"Tari, kamu lihat celana jeans hitamku?" teriak Argan dari dalam kamar. Mentari yang berada di dapur buru-buru masuk ke kamarnya dan Argan. Ia langsung menuju Feliz yang berada di ayunan dan memeriksanya. Feliz bergerak-gerak, namun segera tidur kembali. Mentari mengayunkan Feliz perlahan. "Kamu dengar, ga?" tanya Argan lagi menatap Mentari dengan alis berkerut. "Yang kamu pakai ke kampus 3 hari lalu?" tanya Mentari. "Ga tahu berapa hari yang lalu. Seingatku dipakai pas hujan." "Iya, benar 3 hari yang lalu pas hujan deras," terang Mentari masih mengayunkan Feliz. "Iya, iya, itu. Mana celananya?" "Bukannya kamu bawa ke laundry karena kotor terkena cipratan lumpur?" Mentari berusaha memelankan suaranya, namun Argan tidak bisa mengontrol intonasinya. "Kok di laundry sih?" sergah Argan. Mentari melirik Feliz dalam gendongan, masih tertidur. "Kamu belum ambil?" Mentari kembali bertanya dengan suara pelan, berharap Argan juga akan memelankan suaranya. Tapi, tidak. "Kenapa kamu ga
Hari yang dinanti Mentari tiba juga. Dia begitu bersemangat untuk kembali kuliah, bersemangat kembali berkumpul dengan teman-temannya.Sudah lama dia tidak bertemu Gempita, rasa kangen membanjirinya.Saking gembiranya dapat kembali ke kampus, Mentari tiba terlalu pagi hari ini, jam 7 lewat. Hanya tukang bersih-bersih yang terlihat mondar-mandir.Dalam hitungan menit, para mahasiswa mulai berdatangan. Begitu pula para staf tata usaha. Ini awal semester ganjil, banyak yang harus dikerjakan para staf tata usaha. Demikian juga para mahasiswa baru.Beberapa mahasiswa baru berkeliaran di sekitar Mentari. Dia bisa menangkap percakapan mereka yang membahas tentang pengurusan berkas yang belum selesai, mata kuliah pertama maupun mencari ruangan kelas mereka.Mentari teringat hari pertamanya kuliah. Dia hampir saja terlambat mengikuti mata kuliah pertamanya, karena tidak bisa menemukan ruang kelasnya. Bersama Gempita, temannya sejak SMA, ia berlari-larian keluar masuk lorong gedung bertingkat t
"Tari!" panggil Gempita menghampiri Mentari dengan langkah panjang. Kedua tangannya memegang sejumlah buku dan makalah. "Kamu sudah mau ke kelas?" tanya Gempita sesampainya di depan Mentari. "Iya." Mentari melirik buku-buku di tangannya, "Kamu sibuk sekali." "Mauku tidak begini, tapi kalau aku tidak mengumpulkan data untuk skripsi, aku tidak bisa lulus." Gempita memperlihatkan beberapa buku di tangannya. "Kamu tahu aku, kan? Sejak kapan aku senang belajar?" Mentari tersenyum nakal, "Ooh, benarkah ini Gempita?" Gempita tersipu, "Apa, sih." Dia berusaha memukul Mentari seperti yang sering dilakukannya ketika mereka bercanda, tapi hanya menyebabkan beberapa buku jatuh ke lantai. Keduanya terbahak dan hampir bersamaan menunduk memunguti buku-buku yang jatuh. "Aku kangen banget sama kamu. Kangen kita bercanda seperti ini." Gempita menatapi Mentari lembut, tersirat kerinduan yang di sana. Mentari merupakan teman terdekatnya selama di kampus, sejak ia cuti kuliah setahun yang lalu, ia
Hujan deras mengguyur membasahi Mentari dari ujung rambutnya. Dia tidak membawa payung ataupun jaket untuk menutupi kepalanya. Setengah berlari hati-hati dia menyeberangi jalan menuju angkot yang parkir di seberang jalan."Neng, tidak mandi tadi pagi ya?" gurau Abang pengemudi angkot memperhatikan air menetes dari kaos Mentari."Iya, Bang. Mumpung ada air gratis, bisa mandi sekarang," balas Mentari berkelakar.Abang angkot tertawa namun menasehati, "Sampai di rumah langsung minum jahe hangat, biar tidak sakit.""Ga ada jahe, Bang. Habis dipakai ibu masak," canda Mentari berlanjut."Ya Eneng. Tolak angin aja diminum.""Angin udah terlanjur masuk nih, Bang." Mentari tertawa. Dia memang merasakan angin telah bersarang di dalam tubuhnya, karena dia mulai menggigil kedinginan.Abang angkot menemani perjalanan pulang Mentari dengan gurauan dan nasehat berbumbu curahan hati seorang suami yang sering dimarahi istri. Dalam kedinginannya, Mentari menimpali ucapan-ucapan abang hingga dia turun d
Argan masuk ke dalam kamar pagi itu dan melihat Mentari berbaring tertutup selimut hingga ke pundak."Tari, kamu ga kuliah? Ini sudah jam 7 lewat." Argan menggoncang bahu Mentari.Mentari berputar, dengan mata sayu dan wajah pucat dia menjawab, "Aku ga enak badan, mau istirahat."Sebelum Argan merespon, Ibu muncul dari balik tirai, berdiri di pintu. "Kamu sudah bangun, Tari?"Melihat Argan, ibu menyapanya, "Pagi, Argan, baru datang?""Iya, Bu. Hari ini kuliah siang, kemari mau ambil barang yang kelupaan."Ibu hanya mengangguk, melewati Argan dan duduk di tepi ranjang, lalu meraba dahi Mentari. "Demam kamu sudah turun. Ibu bawakan makanan lalu minum obat, ya?"Mentari menghentikan ibu yang beranjak menuju pintu, "Ga usah, Bu. Aku makan di dapur saja." Oleng, Mentari duduk di pinggir ranjang. Dia menunggu hingga kepala dan pandangannya stabil, kemudian berdiri."Kalau sakit, di kamar aja, tuh kamu oleng," sergah Argan."Kalau terus berbaring, rasanya semakin sakit. Aku juga mau hirup ud
Gempita menyambut kedatangan Mentari di kampus dengan rentetan pertanyaan. "Tari, kamu sudah baikan? Kamu sakit apa?""Bagaimana kamu tahu?""Argan memberitahuku kemarin." Gempita menarik tangan Mentari untuk duduk di bangku depan taman."Kemarin aku mencarimu, tapi kata anak-anak bilang kamu ga masuk. Kupikir kamu mungkin sibuk menjaga Feliz. Aku kirim Whatsapp, tapi ga kamu balas."Mendengar itu, Mentari segera mengeluarkan ponselnya dari tas selempangnya. Tampak layar ponselnya dipenuhi berbagai notifikasi yang belum dibaca.Gempita yang ikut melihat, menimpali, "Waduh, waduh, Nyonya Argan ini sibuk sekali sampai-sampai tidak pernah memeriksa ponselnya."Gempita memberondongnya dengan berbagai komentar dan pernyataan yang membuat Mentari tersenyum mendengarnya. Pantas saja dia dan Argan bersaudara, ada DNA yang sama mengalir dalam darah keduanya, DNA cerewet.Tertawa, Mentari membalas ucapan-ucapan Gempita, "Makanya, kamu juga buruan nikah, biar tahu rasanya menjadi seorang ibu mud
Sudah berhari-hari Mentari tidak bicara dengan Argan setelah insiden malam itu. Tidak ada niat Mentari untuk mendiamkan Argan, namun Argan tidak pernah kembali ke rumah setelahnya. Tak sekalipun Argan mengangkat telepon atau membalas pesan Whatsapp-nya.Kembali teringat oleh Mentari, kata-kata Argan sebelum meninggalkan rumah besok paginya."Lebih baik aku tinggal di rumah Papa," ucapnya sambil mengemasi beberapa baju dan barangnya di atas meja. Dengan raut wajah marah, ia keluar menuju mobilnya.Mentari mengikutinya, meminta untuk bicara berdua, namun Argan malah menyerangnya dengan kata-kata yang menyakitkan."Kamu bukan istri yang baik!" ujarnya dengan nada tinggi menunjuk wajah Mentari dengan telunjuknya. Kalau Mentari tidak mundur selangkah, telunjuk Argan pasti telah menekan dahi Mentari."Kamu tidak menghargai dan menghormati aku sebagai suami. Datang dan belajar dari Mamaku. Mamaku adalah istri terbaik di dunia."Mentari berusaha membuka pintu mobil yang dibanting menutup oleh
Benar kata ibu. Setelah 4 hari, Argan pulang ke rumah Mentari, yang berarti rumah Argan juga sekarang. Namun, ada yang berbeda. Argan tidak menyapa Mentari, dia sama sekali tidak mengucapkan apa-apa pada istrinya.Mentari mendekati Argan, mencoba berbicara dengannya, sekaligus ingin meminta maaf. Namun Argan beranjak keluar kamar menuju ruang tamu dan bercakap-cakap dengan Winar. Keduanya terlibat dalam perbincangan seru tentang game ponsel yang kemudian membuat mereka tenggelam dalam game itu. Mentari memandangi mereka dari balik tirai kamar, tidak bisa menginterupsi. Jika berani, hanya akan mengakibatkan kekesalan pada Argan.Dengan kedua tangan dipenuhi kantong kresek, Cahya memasuki rumah setengah terengah. Nafasnya terdengar keras. Dia berhenti dan memandangi kedua lelaki dengan ponsel yang bising di tangan mereka. Argan tidak memalingkan wajahnya dari ponselnya.Cahya melanjutkan langkahnya dan sesampainya di dapur, diletakkannya kantong-kantong di tangannya di atas meja. Ibu ya