Share

Bab 5: Pernikahan

Kebingungan dan ketakutan memenuhi Mentari dua hari ini. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mengurung dirinya di dalam kamar dan tidak makan sepulangnya dari kampus. Kakak-kakak dan ibunya berpikir bahwa dia sakit. Mereka mengetok kamarnya, namun tidak dibukakan.

Sorenya Gempita datang mencarinya ke rumah.

“Pita, kamu baik-baik aja, kan? Kok kamu gak kuliah tadi?” seru Gempita keras dari depan pintu setelah berkali-kali memanggil nama Mentari namun tidak ada jawaban.

Kakak perempuan Gempita muncul dengan spatula di tangan, “Apa maksudmu Mentari tidak kuliah tadi?” tampang galak terpampang di wajahnya yang berkeringat.

“Iya, Ka, hari ini Mentari ga kelihatan di kampus. Aku berkali-kali nelpon tapi tidak diangkat, pesan-pesanku juga tidak dibalas. Makanya aku kemari.” Penjelasan itu mengubah rona di wajah kakak Mentari.

Ia maju dan mengetok pintu kamar Mentari dengan kepalan tangannya, “Buka, cepat buka, Mentari. Kalau tidak aku akan merusak pintu ini.”

Kegaduhan itu mengundang ibu dan keponakan kecil Mentari yang masih mengenakan celana seragam merah dipadu kaos bergambar tokoh kartun. “Ibu, ada apa?”

“Puspa, kenapa ribut sekali? Apa yang terjadi? Di mana Mentari?” kekuatiran mengurat di wajah ibu Mentari.

“Kata Gempita, Mentari tidak kuliah tadi, Bu, padahal paginya dia pamit mau ke kampus, kan?”

Mendengar itu, Ibu Mentari menghampiri pintu dan mengetok, “Mentari, ini Ibu. Kamu kenapa, Nak? Buka pintunya, bicara sama Ibu.”

Tidak ada yang terjadi. Empat orang itu mematung di depan pintu menunggu reaksi dari dalam kamar.

“Tari, ayo buka pintunya.” Ibunya kembali mencoba.

Setelah menunggu beberapa menit dengan saling pandang, pintu kamar Mentari terbuka perlahan. Tampak Mentari dengan rambut berantakan dan mata bengkak berlinang air mata. Semua terkejut.

“Tari, kamu kenapa?” Gempita melangkah maju mendekati Mentari, namun terhalang ibu dan kakaknya yang terus menanyakan hal yang sama seperti Gempita.

“Ibbuuu, aku... takut.” Tangisnya pecah.

Ibunya memeluknya erat dan mengelus kepalanya. “Shh... shh.... Ayo.” Diajaknya ke dapur, didudukkan dan diberi segelas air putih. Mentari minum perlahan, tangisnya sudah reda.

“Kamu kenapa, Nak?” ibunya kembali bertanya lebih lembut. Mentari diam, ibunya memandang kakak Mentari dan Gempita bergantian.

“Aku...” pelan Mentari membuka suara.

“Kamu kenapa?”

“Aku... “ kembali terdiam, “hamil.” Kata terakhir terucap begitu pelan, hanya terdengar oleh ibunya.

Kekagetan tidak bisa disembunyikan ibu Mentari, namun dia berusaha tetap tenang. “Kamu mau cerita?”

Gempita dan kakak Mentari bertatapan, mencoba mengerti apa yang baru saja diucapkan Mentari.

Ibu Mentari menarik kursi dan duduk di depan Mentari, sambil memegang kedua tangannya, ia mengangguk meminta Mentari mulai bercerita.

Ekspresi di wajah kakak Mentari bukan ekspresi marah, tapi tidak percaya bercampur kaget dan kuatir. Berbeda dengan Gempita yang membelalak dengan mulut terbuka lebar. Dia mematung mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Mentari yang bercerita kepada ibunya dengan suara parau dan sesekali sesenggukan.

Hari itu berlalu begitu lambat bagi Mentari dan keluarganya, bahkan bagi Gempita yang tetap tinggal hingga malam hari. Ia menemani Mentari di kamarnya.

“Argan sudah tahu?” tanyanya memandang Mentari yang duduk di ranjangnya bersandar di dinding. Balasannya hanya gelengan kecil.

“Aku akan memberitahunya.”

***

Rumah kecil Mentari tampak indah dengan hiasan-hiasan berwarna mayoritas putih. Beberapa orang mondar-mandir membawa berbagai macam kue dan makanan.

Hari ini Mentari akan menikah dengan Argan, sebulan setelah pengakuan Mentari tentang kehamilannya. Pernikahan itu direncanakan hanya dalam waktu sebulan, kedua belah pihak keluarga tidak ingin menunda acara pernikahan mengingat perut Mentari yang semakin membesar. Beberapa anggota keluarga Argan tidak ingin kehamilan Mentari diketahui orang-orang, bagi mereka itu skandal.

Keluarga Argan adalah keluarga berada, seperti keluarga Gempita juga. Mereka menjunjung tinggi nilai moral dan menjaga nama baik keluarga mereka. Kehamilan Mentari telah menjadi pukulan bagi keluarga itu. Ada kemarahan, rasa malu dan tidak terima. Ada yang mengusulkan untuk aborsi, yang ditolak mentah-mentah oleh keluarga Mentari. Hal itu pun pernah terlintas di benak Mentari.

Di usia yang masih muda, Mentari belum siap untuk menikah dan memiliki anak. Dia baru semester 6, belum selesai kuliah dan dia masih ingin menikmati masa lajang dengan berkumpul dengan teman-temannya, melakukan apapun yang disenanginya. Memiliki seorang anak bukanlah hal yang diinginkannya saat ini. Tidak.

Namun, keluarga Mentari berpikiran terbuka. Meskipun awalnya ada anggota keluarga yang tidak menerima, namun seiring berjalannya waktu dengan melihat kondisi Mentari setiap hari, penerimaan itu terjadi. Semua sepakat kalau mereka akan menerima bayi itu dan merawatnya jika Argan dan keluarganya menolak.

Dukungan keluarganyalah itu yang membuat Mentari kuat dan bertahan. Ia menghabiskan seluruh waktunya di rumah, dia tidak keluar kemanapun lagi, apalagi ke kampus. Ibunya telah meminta bantuan seorang kenalannya untuk mengurus surat cuti Mentari di kampus dan mau tidak mau harus mengakui pernikahan Mentari.

Perbincangan tentang pernikahan Mentari menyebar dengan cepat di sekitar tetangga. Bermacam cerita bermunculan. Namun, semua mengarah pada satu kesimpulan, Mentari hamil.

Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri keluarga, teman-teman serta kerabat dekat kedua belah pihak berlangsung khidmat.

Kini Mentari dan Argan resmi menjadi sepasang suami-istri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status