WARNING!! 18+
***** Damian yang harus kerja lembur, ia baru saja sampai rumah jam 9 malam. Akan tetapi ruang utama selalu gelap setiap ia pulang malam ke rumah. Entah ini hanya perasaannya saja atau memang istrinya itu tidak ada di rumah. Terakhir kali ia bertemu dengan Leanne lima hari yang lalu sejak kejadian di mana ia membawa Sarah ke rumahnya, dan ia dengan Leanne mengalami pertengkaran kecil. Ia selalu berpikir mungkin istrinya itu memang sedang menghindarinya, karena setiap pagi dirinya akan berangkat kerja Leanne tidak pernah absen untuk menyuruhnya sarapan pagi yang selalu ia abaikan. Namun belakangan ini ia tidak mendengar panggilan Leanne ke padanya setiap pagi. Mungkin juga ia tidak bertemu dengan Leanne karena tiga hari belakangan ini ia memang selalu lembur, itu juga yang ia pikirkan. Namun jika benar Leanne tidak ada di rumah ia harus memastikannya. Damian pun berjalan***** Hari sudah gelap dimana Damian baru saja tiba di rumah pukul jam 8 malam. Setelah menyimpan mobilnya ke garasi, ia berjalan masuk ke dalam rumahnya dengan ruangan yang sudah terang. Heran dengan keadaan rumahnya yang terang serta sebuah suara dari arah dapur membuatnya berjalan ke sana. Hingga ia sampai di sana terlihat seseorang yang sudah ia kenali sedang membelakanginya. "Regan?!" Ucap Leanne terkejut melihat keberadaan Damian di belakangnya. "Kamu baru saja pulang? Aku sedang menyiapkan makan malam. Apa kamu akan makan?" Tanya Leanne sambil menyajikan olahan masakannya ke piring lebar yang tidak lepas dari tatapan Damian. "Ya. Aku akan mandi terlebih dahulu." Ucap Damian dan berlalu pergi ke kamarnya. Melihat suaminya yang sudah pergi, Leanne menyajikan masakannya kembali. Beberapa menit berlalu, Damian yang sudah seles
***** FĹÒWÈŔ'Ş HÖŲŞĒ Sepuluh menit yang lalu di mana toko sedang ramai akan para pelanggan yang berdatangan, dan kini hanya ada satu pembeli terakhir yang sedang melakukan pembayaran di kasir. "Hahh....... akhirnya, aku bisa bernafas kembali." Ucap Justin menghela napas sambil merenggangkan otot pinggangnya yang merasa pegal. "Aku kira sejak tadi kamu sudah mati." Sahut Kenny sarkas setelah ia melakukan transaksi dengan pelanggan terakhir. "Lebih baik kamu diam saja, mendengar suaramu membuat telingaku sakit." Ucap Justin sinis. "Hanya telingamu saja yang bermasalah. Asal kamu tahu saja, aku ini pernah juara paduan suara saat masa sekolah ku dulu." Ucap Kenny bangga. "Aku yakin pendengaran mereka langsung rusak setelah kamu selesai bernyanyi." Ucap Justin. "KAU!!" Tunjuk Kenny kesal mempelototi Justin. Mereka yang hendak bertengkar pun di hentikan ol
***** Sambil menunggu Leanne yang berada di dalam kamar mandi, Damian menatap sekitaran ruangan yang menurutnya kecil tapi nyaman. Di dekat jendela di letakkan beberapa pot kecil dengan beberapa bunga yang menarik untuk di pandangan. Meski di luar terasa panas namun di sini tetap sejuk. Pantas saja itu membuat Leanne merasa nyaman di tokonya. Tatapan Damian pada sekitar terhentikan saat pintu kamar mandi terbuka, dan Leanne keluar dari sana. Seperti biasa Leanne selalu memakai pakaian casual nya. Damian di buat heran, apakah istrinya itu tidak memiliki dress, selain dress yang Leanne pakai saat menemani dirinya pada pesta rekan bisnisnya waktu itu. Atau mungkin saja, memang gaya Leanne dalam fashion memang seperti itu, pikir Damian Damian akui jika Leanne mempunyai wajah yang cantik malahan sangat cantik, karena tanpa make-up pun Leanne sudah terlihat sangat cantik. "Ayo, Damian." Ucap
# Florida, Amerika Serikat 19:20 pm "Lean, kamu yakin akan kembali, Nak?" Pertanyaan yang berasal dari pria paruh baya yang tak lain adalah Anthony, dia berada di ambang pintu kamar cucunya, Leanne yang tengah membelakanginya menghadap ke arah jendela besar. "Cepat atau lambat, pasti aku akan kembali, Kek." Sahut Leanne seraya berbalik ke arah seseorang yang sangat berharga. Kakeknya adalah seseorang yang mengulurkan tangan kepadanya. Membawanya pergi dari keterpurukan. Pria yang satu tahun lalu itu telah kehilangan orang yang sangat dia cintai. Sang istri yang telah berpulang kepada-NYA. "Baiklah, apa barang-barangmu telah kamu siapkan? Besok pagi kamu diantar jet pribadi kita." Ucap Anthony. "Dan kamu jangan menolaknya." Lanjutnya cepat sebelum cucunya protes. "Huh, baiklah." Ucap Leanne mengalah sebab perkataan Kakeknya yang tidak bisa ia bantah. "Terimakasih untuk kasih sayang selama ini yang telah Kakek dan mendiang Nenek berikan padaku. Aku sangat menyayangi kalian." Ucap
Dua keluarga yang di satukan dalam rangka makan malam itu telah menyelesaikan makanan mereka masing-masing, terlihat raut kedua pasangan suami istri itu yang ingin menyampaikan suatu hal penting dari inti malam ini. "Jadi bagaimana menurutmu Harris? Kamu setuju 'kan, jika anak kita di satukan dengan cara menikahkan mereka, agar hubungan pertemanan kita semakin erat." Ucap Daniel dengan lugasnya. Membuat Leanne yang sedari tadi diam melihat ke arahnya begitu pun Damian. "Ya, aku setuju kapan pernikahannya akan di laksanakan." Ucap Harris. "Lebih cepat lebih bagus. Iya 'kan Anita?"Tanya Rose. "Bagaimana kalau dua minggu dari sekarang. Kita akan mulai mempersiapkannya Rose." Ucap Anita begitu bersemangat. Para orangtua itu sibuk dengan pembicaraan mereka seolah orang yang berada di meja itu hanya mereka. Membuat anak mereka bertanya-tanya siapa yang mereka bicarakan dan pernikahan siapa yang akan di laksanakan dengan waktu secepat itu. "Apa yang kalian bicarakan? Siapa ya
DAMIAN "WHAT?! Kau akan menikah?!" Aku yang sudah tahu respons Sarah hanya diam, dan ia yang menatapku nyalang. "KAU ANGGAP HUBUNGAN KITA APA DAMIAN?!!" Bentak Sarah yang kali ini malah membuatku geram, berani sekali dia meninggikan suaranya. "JAGA UCAPAN MU SARAH!!" Bentakku balik yang langsung membuatnya menciut dan terdiam. "Kamu tega padaku Damian." Ucapnya pelan. "Hei tenanglah, pernikahan ini tidak akan lama." Ucapku melembutkan suara. "Apa maksudmu?" Tanya Sarah penasaran. "Pernikahan ini hanya akan aku jalani selama satu tahun, dan setelahnya aku akan menceraikan wanita itu." Jawabku sambil merangkulnya. "Ini demi Mama yang ingin aku menikahi wanita pilihannya." Lanjut memberi alasan sebenarnya. "Benarkah kamu akan segera menceraikan wanita itu, setelah waktunya tiba?" Tanya Sarah sambil memandangku lekat. "Ya." Ucapku singkat. "Apa kita harus backstreet setelah kamu menikah Damian?" Tanya Sarah yang sudah mulai tenang. "Ya, kecuali pada wanita yang aka
LEANNE Hari ini di mana aku akan menikah. Setelah beberapa minggu yang lalu di adakannya acara pertunangan yang sederhana. Hanya keluarga saja yang menghadiri itu pun di rumahku. Hotel berbintang salah satu aset milik Romanov Grup, yang di mana acara pernikahan akan di selenggarakan. Seorang diri di kamar salah satu Hotel yang ku tempati saat ini setelah penata rias menyelesaikan semuanya. Kini aku tengah berdiri di depan cermin melihat pantulan diriku sendiri, yang sudah di balut dengan gaun pengantin. Berwarna putih tulang, berlengan panjang yang memperlihatkan bahu telanjangku serta punggungku, dan ekor gaun yang menjuntai panjang. Wajahku yang sudah di make-up senatural mungkin, tidak menutup kemuraman di raut wajahku. Helaan napas kasar yang bisa ku keluarkan, hinga terdengar pintu yang terbuka dan wanita paruh baya tak lain ibuku berjalan masuk ke arahku yang masih menatapnya dari cermin. "Kamu sangat cantik sekali sayang." Ucapnya sambil mengusap pipiku dengan lem
LEANNE Niat awal hanya memejamkan mata sejenak, ternyata aku ketiduran di dalam bathtub. Di rasa sudah cukup lama aku segera bergegas membilas tubuh di bawah shower, dengan air hangat. Aku tidak tahu sudah berapa lama membuatku tertidur di dalam air, sehingga kulit jari tanganku mengeriput. Mematikan Shower dan membungkus tubuh dengan handuk yang sudah tersedia. Serta memakai pakaian yang ku bawa sendiri, karena semua baju yang di bawakan para orangtua di dalam koper tidak layak ku pakai. Apa yang di harapkan dari pernikahan hasil perjodohan ini? Tidak ada pengharapan apapun, sebab aku maupun Damian membuat pernikahan ini hanya sebuah kesepakatan saja. Kesepakatan untuk kepentingan masing-masing. Setelah memakai piyama panjang, segera aku keluar. Tepat saat membuka pintu betapa terkejutnya aku. Damian yang sudah berdiri menjulang di depanku, membuat aku harus mendongakkan kepala, dengan perbandingan tinggi kami yang sangat kentara lumayan jauh. Aku yang memiliki tinggi 176 dan