Lintang menyerah. Ia mengiyakan permintaan Satya meski hatinya diselimuti rasa malu jika mengingat foto yang dikirim suaminya. Bagaimana ia tidak enggan memasang foto itu kalau posisinya nyaris tak berjarak dengan Satya. Lintang tidak bisa membayangkan komentar teman-temannya ketika melihat foto itu. Ia pasti tidak akan punya muka ketika bertemu dengan dosen-dosen yang sering berhubungan dengannya karena terikat pekerjaan. Lintang bahkan yakin Prof. Kathrina akan menertawakan dan menganggapnya norak. Namun, daripada Satya marah, lebih baik ia menuruti permintaannya. “Mas, doain ya, besok mau berangkat ke salah satu pulau terjauh. Aku dapat cluster tiga. Doain lancar dan nggak mabuk laut.” Lintang mengalihkan pembicaraan, khawatir sinyal keburu hilang padahal ia belum sempat meminta restu pada suaminya.“Bukannya kamu bilang nggak pernah mabuk laut?” “Dulu memang nggak pernah. Nggak tahu kenapa kemarin mabuk sampai muntah-muntah.” Satya terdiam sesaat. Tiba-tiba sepasang matanya b
Refleks Laras membekap mulut yang terbuka. “Bisa nggak sih, Pak Satya nggak meledekku terus gini? Kalau aku ngarep Mas Evan beneran gimana?” batin Laras jengkel. “Saya bukan mau jalan sama Mas Evan, Pak. Saya cuma mau nunggu bentar buat nyerahin laporan.” “Ya, sudah, lanjutin kerjaanmu. Aku juga nunggu Evan. Lama banget nggak sampai-sampai.” Satya keluar ruangan dan kembali duduk di depan. Laras menarik napas lega melihat Satya keluar. Sigap tangannya membereskan stopmap dan isinya yang berserakan. “Nambah-nambah kerjaan saja, nih, Pak Satya,” gerutunya. Langit telah berubah warna ketika mobil Evan memasuki halaman, bersamaan dengan masuknya Laras. Gadis itu memutuskan pergi ke angkringan terdekat demi mengisi perut dan menghindari Satya. Ia khawatir kalau menunggu di kantor akan menjadi bulan-bulanan Satya. “Sorry, Ras, nunggu lama. Aku ada urusan tadi,” ujar Evan saat mereka berjalan beriringan. “Nih buat kamu. Tanda maaf.” Evan menyodorkan kantung plastik berisi sekotak serabi
Laras memandang dua atasannya bergantian. Dihelanya napas dalam-dalam sebelum menyebut nama yang sejak tadi seolah tersangkut di tenggorokan.“Mas Evan yang meng-cancel permohonan reekspor kita.” Gadis berkulit putih itu menjatuhkan punggung di sandaran kursi usai melepas kalimatnya, seolah tulang-belulang yang menyangga tubuhnya tercerabut. Ia menundukkan wajah, taksanggup menatap kedua atasannya. “Astagfirullah!” Evan terhenyak. “Kok, bisa, Ras? Aku nggak pernah cancel permohonan reekspor kita.” “Jadi yang kamu maksud musuh bisa jadi dari orang terdekat itu kamu sendiri?” sambar Satya. Api di matanya semakin berkobar, siap menghanguskan apa pun yang ada di sekitarnya. “Saya nggak pernah melakukannya. Demi Allah.” Dada Evan bergemuruh. “Saya bukan pengkhianat dan tidak mungkin menghancurkan bisnis keluarga njenengan.” Kedua tangan Evan mencengkeram erat lengan kursi. “Sayangnya, namamu yang disebut petugas undername importer kita.” “Bisa jadi pelaku mencatut nama saya.” Evan mem
Demi meredam berbagai lintasan pikiran, Satya memilih menonton film hingga akhirnya tertidur di sofa ruang tengah. Satya mengerjapkan mata ketika sinar matahari menerpa wajahnya. Layar televisi berukuran 50 inci di depannya sudah mati. Satya mengucek mata lalu melihat jam dinding. “Astaga!” serunya kalut. Jarum pendek sudah bergeser dari angka enam dan ia belum salat Subuh. “Kenapa nggak bangunin sih, Mbok?” sembur Satya ketika Mbok Darmi menyuguhkan segelas jus alpukat dan semangkuk potongan apel dan nanas. “Saya jadi ketinggalan salat Subuh. Tanggung jawab lho, Mbok, kalau nanti ditanyain Lintang.” Mbok Darmi menggeleng seraya menarik napas panjang. Kepergian istri sepertinya membuat majikannya oleng dan labil. Baru kemarin dia mengamuk karena diingatkan untuk salat, hari ini dia kembali meradang karena tidak dibangunkan. “Mas Satya sendiri yang bilang bisa bangun sendiri.” “Ya memang saya mau bangun sendiri. Tapi kalau sudah lewat jam belum bangun, ya bangunin saja.” Satya me
“Sejauh ini kami tidak menemukan ada cara lain, Pak.” Suara petugas di seberang tetap tenang meski Satya sedikit ngegas.Satya menarik napas panjang. Di titik ini ia sadar jika pemesanan pewarna itu hanya akal-akalan Pak Handoko untuk menjebaknya. Meski sampai saat ini ia belum tahu, jebakan apa yang disiapkan mantan manajernya itu dan Paklik Soeroso. Merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukannya, Satya memutus pembicaraan. Kecamuk pikiran di kepala Satya semakin menghebat ketika pintu kamarnya diketuk dan kepala Mbok Darmi menyembul dari balik pintu. "Mas, ada tamu." "Siapa?" Seingatnya ia tidak ada janji dengan siapa pun sebelum tengah hari. "Yang biasanya datang malam-malam. Mas-mas bertato." Satya mengangguk mafhum. "Buatkan minum seperti biasa, Mbok." Mbok Darmi mengangguk lalu pergi ke dapur. "Maaf saya tidak mengabari dulu sebelum datang," ujar Hamdan ketika Satya sudah duduk di ruang tamu. "Ponsel Anda dan Evan sudah disadap. Kalau saya menelepon dulu, khawatirnya ada yan
“Ada pawang ular yang lihai mengatasi berbagai jenis hewan itu.”“Oke, kalau itu keinginan Anda. Jangan salahkan saya kalau Pak Handoko dan komplotannya suatu hari kembali menikam.”Lelaki itu mengambil ponsel dari saku. Sekian menit pandangannya terkunci pada layar ponsel. “Saya pamit dulu. Posisi Pak Handoko sudah diketahui.” Senyum puas terbit di wajah Hamdan.“Ingat, jangan lakukan apa pun padanya, terutama keluarganya.” Rasa jeri menyelusup ke dalam hati Satya. Ia khawatir Hamdan lepas kontrol dan bekerja di luar persetujuannya. Hamdan menjentikkan jari. “Jangan khawatir,” ujarnya santai. Detik berikutnya lelaki itu sudah lenyap dari rumah Satya. Sepeninggal Hamdan, Satya beranjak menuju perpustakaan dan membuka flashdisk yang diberikan penyidik swasta itu. Ia menahan napas ketika mendengar rekaman pembicaraan Pak Handoko dengan Paklik Soeroso. “Kamu sudah selesaikan urusan Evan?” Suara berat Paklik Soeroso menerobos telinga Satya. “Sudah Ndoro. Sebentar lagi pasti dia akan d
Evan bergeming sesaat. Meski terdengar mustahil, tetapi kemungkinan seperti itu tetap ada. “Iya, Mas. Mungkin ada anak dan istri yang lain.” Satya tersenyum getir. “Gila kamu, Van.” seru Satya. “Sepertinya Paklik Soeroso bukan orang seperti itu. Dia setia dengan satu istri. Lagipula bulik masih cantik sampai saat ini.” “Eng, anu, ….” Evan tersenyum malu. “Kadang seseorang yang terlihat setia justru menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.” Satya berdecak. “Teori dari mana itu, Van?” Ingin rasanya menoyor kepala Evan yang mendadak punya pikiran ajaib. “Hanya berdasarkan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari.” “Tapi aku yakin Paklik Soeroso tidak seperti itu. Aku yakin dia tidak punya istri dan anak selain bulik dan ketiga anaknya.” Pandangan Satya menerawang keluar jendela ruang perpustakaan. Sepanjang kehidupannya bersama keluarga besar Hadikusumo, belum pernah terdengar ada skandal apa pun. “Mungkin dulu Ndoro Soeroso ingin Mbak Hayu yang ada di posisi saya, Mas. Waktu itu
“Semua perangkat elektronik Anda sudah diretas. Jaringan kamera pengawas Anda sudah dikacaukan saat dua penyerangan terjadi sehingga tidak bisa merekam kejadian. Pelaku sempat menggunakan IP address palsu. Tapi setelah kami kejar, akhirnya kami bisa mendapat IP address yang sebenarnya. Dari sana kami mengejar pelaku dan semua bukti jejak digital mengarah pada Pak Mahendra.” “Ya, Tuhan.” gumam Satya. “Dan rekaman terakhir ini semakin menguatkan bukti bahwa Pak Mahendra adalah pelakunya. Bukankah Pak Mahendra punya anak laki-laki yang pernah bekerja di perusahaan Anda?” Satya mengangguk. Nendra, sulung Paklik Mahendra memang pernah bekerja di Hadikusumo Group sebelum hengkang dan pindah ke Jakarta. Satya merutuki dirinya yang tidak berpikir sejauh itu. Ia terlalu fokus pada Paklik Soeoroso.“Jadi Paklik Soeroso tidak terlibat?” Ipda Andra menggeleng. “Sejauh ini belum ada bukti yang mengarah ke dia. Tapi kita akan dalami kasus ini. Bukan tidak mungkin dia juga terlibat.” Kepala Sat