Laras memandang dua atasannya bergantian. Dihelanya napas dalam-dalam sebelum menyebut nama yang sejak tadi seolah tersangkut di tenggorokan.“Mas Evan yang meng-cancel permohonan reekspor kita.” Gadis berkulit putih itu menjatuhkan punggung di sandaran kursi usai melepas kalimatnya, seolah tulang-belulang yang menyangga tubuhnya tercerabut. Ia menundukkan wajah, taksanggup menatap kedua atasannya. “Astagfirullah!” Evan terhenyak. “Kok, bisa, Ras? Aku nggak pernah cancel permohonan reekspor kita.” “Jadi yang kamu maksud musuh bisa jadi dari orang terdekat itu kamu sendiri?” sambar Satya. Api di matanya semakin berkobar, siap menghanguskan apa pun yang ada di sekitarnya. “Saya nggak pernah melakukannya. Demi Allah.” Dada Evan bergemuruh. “Saya bukan pengkhianat dan tidak mungkin menghancurkan bisnis keluarga njenengan.” Kedua tangan Evan mencengkeram erat lengan kursi. “Sayangnya, namamu yang disebut petugas undername importer kita.” “Bisa jadi pelaku mencatut nama saya.” Evan mem
Demi meredam berbagai lintasan pikiran, Satya memilih menonton film hingga akhirnya tertidur di sofa ruang tengah. Satya mengerjapkan mata ketika sinar matahari menerpa wajahnya. Layar televisi berukuran 50 inci di depannya sudah mati. Satya mengucek mata lalu melihat jam dinding. “Astaga!” serunya kalut. Jarum pendek sudah bergeser dari angka enam dan ia belum salat Subuh. “Kenapa nggak bangunin sih, Mbok?” sembur Satya ketika Mbok Darmi menyuguhkan segelas jus alpukat dan semangkuk potongan apel dan nanas. “Saya jadi ketinggalan salat Subuh. Tanggung jawab lho, Mbok, kalau nanti ditanyain Lintang.” Mbok Darmi menggeleng seraya menarik napas panjang. Kepergian istri sepertinya membuat majikannya oleng dan labil. Baru kemarin dia mengamuk karena diingatkan untuk salat, hari ini dia kembali meradang karena tidak dibangunkan. “Mas Satya sendiri yang bilang bisa bangun sendiri.” “Ya memang saya mau bangun sendiri. Tapi kalau sudah lewat jam belum bangun, ya bangunin saja.” Satya me
“Sejauh ini kami tidak menemukan ada cara lain, Pak.” Suara petugas di seberang tetap tenang meski Satya sedikit ngegas.Satya menarik napas panjang. Di titik ini ia sadar jika pemesanan pewarna itu hanya akal-akalan Pak Handoko untuk menjebaknya. Meski sampai saat ini ia belum tahu, jebakan apa yang disiapkan mantan manajernya itu dan Paklik Soeroso. Merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukannya, Satya memutus pembicaraan. Kecamuk pikiran di kepala Satya semakin menghebat ketika pintu kamarnya diketuk dan kepala Mbok Darmi menyembul dari balik pintu. "Mas, ada tamu." "Siapa?" Seingatnya ia tidak ada janji dengan siapa pun sebelum tengah hari. "Yang biasanya datang malam-malam. Mas-mas bertato." Satya mengangguk mafhum. "Buatkan minum seperti biasa, Mbok." Mbok Darmi mengangguk lalu pergi ke dapur. "Maaf saya tidak mengabari dulu sebelum datang," ujar Hamdan ketika Satya sudah duduk di ruang tamu. "Ponsel Anda dan Evan sudah disadap. Kalau saya menelepon dulu, khawatirnya ada yan
“Ada pawang ular yang lihai mengatasi berbagai jenis hewan itu.”“Oke, kalau itu keinginan Anda. Jangan salahkan saya kalau Pak Handoko dan komplotannya suatu hari kembali menikam.”Lelaki itu mengambil ponsel dari saku. Sekian menit pandangannya terkunci pada layar ponsel. “Saya pamit dulu. Posisi Pak Handoko sudah diketahui.” Senyum puas terbit di wajah Hamdan.“Ingat, jangan lakukan apa pun padanya, terutama keluarganya.” Rasa jeri menyelusup ke dalam hati Satya. Ia khawatir Hamdan lepas kontrol dan bekerja di luar persetujuannya. Hamdan menjentikkan jari. “Jangan khawatir,” ujarnya santai. Detik berikutnya lelaki itu sudah lenyap dari rumah Satya. Sepeninggal Hamdan, Satya beranjak menuju perpustakaan dan membuka flashdisk yang diberikan penyidik swasta itu. Ia menahan napas ketika mendengar rekaman pembicaraan Pak Handoko dengan Paklik Soeroso. “Kamu sudah selesaikan urusan Evan?” Suara berat Paklik Soeroso menerobos telinga Satya. “Sudah Ndoro. Sebentar lagi pasti dia akan d
Evan bergeming sesaat. Meski terdengar mustahil, tetapi kemungkinan seperti itu tetap ada. “Iya, Mas. Mungkin ada anak dan istri yang lain.” Satya tersenyum getir. “Gila kamu, Van.” seru Satya. “Sepertinya Paklik Soeroso bukan orang seperti itu. Dia setia dengan satu istri. Lagipula bulik masih cantik sampai saat ini.” “Eng, anu, ….” Evan tersenyum malu. “Kadang seseorang yang terlihat setia justru menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.” Satya berdecak. “Teori dari mana itu, Van?” Ingin rasanya menoyor kepala Evan yang mendadak punya pikiran ajaib. “Hanya berdasarkan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari.” “Tapi aku yakin Paklik Soeroso tidak seperti itu. Aku yakin dia tidak punya istri dan anak selain bulik dan ketiga anaknya.” Pandangan Satya menerawang keluar jendela ruang perpustakaan. Sepanjang kehidupannya bersama keluarga besar Hadikusumo, belum pernah terdengar ada skandal apa pun. “Mungkin dulu Ndoro Soeroso ingin Mbak Hayu yang ada di posisi saya, Mas. Waktu itu
“Semua perangkat elektronik Anda sudah diretas. Jaringan kamera pengawas Anda sudah dikacaukan saat dua penyerangan terjadi sehingga tidak bisa merekam kejadian. Pelaku sempat menggunakan IP address palsu. Tapi setelah kami kejar, akhirnya kami bisa mendapat IP address yang sebenarnya. Dari sana kami mengejar pelaku dan semua bukti jejak digital mengarah pada Pak Mahendra.” “Ya, Tuhan.” gumam Satya. “Dan rekaman terakhir ini semakin menguatkan bukti bahwa Pak Mahendra adalah pelakunya. Bukankah Pak Mahendra punya anak laki-laki yang pernah bekerja di perusahaan Anda?” Satya mengangguk. Nendra, sulung Paklik Mahendra memang pernah bekerja di Hadikusumo Group sebelum hengkang dan pindah ke Jakarta. Satya merutuki dirinya yang tidak berpikir sejauh itu. Ia terlalu fokus pada Paklik Soeoroso.“Jadi Paklik Soeroso tidak terlibat?” Ipda Andra menggeleng. “Sejauh ini belum ada bukti yang mengarah ke dia. Tapi kita akan dalami kasus ini. Bukan tidak mungkin dia juga terlibat.” Kepala Sat
Dendam itu seperti api yang mengubahmu menjadi abu.***Rupanya, ucapan Hamdan pagi itu bukan omong kosong. Dua hari setelah Pak Handoko tertangkap, polisi berhasil membekuk Paklik Mahendra ketika bersiap lari keluar negeri. Lelaki berusia lewat setengah abad itu ditangkap di Bandara Halim Perdanakusuma. “Kenapa Paklik melakukan semua ini?” tanya Satya ketika menemui pamannya di kantor polisi. “Apa yang sudah dilakukan Ayah dan Bunda sampai Paklik begitu dendam pada mereka?” Satya tersekat di ujung kalimat. Matanya berembun. Hatinya ngilu. “Bukankah lebih baik bicara baik-baik?” “Apa kamu benar-benar mau tahu alasanku?” tantang Paklik Mahendra. Manik mata kelam miliknya menyalakan bara. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. “Apa kamu siap mendengarnya?” “Katakan saja. Kalau ada hutang yang harus dibayar ayah dan bunda, akan saya bayar.” Satya berusaha menekan gejolak di hati. Ia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan Paklik Mahendra. Satya sadar, kadang masa lalu m
Mendengar ucapan Satya, Mahendra melengos. “Jangan salahkan orang lain atas kemalangan yang menimpamu,” ujarnya setelah kembali bersitatap dengan Satya. “Aku memang menginginkan pabrik itu. Tapi aku tidak segila itu sampai membunuh kakakku sendiri.” “Bagaimana dengan kebakaran di kantor pusat Hadikusumo?” Tatapan Satya menusuk kedalaman mata Mahendra. Tiba-tiba Mahendra bangkit sembari menatap nyalang keponakannya. Detik berikutnya, telapak tangannya mendarat sempurna di pipi Satya, menimbulkan bunyi nyaring yang menyakitkan. “Bocah kurang ajar! Tunjukkan buktinya kalau aku yang membakar kantor pusat Hadikusumo!” Satya mengelus pipi yang terasa panas. Mati-matian dia menahan diri agar tinjunya tidak melayang. Lelaki tua di hadapannya benar-benar nir adab. “Saya hanya memastikan. Kalau memang Paklik tidak melakukannya, kenapa harus marah?” “Dengar, jangan pernah menemuiku lagi! Cukup hari ini kamu menampakkan wajahmu di hadapanku.” Nyala api di mata Mahendra semakin membesar. “Seka