"Den ... ada Den Dion datang." Tiba-tiba terdengar suara Bi Imah. Ketika mata kami semua berserobok, wanita paruh baya itu refleks menunduk canggung karena melihat kami.Bang Aldin menoleh dan pelukannya langsung merenggang. Dengan adanya kesempatan itu, aku segera menjauh. Dada ini terasa bergemuruh kencang. Aku yakin ada sesuatu yang menyebabkan Bang Aldin bersikap demikian. Benar-benar membuatku takut dengan tatapan serta sikapnya itu ... bukan seperti biasanya pria itu terhadapku. Bahkan tadi ketika belajar ngaji masih wajar saja."Assalamualaikum!" Itu Bang Dion! Syukurlah, lelakiku itu tiba pada saat yang tepat.Bi Imah berbalik dan melenggang pergi."Wa 'alaikumus salam!" sahutku cepat, lalu melenggang mendekatinya walau dengan degup jantung yang bertalu-talu. Aku berusaha bersikap normal."Apa kabar, Mila? Bang?" tanya Bang Dion dengan senyum yang mengembang. Tangannya memegang sebuah paper bag.Lelaki itu tidak tahu, baru saja aku ketakutan setengah mati dengan sikap Bang A
"Ini surprise yang Abang bilang hari itu," katanya dengan bibir yang senantiasa tersenyum hangat. Aah ... Bang Dion selalu bersikap manis kepadaku.Aku pun meraih kotak tersebut. "Aku buka di kamar ya, Bang," ujarku."Oke gak papa. Istirahatlah, moga cepet baikan ya," ucapnya.Aku lantas pamit dari sana, melenggang masuk ke kamar.Sesampai di kamar, aku duduk di bibir ranjang. Penasaran dengan kado yang diberikan oleh Bang Dion barusan. Kuurai pita merah yang terikat di sana. Tanpa sadar bibir ini terus tersenyum melihat kotak berbalut kertas berwarna biru motif polkadot tersebut. Apa ya isinya?Kulepas sedikit-sedikit potongan selotip yang merekat di kotak itu. Dahiku seketika mengernyit ketika melihat tulisan S*MS*NG GALAXY A71 di sana. "Maa syaa Allah ...," lirihku pada diri sendiri.Bang Dion memberikan aku sebuah ponsel. Sepertinya ini mahal. Aku dulu sempat punya ponsel, hanya saja ketika berangkat ke tempat Kak Mirna waktu itu, dijambret orang. Memang hape murah, tapi itu mod
Aku sontak menoleh, kemudian beringsut dan bangkit dari rebahan dan duduk di pinggir tempat tidur Ivan. "Ya?" sahutku singkat."Ivan sudah tidur?" tanya pria itu dengan suara lirih di ambang pintu.Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.Lelaki itu semakin melangkah maju. Aku pun beranjak dari ranjang itu hendak pergi. "Mila, tunggu Abang di ruang tivi. Ada yang mau Abang omongin," kata pria itu menahan langkah ini.Sekali lagi aku mengangguk. Entah apa yang ingin ia sampaikan. Aku menoleh sekali lagi ke arah Bang Aldin sebelum kaki sampai di ambang pintu. Tampak lelaki itu tengah membelai sayang kepala sang putra, kemudian ia mendaratkan sebuah kecupan lekat di dahi Ivan. Untuk ke sekian kali, pemandangan itu melelehkan hatiku.***"Abang mau bicara apa? Aku mau tidur juga sekarang," ucapku tanpa basa-basi ketika Bang Aldin mendudukkan bokongnya ke sofa.Lelaki itu menautkan jari-jari tangan kanan dan kirinya. "Hmm ... lusa ada kegiatan Cross Country yang Dion bilang waktu itu. Dion
Tiba-tiba terdengar suara ponselku berdering. Rupanya Bang Aldin. Tumben pria itu menghubungiku?"Assalamualaikum," ucapku. "Kumsalam.""Wa 'alaikumus salam gitu, Bang. Doa jangan diubah-ubah. Nanti beda arti ...," kataku mengoreksi jawaban salamnya."Wa 'alaikumus salam," tirunya dari seberang sana.Aku menyunggingkan senyuman."Mil, ada paket datang, gak?" tanyanya kemudian."Ada nih, punya Abang?" tanyaku. Akan tetapi, mengapa tertulis untukku ini?"Itu daypack buat kamu, Mila. Buat berangkat besok," katanya."Oh." Hanya itu yang keluar dari mulutku.Aku kemudian terdiam. Bang Aldin beliin aku?"Ya udah. Gitu aja, ya. Abang ada meeting bentar lagi.""Iya, Bang."Saluran telepon pun terputus.Mila, mengapa sulit lisanmu untuk mengucapkan terima kasih? Yaa Allah ... mengapa aku jadi seperti orang yang tak tahu adab begini? Padahal aku biasa mengajarkan adab kepada Ivan. Entah mengapa lidahku terasa kelu tadi. Subhanallah ....***Ketika aku tengah mematut diri di cermin merapikan di
Ya Rabb, aku tak mau mengecewakan ayah. Tadinya aku berharap dengan menikah dengan Bang Dion, maka ayah bisa lega karena aku akan menikahi lelaki yang kucintai. Beliau juga lega karena anaknya tidak menikah dengan Mas Sugeng yang rentenir. Ayah terpaksa dulu meminjam uang darinya, untuk ibu berobat. Aku tahu ayah tidak suka dengan duda beranak dua itu.Kemungkinan kedua. Jika Bang Aldin menganggap serius pernikahan ini. Artinya ia akan mempertahankan aku menjadi istrinya seperti seharusnya. Apakah aku akan bisa menggantikan tempat khusus Bang Dion di dalam hati ini? Bisakah?Hal ini benar-benar seperti buah simalakama buatku. Ya Rabb, tolonglah hamba-Mu ini ... berikan petunjuk-Mu kepadaku. ***Akhirnya kami sampai di kaki gunung, suasana terasa sejuk karena banyak pepohonan. Di sana sudah ramai para mahasiswa yang akan mengadakan pendakian di Gunung Bongkok. Bang Dion termasuk salah seorang panitia yang menyelenggarakan kegiatan ini. Sehingga pria itu mesti berangkat dengan panitia
Aku tersadar telah memerhatikan lelaki itu lekat. Dengan segera aku pun mengalihkan pandangan. Aku tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan barusan. Ya ... tentu saja aku cemburu. "Amel memang begitu dari dulu sama Dion. Mereka udah kayak kakak-adik. Jangan salah paham," ujar Bang Aldin."Memangnya mereka ada hubungan keluarga?" tanyaku. Ya, kemungkinan itu tentu ada. Karena aku juga belum mengenal keluarga Bang Dion. Aku masih berusaha berbaik sangka."Gak ada ... cuma di Mapala ya begitu. Antara senior dan junior, antara teman seangkatan itu udah kayak saudara aja. Apa lagi kalau memang cocok komunikasi.""Kalo gitu mereka bukan mahram, Bang! Kenapa gandengan mesra kayak gitu?" kilahku.Bang Aldin menatapku lekat. "Oh, gitu?" "Iyalah!" jawabku sengit."Maklum aja, Mil ... kami nih, gak belajar agama detil kayak kamu."Aku membuang muka.Lelaki itu bangkit. "Udah, jangan marah lagi," tuturnya sambil tersenyum dan membelai kepalaku. Darahku kembali berdesir. Akan tetapi, Bang Al
"Hei ... mau ke mana kita ini, hemm?" Bang Aldin menahan langkahnya ketika jarak kami sudah cukup jauh dari Bang Dion. Kami melewati pohon-pohon dan semak di hutan kaki gunung. Saat ini kami berada di dekat sebuah sungai kecil penuh dengan batu-batu kali.Aku pun melepaskan tautan tanganku di lengan Bang Aldin, kemudian melangkah hati-hati mendekati sungai. Kucelupkan tangan ke air sungai yang mengalir santai mengitari bebatuan itu. Kuusap wajah, merasakan kesegaran air tersebut menyentuh kulit. Kutarik napas dalam-dalam, berusaha melegakan sesak di dalam sini.Bang Aldin mendekat, lalu duduk di sebuah batu yang agak besar di dekatku. "Enak ya, airnya segar," ujarnya sembari menyentuhkan jemarinya ke air yang mengalir itu. Aku senang dia sama sekali tidak membahas kejadian barusan.Aku mengangguk dan berusaha tersenyum walau mungkin tampak getir. "Kita muncak besok. Mungkin bersama para alumni yang juga ikut kegiatan ini," imbuhnya.Aku beringsut dan mendudukkan bokong ke batu besar
"Sini naik ke punggung Abang," tawarnya, "kita ke sana," lanjutnya sembari menunjuk jeram yang tidak begitu tinggi di seberang kami. "Oh." Aku kira Bang Aldin mau ngapain, bikin kaget.Sungguh! Kelihatannya sangat menarik dan menggoda untuk pergi ke arah sana. Dengan agak ragu dan perlahan aku menuruti Bang Aldin menaiki punggungnya. Kupeluk erat pundaknya dari belakang. Lelaki itu pun mulai maju perlahan ke arah jeram tersebut. "Huwaaaa!" pekikku ketika kami sudah berada di bawah air terjun itu. Seru sekali!Bang Aldin tertawa mendengar jeritanku. Ia membantuku menjejakkan kaki di sebuah batu besar di sana. Air yang menimpa tubuh ini terasa seperti hujan yang sangat deras! Yaa Allah ... Mahasuci Engkau telah menciptakan alam yang indah ini.Bang Aldin berenang di hadapan dan menatapku lekat dengan bibir yang terus tersenyum. Aku pun membalas senyuman itu dengan semringah. Ini sangat menyenangkan!Kami bermain air dengan penuh keriangan, rasanya tidak mau berhenti. Bahkan waktu tak