Evan mengabaikan ucapan Satya. Kepalanya begitu gaduh dengan berbagai kemungkinan penyebab pembatalan reekspor itu.“Van!”Lelaki itu tergeragap mendengar panggilan Satya. Ditatapnya sang atasan lekat-lekat dengan sorot mata prajurit menunggu titah komandan.“Kamu denger aku nggak?”“Telepon Pak Handoko?”Satya mengangguk kesal.“Untuk apa, Mas?”Helaan napas panjang Satya mengapung di udara, ditingkahi desau angin dan riuh suara anak-anak yang lewat di jalanan depan pabrik. “Ingat nggak isi rekaman pembicaraan Pak Handoko dengan Paklik Soeroso. Dia bilang tugasnya yang gagal sudah berhasil diatasi.”Evan mengalihkan pandangan ke arah gazebo. Tempat itu sudah disulap menjadi area workshop membatik yang akan dilaksanakan besok. Salah satu SMU di Semarang akan berkunjung ke pabrik untuk belajar tentang batik sekalian mencoba membatik. Evan mencoba membuka file memori percakapan yang tersimpan di kepala. “Ya, Allah!” serunya gusar ketika kotak ingatan itu terbuka. “Astagfirullah!” Baga
“Sudah beberapa. Tapi saya belum ketemu dokumen pembelian pewarna yang dilakukan Pak Handoko.” “Ya, sudah, kamu ke masjid dulu. Nanti dilanjutkan lagi.” Bayu mengangguk sopan lalu pamit. Dengan cepat tubuhnya menghilang di balik tembok tinggi yang membatasi pabrik dengan jalan kampung Laweyan. “Maaf, Pak, saya sudah konfirmasi ke undername importer kita. Dokumen reekspor kita sebenarnya sudah lengkap dan siap diproses. Tapi ada pihak kita yang membatalkan permohonan reekspor di hari yang sama dengan masuknya surat permohonan reekspor yang saya kirim. Dan pembatalan hanya by phone. Jadi tidak ada dokumen yang bisa jadi bukti pembatalan itu.” Laras menjelaskan temuannya pada Satya sepeninggal Bayu. “Siapa yang dia sebut pihak kita dan membatalkan proses reeskpor?” tanya Satya gusar. Laras terdiam sembari menggigit-gigit bibir. “Kok, diam, Ras?” Tatapan Satya menelisik paras ayu Laras. “Ehm, anu ….” Laras menarik napas panjang, berusaha memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke paru
Berulangkali Satya menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan demi mengurai gelisah. Ia harus bisa menenangkan hati agar otaknya bisa bekerja dengan baik. Ia teringat jika belum Salat Asar ketika melihat salah satu petugas satpam dan Bayu kembali dari masjid. Gegas ia melangkah menuju musala yang terletak di tengah antara rumah utama yang beralih fungsi menjadi kantor dan tempat karyawannya membatik. Satya terlonjak kaget ketika ponsel pribadinya berdering. Ia baru selesai membaca istigfar dan selawat. Lintang yang menganjurkan untuk membaca keduanya setiap hari. Sepasang mata Satya berpendar bahagia melihat nama Lintang tengah memanggil. “Lin!” serunya ketika telah tersambung. “Mas!” Lintang berseru pada waktu yang sama. Refleks Satya dan Lintang tertawa. “Kamu lagi di mana? Masih di kota?” tanya Satya taksabar setelah tawanya reda. Paras manis Lintang menggantung di pelupuk mata. Satya beranjak keluar dari musala karena beberapa karyawan masuk untuk Salat Asar. Ia t
Lintang menyerah. Ia mengiyakan permintaan Satya meski hatinya diselimuti rasa malu jika mengingat foto yang dikirim suaminya. Bagaimana ia tidak enggan memasang foto itu kalau posisinya nyaris tak berjarak dengan Satya. Lintang tidak bisa membayangkan komentar teman-temannya ketika melihat foto itu. Ia pasti tidak akan punya muka ketika bertemu dengan dosen-dosen yang sering berhubungan dengannya karena terikat pekerjaan. Lintang bahkan yakin Prof. Kathrina akan menertawakan dan menganggapnya norak. Namun, daripada Satya marah, lebih baik ia menuruti permintaannya. “Mas, doain ya, besok mau berangkat ke salah satu pulau terjauh. Aku dapat cluster tiga. Doain lancar dan nggak mabuk laut.” Lintang mengalihkan pembicaraan, khawatir sinyal keburu hilang padahal ia belum sempat meminta restu pada suaminya.“Bukannya kamu bilang nggak pernah mabuk laut?” “Dulu memang nggak pernah. Nggak tahu kenapa kemarin mabuk sampai muntah-muntah.” Satya terdiam sesaat. Tiba-tiba sepasang matanya b
Refleks Laras membekap mulut yang terbuka. “Bisa nggak sih, Pak Satya nggak meledekku terus gini? Kalau aku ngarep Mas Evan beneran gimana?” batin Laras jengkel. “Saya bukan mau jalan sama Mas Evan, Pak. Saya cuma mau nunggu bentar buat nyerahin laporan.” “Ya, sudah, lanjutin kerjaanmu. Aku juga nunggu Evan. Lama banget nggak sampai-sampai.” Satya keluar ruangan dan kembali duduk di depan. Laras menarik napas lega melihat Satya keluar. Sigap tangannya membereskan stopmap dan isinya yang berserakan. “Nambah-nambah kerjaan saja, nih, Pak Satya,” gerutunya. Langit telah berubah warna ketika mobil Evan memasuki halaman, bersamaan dengan masuknya Laras. Gadis itu memutuskan pergi ke angkringan terdekat demi mengisi perut dan menghindari Satya. Ia khawatir kalau menunggu di kantor akan menjadi bulan-bulanan Satya. “Sorry, Ras, nunggu lama. Aku ada urusan tadi,” ujar Evan saat mereka berjalan beriringan. “Nih buat kamu. Tanda maaf.” Evan menyodorkan kantung plastik berisi sekotak serabi
Laras memandang dua atasannya bergantian. Dihelanya napas dalam-dalam sebelum menyebut nama yang sejak tadi seolah tersangkut di tenggorokan.“Mas Evan yang meng-cancel permohonan reekspor kita.” Gadis berkulit putih itu menjatuhkan punggung di sandaran kursi usai melepas kalimatnya, seolah tulang-belulang yang menyangga tubuhnya tercerabut. Ia menundukkan wajah, taksanggup menatap kedua atasannya. “Astagfirullah!” Evan terhenyak. “Kok, bisa, Ras? Aku nggak pernah cancel permohonan reekspor kita.” “Jadi yang kamu maksud musuh bisa jadi dari orang terdekat itu kamu sendiri?” sambar Satya. Api di matanya semakin berkobar, siap menghanguskan apa pun yang ada di sekitarnya. “Saya nggak pernah melakukannya. Demi Allah.” Dada Evan bergemuruh. “Saya bukan pengkhianat dan tidak mungkin menghancurkan bisnis keluarga njenengan.” Kedua tangan Evan mencengkeram erat lengan kursi. “Sayangnya, namamu yang disebut petugas undername importer kita.” “Bisa jadi pelaku mencatut nama saya.” Evan mem
Demi meredam berbagai lintasan pikiran, Satya memilih menonton film hingga akhirnya tertidur di sofa ruang tengah. Satya mengerjapkan mata ketika sinar matahari menerpa wajahnya. Layar televisi berukuran 50 inci di depannya sudah mati. Satya mengucek mata lalu melihat jam dinding. “Astaga!” serunya kalut. Jarum pendek sudah bergeser dari angka enam dan ia belum salat Subuh. “Kenapa nggak bangunin sih, Mbok?” sembur Satya ketika Mbok Darmi menyuguhkan segelas jus alpukat dan semangkuk potongan apel dan nanas. “Saya jadi ketinggalan salat Subuh. Tanggung jawab lho, Mbok, kalau nanti ditanyain Lintang.” Mbok Darmi menggeleng seraya menarik napas panjang. Kepergian istri sepertinya membuat majikannya oleng dan labil. Baru kemarin dia mengamuk karena diingatkan untuk salat, hari ini dia kembali meradang karena tidak dibangunkan. “Mas Satya sendiri yang bilang bisa bangun sendiri.” “Ya memang saya mau bangun sendiri. Tapi kalau sudah lewat jam belum bangun, ya bangunin saja.” Satya me
“Sejauh ini kami tidak menemukan ada cara lain, Pak.” Suara petugas di seberang tetap tenang meski Satya sedikit ngegas.Satya menarik napas panjang. Di titik ini ia sadar jika pemesanan pewarna itu hanya akal-akalan Pak Handoko untuk menjebaknya. Meski sampai saat ini ia belum tahu, jebakan apa yang disiapkan mantan manajernya itu dan Paklik Soeroso. Merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukannya, Satya memutus pembicaraan. Kecamuk pikiran di kepala Satya semakin menghebat ketika pintu kamarnya diketuk dan kepala Mbok Darmi menyembul dari balik pintu. "Mas, ada tamu." "Siapa?" Seingatnya ia tidak ada janji dengan siapa pun sebelum tengah hari. "Yang biasanya datang malam-malam. Mas-mas bertato." Satya mengangguk mafhum. "Buatkan minum seperti biasa, Mbok." Mbok Darmi mengangguk lalu pergi ke dapur. "Maaf saya tidak mengabari dulu sebelum datang," ujar Hamdan ketika Satya sudah duduk di ruang tamu. "Ponsel Anda dan Evan sudah disadap. Kalau saya menelepon dulu, khawatirnya ada yan