Satya mengganjur napas. Sungguh salat paling kacau yang pernah dijalaninya. Pikirannya centang-perenang tak menentu. Ia mengangkat wajah yang sedari tadi menunduk ketika suara merdu Evan membaca Al Quran menerobos telinganya. Ayat demi ayat yang dibaca Evan seperti tali yang menarik tubuh Satya untuk mendekat. Lelaki itu berdiri lalu duduk di sebelah Evan. “Njenengan mau pulang sekarang?” Evan menghentikan bacaan Qurannya. Sekian detik keduanya saling berpandangan. Lelaki itu tidak lagi terlihat kusut. Air wudu membuat wajah Evan terlihat segar dan menawarkan kedamaian. Tatapannya menawarkan keteduhan. “Lanjutkan ngajimu.” Satya mengalihkan pandangan ke mimbar dari kayu jati berukir yang ada di dekat tempat imam. Evan mengangguk. Jenak berikutnya ayat-ayat surah Ali Imron meluncur dari bibir Evan, memenuhi ruangan berukuran seratus meter persegi itu. Setengah jam berlalu. Matahari mulai menampakkan diri di celah langit. Sinarnya menerobos masuk melalui jendela-jendala kaca di ba
Dahi Satya berlipat. “Jadi ini hanya gertakan awal? Masih ada sesuatu yang lebih besar dari ini?” Seketika jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi setelah ini. Satya sudah menerima transkrip pembicaraan Pak Handoko dan Paklik Soeroso, tetapi tidak banyak yang bisa diketahui dari sana. Keduanya memakai banyak sandi dan istilah yang takbisa dimengerti. Hamdan pun tidak bisa mengurai sandi-sandi itu. Keduanya terlalu lihai. “Kalau melihat pelaku yang mengambil flashdisk yang berisi nama calon kontraktor dan desain bangunan kantor pusat, mungkin nggak Paklik Soeroso mau menggagalkan pembangunan kantor pusat kita? Bisa jadi dia menguhubungi kontraktor yang kita tunjuk untuk membatalkan kerja sama. Setelah itu dia menghubungi calon kontraktor lainnya dan meminta mereka menolak kerja sama dengan kita.” Evan menyandarkan tubuh ke kursi. Matanya menatap ikan di akuarium sementara otaknya mencoba merangkai potongan-potongan puzzle yang berserakan se
Evan mengkalkulasi semua dengan cepat. “Sepertinya tempat paling memungkinkan memang di sana,” putusnya kemudian. “Kayaknya di spa juga bisa, Van. Si Nadia, manajer spa masih jomlo, kan? Kamu bisa sekalian pedekate.” Satya tersenyum iseng. Entah mendapat wangsit dari mana, nama Nadia tiba-tiba menyembul di ingatannya. Evan mengganjur napas. Raut mukanya seketika berubah. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel di atas meja lalu menghubungi Bayu agar menyiapkan tempat untuknya. “Saya sudah kontak Bayu. Saya izin telat ngantor, mau pulang dulu buat nengok dan ngecek bapak.” Evan memutus pembicaraan terkait perjodohan. Ia benar-benar tidak habis pikir. Sudah berkali-kali ia mengingatkan Satya agar tidak mengusiknya. Tetap saja soal ini Satya begitu bebal. Andai bukan atasannya, pasti sudah disumpalnya mulut Satya. Ia paling sebal jika Satya sudah membicarakan soal jodoh. Di mata Evan, lelaki itu bukan tersenyum, tetapi mengejek. “Ya, sudah terserah kamu mau ngantor di mana. Janga
Satya menyebut nama rumah sakit dan dokter jaga yang menangani Mbok Darmi. Setelah itu ia mengeluarkan amplop cokelat berisi foto dan flashdisk berisi rekaman pembicaraan dan transkrip chat Paklik Soeroso dan Pak Handoko“Saya terima bukti-bukti yang sudah Anda kumpulkan untuk kami selidiki lebih lanjut.” Polisi itu mengambil sarung tangan lalu menyimpan barang bukti yang diberikan Satya. “Sayang sekali Anda tidak langsung melapor ketika sesaat setelah kejadian. Saya khawatir banyak bukti yang hilang karena Anda pasti sudah memakai ruang kerja Anda.” Air muka Satya seketika mengelam. Perusakan yang dilakukan di Omah Lowo tidak pernah terpikirkan olehnya. Satya berpikir, flashdisk yang berhasil dicuri pelaku akan menghentikan aksi Paklik Soeroso dan ternyata tebakannya meleset. “Lain kali, segera setelah terjadi tindak kejahatan, upayakan segera lapor.” “Baik, Pak. Tapi semoga kejadian di Omah Lowo yang terakhir.” “Kami akan kirim petugas untuk memeriksa rumah Anda sekarang.” Sa
Setelah salat dan berganti pakaian, Satya memacu mobil menuju Laweyan. Ia berdeham ketika kakinya menapak lantai pendopo dan dilihatnya Evan tengah berbincang dengan Laras di salah satu sudut pendopo. Susah payah Satya menahan senyum ketika melihat paras semerah tomat milik Evan. “Jadi kalian berdua mau ngantor di depan sini?” sapanya ketika sudah duduk di depan keduanya. “Ehm, nggak kok, Pak. Ruangan buat Mas Evan lagi disiapin sama Pak Bayu.” Laras menjawab cepat. “Terus ruangan kamu di mana?” “Bareng sama temen-temen customer service. Kebetulan masih ada tempat.” Laras tersenyum gugup. “Semua sudah jelas, kan, Ras? Kamu bisa pergi sekarang.” Evan buru-buru mengambil kendali sebelum Satya berulah. Laras mengangguk lalu meninggalkan Evan dan Satya. Belum sempat Satya membuka mulut, Evan bangkit dan meninggalkannya. Rasa kesal belum tanggal dari hatinya. Langkah Evan terhenti di ambang pintu ketika telinganya menangkap deru mobil box memasuki halaman. Refleks ia membalikkan tub
Evan mengabaikan ucapan Satya. Kepalanya begitu gaduh dengan berbagai kemungkinan penyebab pembatalan reekspor itu.“Van!”Lelaki itu tergeragap mendengar panggilan Satya. Ditatapnya sang atasan lekat-lekat dengan sorot mata prajurit menunggu titah komandan.“Kamu denger aku nggak?”“Telepon Pak Handoko?”Satya mengangguk kesal.“Untuk apa, Mas?”Helaan napas panjang Satya mengapung di udara, ditingkahi desau angin dan riuh suara anak-anak yang lewat di jalanan depan pabrik. “Ingat nggak isi rekaman pembicaraan Pak Handoko dengan Paklik Soeroso. Dia bilang tugasnya yang gagal sudah berhasil diatasi.”Evan mengalihkan pandangan ke arah gazebo. Tempat itu sudah disulap menjadi area workshop membatik yang akan dilaksanakan besok. Salah satu SMU di Semarang akan berkunjung ke pabrik untuk belajar tentang batik sekalian mencoba membatik. Evan mencoba membuka file memori percakapan yang tersimpan di kepala. “Ya, Allah!” serunya gusar ketika kotak ingatan itu terbuka. “Astagfirullah!” Baga
“Sudah beberapa. Tapi saya belum ketemu dokumen pembelian pewarna yang dilakukan Pak Handoko.” “Ya, sudah, kamu ke masjid dulu. Nanti dilanjutkan lagi.” Bayu mengangguk sopan lalu pamit. Dengan cepat tubuhnya menghilang di balik tembok tinggi yang membatasi pabrik dengan jalan kampung Laweyan. “Maaf, Pak, saya sudah konfirmasi ke undername importer kita. Dokumen reekspor kita sebenarnya sudah lengkap dan siap diproses. Tapi ada pihak kita yang membatalkan permohonan reekspor di hari yang sama dengan masuknya surat permohonan reekspor yang saya kirim. Dan pembatalan hanya by phone. Jadi tidak ada dokumen yang bisa jadi bukti pembatalan itu.” Laras menjelaskan temuannya pada Satya sepeninggal Bayu. “Siapa yang dia sebut pihak kita dan membatalkan proses reeskpor?” tanya Satya gusar. Laras terdiam sembari menggigit-gigit bibir. “Kok, diam, Ras?” Tatapan Satya menelisik paras ayu Laras. “Ehm, anu ….” Laras menarik napas panjang, berusaha memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke paru
Berulangkali Satya menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan demi mengurai gelisah. Ia harus bisa menenangkan hati agar otaknya bisa bekerja dengan baik. Ia teringat jika belum Salat Asar ketika melihat salah satu petugas satpam dan Bayu kembali dari masjid. Gegas ia melangkah menuju musala yang terletak di tengah antara rumah utama yang beralih fungsi menjadi kantor dan tempat karyawannya membatik. Satya terlonjak kaget ketika ponsel pribadinya berdering. Ia baru selesai membaca istigfar dan selawat. Lintang yang menganjurkan untuk membaca keduanya setiap hari. Sepasang mata Satya berpendar bahagia melihat nama Lintang tengah memanggil. “Lin!” serunya ketika telah tersambung. “Mas!” Lintang berseru pada waktu yang sama. Refleks Satya dan Lintang tertawa. “Kamu lagi di mana? Masih di kota?” tanya Satya taksabar setelah tawanya reda. Paras manis Lintang menggantung di pelupuk mata. Satya beranjak keluar dari musala karena beberapa karyawan masuk untuk Salat Asar. Ia t