Share

BAB 2

Dua keluarga yang di satukan dalam rangka makan malam itu telah menyelesaikan makanan mereka masing-masing, terlihat raut kedua pasangan suami istri itu yang ingin menyampaikan suatu hal penting dari inti malam ini.

"Jadi bagaimana menurutmu Harris? Kamu setuju 'kan, jika anak kita di satukan dengan cara menikahkan mereka, agar hubungan pertemanan kita semakin erat." Ucap Daniel dengan lugasnya. Membuat Leanne yang sedari tadi diam melihat ke arahnya begitu pun Damian.

"Ya, aku setuju kapan pernikahannya akan di laksanakan." Ucap Harris.

"Lebih cepat lebih bagus. Iya 'kan Anita?"Tanya Rose.

"Bagaimana kalau dua minggu dari sekarang. Kita akan mulai mempersiapkannya Rose." Ucap Anita begitu bersemangat.

Para orangtua itu sibuk dengan pembicaraan mereka seolah orang yang berada di meja itu hanya mereka.

Membuat anak mereka bertanya-tanya siapa yang mereka bicarakan dan pernikahan siapa yang akan di laksanakan dengan waktu secepat itu.

"Apa yang kalian bicarakan? Siapa yang akan kalian nikahkan, Ma?" Tanya Damian pada ibunya.

Rose tersenyum lembut pada Damian. "Kamu dan Anne, Say—"

"Aku tidak mau, Ma!!"

Perkataan Rose terpotong begitu saja saat Damian menolak tegas ia marah pada Rose seraya berdiri dari duduknya.

"Jaga sopan santunmu Damian. Apakah pantas berteriak pada Mama mu sendiri." Ucap Daniel tegas dengan memandang anaknya begitu tajam.

"Mama ingin yang terbaik untukmu sayang. Lagi pula Mama mengenal Anne gadis yang baik dan juga cantik apa yang salah?" Tanya Rose seraya menenangkan anaknya.

"Mama mohon oke, ini permintaan Mama yang terakhir sayang. Kita tidak tahu kalau suatu saat nanti Mama di panggil cepat oleh sang Kuasa tanpa bisa melihatmu menikah terlebih dahulu." Lirih Rose dengan raut sedihnya.

"Ma, Mama akan selalu sehat jadi jangan bicara seperti itu." Ucap Damian menghela napas pelan.

"Oke aku akan terima perjodohan ini. Apa Mama senang?" Lanjutnya yang membuat Rose tersenyum dan mengangguk.

"Jadi Anne kamu setujukan, Nak? Dua minggu lagi kalian akan segera menikah." Tanya Anita pada anaknya.

"Apa aku punya pilihan lain selain setuju." Jawaban Leanne yang datar membuat suasana menjadi canggung. Apalagi saat ini hati Leanne sudah muram.

"Hahaha." Tawa paksa dari Anita. "Bagaimana dengan pertunangannya." Alih Anita cepat mencairkan suasana.

"Lusa cukup untuk kita mempersiapkan semuanya, dengan mengundang keluarga dan teman dekat saja." Ucap Rose menanggapi dengan semangatnya.

"Baru di hari pernikahan kita akan mengundang relasi bisnis kita, serta karyawan di perusahaan juga. Apalagi nanti ada wartawan media yang akan meliput pernikahan anak-anak kita, jadi kita harus membuat pernikahan yang mewah dan megah, iya 'kan besan?" Lanjut Rose pada semuanya dan menyentuh pelan tangan Anita.

"Apa itu tidak berlebihan, Ma?" Sela Damian.

"Tidak sayang ini semua satu kali seumur hidup untuk kalian." Ucap Rose dengan hangatnya.

"Bisakah tidak ada media? Bagiku itu terlalu merepotkan" Ucap Leanne yang kini mengeluarkan pendapatnya.

"Kenapa sayang? Justru itu bagus untuk kalian biar semua orang tahu jika kalian telah menikah serta untuk semua orang lain tahu bahwa kamu menantu kami. Itu sama sekali tidak merepotkan kok." Ucap Rose lembut.

"Bagus juga apa yang kamu pikirkan Rose, tapi jika itu kemauan anak-anak kita aku setuju saja. Dengan mereka menikah pun aku senang, dengan sendirinya semua orang pasti akan tahu." Ucap Anita yang menyetujui keinginan putrinya.

"Ya sudah kalau begitu, aku setuju dengan kemauan kalian." Ucap Rose yang di angguki semua.

Mereka pun melanjutkan perbincangan mereka seputar pernikahan, larut dalam lamunannya membuat Leanne tidak sadar bahwa Damian terus memandanginya, penuh arti.

*****

"Apa kalian akan terus mengatur hidupku." Ucap Leanne datar pada Anita dan Harris yang berada di belakangnya.

Saat ini mereka baru saja tiba di rumah dan kini berada di ruang tengah.

"Kami melakukan ini semua demi dirimu, Nak. Percayalah kami menyayangimu." Ucap Anita yang melihat anaknya dengan sendu.

Leanne membalikkan tubuhnya, menatap Harris dan Anita.

"Demi diriku?! Atau demi perusahaan?!!" Ucap Leanne sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Tidak bisakah kalian memberiku pilihan hidupku sendiri atau kalian abaikan saja aku seperti dulu." Lanjutnya.

"Kenapa kalian tidak menggunakan anak kesayangan kalian yang lain, dan malah aku yang harus di tumbalkan untuk perusahaan. Haruskah selalu aku, AKU DAN AKU!! Yang selalu di korbankan!!" Ucap Leanne di tengah-tengah kalimatnya dengan suara kerasnya.

Emosinya mulai tidak terkendali.

"Jaga suaramu Anne!" Ucap Harris memandang anaknya tajam yang di balas tak kalah tajam oleh Leanne.

Leanne mengepalkan tangannya, lalu ia berbalik. Namun sebelum melangkah Leannne berkata.

"Cukup hanya ini permintaan terakhir kalian!! Sebaiknya ke depannya jangan pernah lagi mengurusi kehidupan ku." Ucap Leanne dingin yang penuh penekanan, lalu ia berjalan ke arah tangga ke arah kamarnya.

Ucapan Leanne membuat kedua paruh baya itu bungkam meninggalkan rasa sesak di hati mereka. Kapan anaknya itu akan memaafkan mereka, batin Harris dan Anita yang penuh penyesalan.

"Apa kita tidak terlalu memaksakannya, Yah?" Tanya Anita pada Harris.

"Tenanglah semua akan baik-baik saja." Jawab Harris yang melihat istrinya gelisah.

"Kesalahan kita padanya dulu, membuat ia jauh dari kita, Yah. Aku menyesal telah membuat anak kita sendiri membenci kita sebagai orangtuanya." Jedanya.

"Perasaan bencinya masih ada walaupun Anne ada bersama kita." Lanjut Anita dengan tangisnya, usapan halus dari Harris tidak membuatnya merasa tenang.

Tanpa mereka sadari sepasang mata tajam melihat interaksi mereka dingin dengan tangan mengepal.

Dia Leanne yang masih belum masuk ke dalam kamarnya.

*****

Memandang tajam ke arah luar jendela, membuat hati Leanne hampa. Begitu banyak yang ia pikirkan berkecamuk di kepalanya.

Sebuah notifikasi membuat handphone Leanne yang berada di atas meja menyala. Ia mengambil dan membaca sebuah pesan masuk.

Dari: 08XX XXX XXX

Kita perlu bicara dan bertemu di Cafe X

Besok jam makan siang.

Damian.

Seulas senyum sinis terbit di bibir Leanne. Leanne tidak berniat untuk membalas pesan itu. Ia mengetik sebuah pesan dan mengirimkannya pada seseorang.

*****

Esok harinya.....

Sebuah lonceng ketika Leanne masuk ke dalam Cafe tempatnya bertemu Damian. Tatapan mereka bertemu dan Leanne menghampirinya.

"Menunggumu lama?" Tanya Leanne seraya duduk di hadapan Damian.

"Tidak. Lagi pula saya baru saja datang." Jawab Damian yang melihat penampilan Leanne sama seperti kemarin memakai kemeja kebesaran dan skinny jeans. Beda dari wanita yang lainnya selalu pakai dress juga sepatu Hills tidak dengan Leanne yang memakai sepatu convers.

"To The Point saja, saya tidak menerima perjodohan ini. Namun demi Mama saya dengan terpaksa harus menerimanya, dan saya juga memiliki seorang kekasih." Jeda Damian yang melihat respon Leanne yang datar-datar saja.

"Dan perlu saya ingatkan, pernikahan ini hanya sebentar, dalam satu tahun saya harap kita bercerai dengan baik-baik, dan selama kita menikah tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing.

Namun di hadapan para orangtua. Saya harap kamu bisa bekerja sama dengan saya untuk terlihat normal seperti pasangan suami istri lainnya itupun saat di depan mereka saja." Lanjutnya tegas.

"Tentu. Apa perlu kita membuat surat perjanjian?" Tanya Leanne yang masih menatap Damian datar.

"Ya, akan saya buat setelah kita menikah." Balas Damian.

Damian menatap Leanne, wanita di hadapannya sulit untuk ia tebak pikirannya.

"Karena tidak ada yang perlu di bicarakan lagi, saya permisi." Lanjut Damian berdiri seraya membenarkan jas kerjanya yang tidak terlihat kusut dan berlalu keluar Cafe, meninggalkan Leanne yang termenung dalam lamunannya sendiri.

*****

Sementara itu....

Damian yang sudah ada di dalam mobil yang masih berada di parkiran Cafe, belum juga menyalakan mesin mobilnya, termenung sesaat apa yang di lakukan olehnya sudah benar, tidak ingin memberi harapan lebih pada wanita itu dalam sebuah pernikahan yang akan mereka jalani.

Sebuah panggilan telpon dari handphone membuat ia mengerjapkan matanya dan mengangkat siapa yang tengah menelponnya.

"Halo Sarah?" Ucapnya pada Sarah yang berada di seberang sana.

"Bisakah kamu ke apartemen ku, Sayang?" Tanya Sarah dengan suara manjanya.

"Hm, aku sedang di jalan menuju kesana dan ada yang ingin aku bicarakan juga denganmu." Ucap Damian dan ia segera melajukan mobil berlalu dari parkiran Cafe.

▪️▪️▪️▪️▪️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status