Aku tersadar telah memerhatikan lelaki itu lekat. Dengan segera aku pun mengalihkan pandangan. Aku tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan barusan. Ya ... tentu saja aku cemburu. "Amel memang begitu dari dulu sama Dion. Mereka udah kayak kakak-adik. Jangan salah paham," ujar Bang Aldin."Memangnya mereka ada hubungan keluarga?" tanyaku. Ya, kemungkinan itu tentu ada. Karena aku juga belum mengenal keluarga Bang Dion. Aku masih berusaha berbaik sangka."Gak ada ... cuma di Mapala ya begitu. Antara senior dan junior, antara teman seangkatan itu udah kayak saudara aja. Apa lagi kalau memang cocok komunikasi.""Kalo gitu mereka bukan mahram, Bang! Kenapa gandengan mesra kayak gitu?" kilahku.Bang Aldin menatapku lekat. "Oh, gitu?" "Iyalah!" jawabku sengit."Maklum aja, Mil ... kami nih, gak belajar agama detil kayak kamu."Aku membuang muka.Lelaki itu bangkit. "Udah, jangan marah lagi," tuturnya sambil tersenyum dan membelai kepalaku. Darahku kembali berdesir. Akan tetapi, Bang Al
"Hei ... mau ke mana kita ini, hemm?" Bang Aldin menahan langkahnya ketika jarak kami sudah cukup jauh dari Bang Dion. Kami melewati pohon-pohon dan semak di hutan kaki gunung. Saat ini kami berada di dekat sebuah sungai kecil penuh dengan batu-batu kali.Aku pun melepaskan tautan tanganku di lengan Bang Aldin, kemudian melangkah hati-hati mendekati sungai. Kucelupkan tangan ke air sungai yang mengalir santai mengitari bebatuan itu. Kuusap wajah, merasakan kesegaran air tersebut menyentuh kulit. Kutarik napas dalam-dalam, berusaha melegakan sesak di dalam sini.Bang Aldin mendekat, lalu duduk di sebuah batu yang agak besar di dekatku. "Enak ya, airnya segar," ujarnya sembari menyentuhkan jemarinya ke air yang mengalir itu. Aku senang dia sama sekali tidak membahas kejadian barusan.Aku mengangguk dan berusaha tersenyum walau mungkin tampak getir. "Kita muncak besok. Mungkin bersama para alumni yang juga ikut kegiatan ini," imbuhnya.Aku beringsut dan mendudukkan bokong ke batu besar
"Sini naik ke punggung Abang," tawarnya, "kita ke sana," lanjutnya sembari menunjuk jeram yang tidak begitu tinggi di seberang kami. "Oh." Aku kira Bang Aldin mau ngapain, bikin kaget.Sungguh! Kelihatannya sangat menarik dan menggoda untuk pergi ke arah sana. Dengan agak ragu dan perlahan aku menuruti Bang Aldin menaiki punggungnya. Kupeluk erat pundaknya dari belakang. Lelaki itu pun mulai maju perlahan ke arah jeram tersebut. "Huwaaaa!" pekikku ketika kami sudah berada di bawah air terjun itu. Seru sekali!Bang Aldin tertawa mendengar jeritanku. Ia membantuku menjejakkan kaki di sebuah batu besar di sana. Air yang menimpa tubuh ini terasa seperti hujan yang sangat deras! Yaa Allah ... Mahasuci Engkau telah menciptakan alam yang indah ini.Bang Aldin berenang di hadapan dan menatapku lekat dengan bibir yang terus tersenyum. Aku pun membalas senyuman itu dengan semringah. Ini sangat menyenangkan!Kami bermain air dengan penuh keriangan, rasanya tidak mau berhenti. Bahkan waktu tak
Aku yang tadinya mau merebahkan badan pun akhirnya memutuskan untuk tidak jadi beristirahat.Bang Aldin kembali merebahkan diri. "Baring, Mila!" suruhnya."Mmm ... gak usah, Bang." Pikiranku melayang, nanti malam apa kami akan tidur bersama di dalam tenda ini? Seketika jantungku berdetak lebih cepat. Aah tentu saja, berarti ini kali kedua kami tidur bersama, selain di kampung waktu itu."Ayoo ... kamu pasti capek. Abang aja capek!" katanya sembari menelentangkan badannya dan menatap langit-langit tenda.Hujan di luar sana semakin deras. Langit pun tampak makin menggelap. Apalagi waktu sudah menjelang magrib begini. Udara terasa semakin dingin. Dan ... aku lupa membawa jaket. Ya Allah, bodohnya aku. Bagaimana tidak menyiapkan jaket pergi ke gunung seperti ini? Dasar amatiran!"Aku duduk aja, Bang," jawabku. Aku nggak enak baring berduaan begini. Walaupun kenyataannya kami sudah pernah tidur satu ranjang. Yaa ... tidur."Ya, terserahlah," ujar Bang Aldin sambil melirikku, "ngomong-ngomo
Usai makan malam bersama, panitia kegiatan dan peserta kembali mengadakan briefing. Setelah itu, mereka lantas membuat api unggun dan mengelilinginya.Aku duduk-duduk di samping Mbak Nela yang ternyata sangat ramah. Kami saling mengobrol tentang banyak hal. Sang suami berada di samping kanannya, sedangkan aku di samping kiri. Bang Aldin tadi pamit pergi entah ke mana."Mil, Mbak ke tenda dulu ya, sudah malam. Mau rehat dulu," kata Mbak Nela sembari beranjak mengikuti suaminya. Waktu memang sudah semakin larut."Oh, iya, Mbak. Silakan," ujarku seraya mengulas senyum ke arahnya."Pamit dulu, Mila." Bang Boy berkata kepadaku.Aku pun mengangguk ke arahnya.Mereka lantas melenggang menjauhi tempat ini. Sementara ke mana Bang Aldin? Kuraih ponsel dari saku jaket, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Apa aku ke tenda duluan, ya?"Mil." Terdengar suara seseorang yang kukenal siapa pemiliknya. Ya, itu Bang Dion. Aku menoleh ke arahnya, setelah itu membuang muka melihat api unggun di s
Jaket Bang Aldin ini cukup membuatku hangat. Akan tetapi, aku merasa kaki ini kedinginan sekali dan itu jadi terasa menjalar ke tubuh bagian atas. Kembali kulirik Bang Aldin yang tengah terlelap. Nyamannya kalau berselimut seperti itu.Aku lalu bangkit duduk, membongkar tas dan mengeluarkan salah satu gamisku dari sana. Lantas aku kembali berbaring dan menyelimuti bagian bawah tubuhku dengan gamis. "Ck!" Aku kesal dan gelisah bergerak ke sana kemari menentukan posisi yang nyaman agar bagian bawah tubuhku terlilit gamis dan merasa lebih hangat. Nyatanya sangat sulit. Aku bergerak sedikit saja, gamis itu pun tersibak. "Mila ... kenapa bangun?" Aku terlonjak kaget. Tiba-tiba terdengar suara serak khas bangun tidur Bang Aldin. "Mmm ... aku ... aku gak bisa tidur, Bang," jawabku tergagap.Alisnya bertaut. Netranya memicing melihat ke arah kakiku. "Kamu kedinginan?" tanyanya sambil mengeratkan selimut.Aku berusaha menarik kedua ujung bibir ke atas. "Iya ... Bang, dingin banget," ujarku
"Ayo bangun, kita Shalat Subuh!" Aku membuka ritsleting pintu tenda. Beberapa orang tampak sudah bangun di luar sana. Kasak-kusuk yang kudengar tadi ya, berasal dari mereka pastinya. Aku pun keluar tenda.Bang Aldin bangkit dari posisi tidurnya. Tampak pria itu meregangkan badan atletisnya. Seketika aku teringat sesuatu yang tadi ...."Ntar, Abang minta air dulu sama junior buat wudhu, semalam airnya udah habis," kata pria itu sembari keluar dari tenda. "Cepet!" Bang Aldin menghela napas melihatku. "Kamu kenapa, sih? Uring-uringan gitu subuh-subuh gini."Kamu tuh, bikin aku sebel, Abaaaang!Aku hanya bisa menatap punggung lelaki itu yang semakin menjauh dengan perasaan kesal.Tak berapa lama, pria itu pun kembali membawa sebuah jerigen berisi air. Kami lalu mengambil wudhu dan shalat berjama'ah.***Pagi seusai sarapan bersama, para panitia dan peserta lomba berkumpul dan berbaris. Tampak mereka berdiri sesuai kelompoknya masing-masing. Ada grup cowok, ada grup cewek. Bang Aldin bil
"Ayo kita lanjut jalan!" seru Bang Boy kepada semua.Kami pun mulai kembali melakukan pendakian. Baju yang kupakai terasa agak basah karena seperti ada embun yang kami lewati. Mungkin ini awan?Katanya sudah tidak jauh lagi puncaknya sampai. Namun, pepohonan masih menutupi pemandangan. ***Oleh karena mendaki dengan sangat santai, akhirnya kami sampai di puncak dalam waktu lebih dari dua jam. Kakiku terasa pegal, tapi hati ini merasa puas! Pemandangan di sini sangat indah, maa syaa Allah. Hutan, pegunungan ... bahkan langit biru berbalut awan tipis itu terasa sangat dekat. Aku merasa melayang ... di angkasa!Bibir ini tak berhenti tersenyum melihat pemandangan di hadapan. Ya Allah, betapa kami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuasaan-Mu. Ada rasa haru yang seketika saja singgah ke dalam hatiku."Indah ya, Mil?" Terdengar suara Bang Aldin yang tiba-tiba berada di sampingku. Aku mengangguk-angguk tanpa menoleh ke arahnya. Rasanya tak puas-puas melihat panorama di sana. Allah