia tersenyum sinis. "Kau ini bodoh atau bagaimana? Almosa menginginkan kesembuhanmu! Mengapa kau tidak mengerti, dan terus melawan yang mulia…""Mungkin ia senang tidur dengan yang mulia!" sambung seseorang. Tidak lain adalah Damor, ia terus me
Happy Reading. Melihat Kafkan yang melesat ke area pertarungan, membuat aku menatap Almosa dengan tatapan kecewa. "Mengapa kau melakukan ini padaku?" tanyaku lirih pada Almosa. "Mengapa kau mengorbankan Kafkan?!" "sebab Rajamu mengorbankan dirinya untuk seorang manusia biasa sepertimu!" balas Almosa dengan suara rendah, menatapku dengan tatapan tak suka. Sebelum pria itu pergi dari tempatnya. Aku harus berpikir positif. 'Almosa tidak mungkin membiarkan Kafkan terluka'Tap! Tap! Tap! Seseorang menghampiri, ia adalah "Damor?!" Mataku melebar, menatap tak percaya ke arah tubuh Damor yang dipenuhi oleh darah musuh. Tapi, ia bahkan tak menegurku, membiarkanku begitu saja. Aku cemas. Kafkan…apakah Almosa serius? Bagaimana jika….Tatapanku teralih pada tubuh Darka lll yang terbaring lemah. Sebelum mengepalkan tanganku kuat, aku memantapkan hati untuk mendekat ke arahnya. "Aku Emabell, tidak pernah mengharapkanmu. Tetapi aku Emabell dari Clossiana Frigga, mengharapkan perdamaian setia
Selamat membaca. Uwekkk!Aku memuntahkan semua darah yang masuk ke dalam tubuhku, sulit. Tapi untukku, itu bukanlah masalah. Hosh! Hosh! Hosh! Aku membiru, sebab mengeluarkan semua darah yang ia berikan dengan cara yang menjijikan. Aku tidak kuat lagi. "Aku tidak mau berakhir menjadi budak seksnya! Cukup, aku lelah!" ujarku, sambil menarik semua kain yang menutupi tubuhku yang tak lagi indah. Sebab dipenuhi oleh luka, dan bercak merah karena memberontak. Bagian dadaku juga terasa perih, sebab ia menekan cukup kuat. Menatap diriku sendiri. Membuat aku merasa benar-benar kotor. "Aku harus pergi meski akan mati ditengah Jalan karena penyakitku!" tekadku sudah bulat. "Aku mencari perdamaian, tapi aku tidak pe-pernah mencarinya. Dari orang yang telah merampas segalanya dariku!"Aku tidak akan pernah percaya. ***Bermodalkan tekad, aku sudah merencanakan hari ini. Tinggal dan terkurung hanyalah alasan agar aku bisa mengenal setiap karakter mereka. 98% mungkin akan gagal. Itu adalah
Selamat membaca. Aku menuruti Almosa malam itu, dan untungnya rencanaku yang ternyata gagal total tidak membuatnya marah. Aku tahu ia ingin menghabisiku malam itu, sorot mata pria itu seolah berkata 'tunggu saat kau pilih!' Pemikiran yang cukup membuatku merinding. Pasti alasan mengapa ia tak menghukumku karena mencoba untuk kabur darinya. ***Pagi yang indah, suara kereta kuda menghampiri. Dan Kafkan, ia yang mengantarku agar tidak tersesat nantinya. Selama perjalanan. Aku tak bicara, jelas aku marah pada mereka. Aku sembuh. Tapi perang sebentar lagi akan terjadi! Aku tidak tahu akan masa depan, jika sampai identitasku terbongkar nantinya. "Kau siap?" Kafkan bertanya, aku tak menanggapinya. Dan ia terlihat hanya menghembuskan nafasnya kasar, memaklumiku. GEKKK!!! Seperti pintu kebebasan yang hanya ada dalam khayalanku. Aku bersukacita, saat mendengar suara mereka. DEG! Senang. Itu aku rasakan. "Emabell?" Nike memanggil. Sungguh aku merindukannya. "Abell!" Ia berlari ke ar
Selamat membaca. Nike bersiap melempar batu dengan ukuran sedang, sedang aku bersiap dengan kayu pohon. Saat ia melempar! Aku menangkisnya. "Aku menang!"PRANGGG! Namun itu mengenai jendela utama yang terhubung di aula utama. "O-ow, ini gawat!"***Di dalam, aku dan Nike hanya menundukan kepala. Tapi mengapa Nike mulai menangis seperti bukan dirinya saja! Apa ia mencoba untuk selamat dari amukan ibu dan ayahku?! "BERHENTILAH MENANGIS DAN KATAKAN SESUATU PADA IBU!" Aku hendak menjelaskan. Tapi Nike mencela, "Emabell yang memukulnya!""Tapi kau yang melemparnya Nike," balasku. "Tapi kamu yang memukul ke arah jendela!""Kau kan melemparnya ke arah jendela!" Ayah memijat kepalanya pusing, sedang ibu menatapku dan Nike dengan tatapan jengkel. "Kalian berdua…""Di Desa, Emabell yang melempar, dan ia tidak dihukum! Kalau begitu aku tidak dihukum dong!""Tidak bisa begitu dong Nike!" kataku membela. Sebab Nike membawa-bawa kasus lama yang sudah terjadi sekitar 205 kali. "Bisa!""HENT
Selamat membaca. Bukh! Sebuah patung hancur karena aku menyenggolnya. "Maaf!" ucapku sembari membersihkan pecahan-pecahan patung. Setidaknya aku punya alasan untuk menjauhi itu. "Letakan semua itu!" Tapi aku tak menurut, dan tetap membereskan semua puing-puing. Menumpuknya pada pakaianku. Sampai sebuah tangan menarik lenganku kasar. "EMABELL! KAU TIDAK MENDENGARKANKU?!" bentaknya—membuatku ketakutan, menatapnya dengan mata berkaca-kaca menahan tangisku agar tak jatuh. Meletakan semua puing-puing itu kembali ke lantai. Lalu menatap baginda yang seakan menusukku, dengan tatapan tajamnya. "Maafkan aku," kataku. Memutus pandangan dengan menundukkan kepalaku ke bawah. Yang dengan tidak tahu dirinya. Ia bertanya padaku. "Jika suatu hari kehancuran terjadi. Siapa yang akan kau pilih?!" ia menjeda menatap dengan tatapan dinginnya. "Aku, atau Clossiana Frigga?!"Aku diam. Tak menjawabnya, sebab aku tidak tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Ia tiba-tiba saja mengangguk-anggukan ke
Selamat membaca. Kami saling tatap selama beberapa saat. Sebelum aku melompat dengan gesit dari istana yang begitu tinggi. 'Patah kaki pun tak masalah!' Asalkan aku lepas malam ini saja. Namun detik berikutnya, pria itu menyambarku seperti elang yang membunuh mangsanya, atau menyelamatkan mangsanya. Ia menggendongku. Dan kami terbang semakin tinggi. "A-aku bisa kehabisan nafas la-lagi!" mataku mulai naik ke atas, sebab semakin tinggi. Udara semakin menipis. Menatap. Baginda menurunkan sedikit jarak antara ia dan bumi—sontak, aku melingkarkan kedua tanganku di lehernya. "Wah…""Wah?" tanyanya mengulang kekagumanku pada kerajaannya ini. Utara, harusnya tak seindah ini. Tidak. Semua indah, hanya istananya saja yang tidak. "Nama siapa yang kau sebutkan itu?""Itu kekaguman!"Jawaban mulus yang disertai ketakutan. Aku bahkan harus menelan salivaku kasar, karena jujur saja. Suaranya itu masih membuat semua tubuhku merinding—seolah ingatan pada malam kembali lagi. Hingga, sekitar 7 ja
Selamat membaca. Ia membawaku pulang, padahal. Ku pikir ia akan meninggalkanku sendirian di tengah hutan seperti ini tanpa busana. Tapi saat kami kembali, ia sama sekali tak bicara padaku. Tak makanan, tak ada dunia luar. Aku dikurung! Bahkan, baik Almosa dan aku tidak boleh mengobati lukaku. Aku kesakitan. "Aku ingin kembali ke rumah, aku ingin meringkuk di samping kasur kamar di rumah bibi Anne. Aku ingin berteriak, aku ingin tenggelam lagi…. Hiksss…"Menangis adalah jalan. Sampai aku sadar. "Mengapa aku begitu lemah di hadapannya?" lantas aku menatap ke arah tanganku sendiri yang masih dipenuhi oleh bekas luka. Bangkit. Membuka peti, sebelum mengobati luka-lukaku dengan herbal yang dikirim oleh kakak—tidak peduli lagi jika baginda akan memperkosaku atas tindakan yang ku anggap benar. "Aku tidak peduli lagi!" Aku, harus jadi lebih kuat….***Malam harinya, berbekal tekad karena perutku yang kosong. Aku dengan nekatnya berjalan keluar dari kamar yang tidak dijaga, ke arah dapur.