Perjalanan menuju tempat tinggal Viona cukup lama, beberapa kali berhenti supaya Arka tidak merasa bosan di dalam mobil. Terlihat hamparan perkebunan teh yang tampak menghijau, menyejukkan pandangan mata. Menandakan kalau rumah Viona sudah tidak jauh lagi. "Sejuk sekali disini ya?" kata Mama Laras sambil membuka kaca mobil untuk merasakan sejuknya udara perkebunan teh."Iya, Ma. Makanya aku betah tinggal disini," sahut Viona."Kok bisa memilih tinggal disini? Dapat referensi dari mana? Apakah punya keluarga disini?""Aku ingin pergi jauh yang kira-kira tidak terdeteksi. Kebetulan disini ada Om Rusman, adik angkat Bapak.""Sengaja menjauh dari kami ya?" sindir Mama Laras. Viona hanya tersipu malu.Akhirnya sekitar jam sebelas siang, sampai juga di tempat tujuan. Danish memasukkan mobil ke halaman rumah. Halaman rumah tampak bersih, meskipun ditinggal Viona dua bulan lebih. Ada Yunita, istri Rusman yang merawat rumah ini. "Assalamualaikum." Viona mengucapkan salam. Pintu pun dibuka d
"Sepertinya malam Minggu ini kita belum bisa lamaran," kata Damar pada Jihan. Damar sengaja mengajak Jihan makan malam diluar, karena ada yang ingin dibicarakan."Hah? Kok gitu?" protes Jihan hingga membuatnya tersedak."Makan pelan-pelan saja," celetuk Damar.Jihan tampak merengut, karena kecewa. Kemudian mengambil air minum yang ada di depannya."Papa dan Mama sedang pergi keluar kota." Damar menjelaskan dengan pelan."Kemana?""Mengantar Viona dan Arka.""Enak sekali jadi Viona, sepertinya ia dimanja oleh keluarga Mas. Jangan-jangan Viona itu sengaja minta diantar pulang, terus nanti ia akan menghasut orang tua Mas supaya tidak merestui hubungan kita." Jihan berkata dengan sinis. Ia merasa kesal karena sepertinya keluarga Damar lebih memilih Viona daripada dirinya Damar hanya menghela nafas panjang, ia tahu kalau Jihan sedang memprovokasi dirinya. "Sabar Damar, jangan terpancing emosi," kata Damar dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri. "Viona bukan orang yang seperti itu,
"Bukan membela, tapi menyampaikan pendapat Ayah. Sebenarnya Ayah juga kurang setuju dengan acara lamaran kalian yang sangat mendadak ini. Apa nggak bisa menunggu satu bulan lagi?" kilah Dedi.Damar hanya terdiam, memang mereka tergesa-gesa mengambil keputusan. Jihan yang terus mendesak Damar untuk melamarnya."Kenapa mesti satu bulan, Yah?" protes Jihan."Kenapa mesti tergesa-gesa? Kamu masih sangat muda, apa kamu sudah siap menikah?" sahut Dedi."Lamaran kan nggak mesti harus segera menikah?" kilah Jihan."Itu yang Ayah nggak setuju. Kalau sudah lamaran, jangan lama-lama menikahnya. Paling lama setengah tahun saja. Kalau terlalu lama, banyak godaannya. Menangnya setelah lamaran, apa tujuan kalian? Menikah kan?" "Apa kalian sudah memikirkan semuanya dengan matang? Bagaimana kehidupan kalian setelah menikah, apalagi Damar sudah pernah menikah, Ayah rasa sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dan kamu Jihan, apa kamu nggak berpikir untuk kerja dulu?""Aku mau jadi ibu rumah tangga saja,
"Kenapa kalian berbisik-bisik?" tanya Mama Laras.Viona dan Danish hanya terdiam."Apa yang kalian bicarakan?" selidik Mama Laras sambil menatap Viona dan Danish secara bergantian."Jujur saja, Danish," kata Viona."Em, begini Ma, Mas Damar memintaku menanyakan kapan Papa dan Mama pulang. Karena malam Minggu nanti Mas Damar mau lamaran." Akhirnya Danish bicara dengan jujur."Kenapa dia tidak bicara sendiri pada Papa atau Mama?" celetuk Pak Yuda."Nggak tahu, Pa.""Dasar Damar nggak punya otak. Baru selesai putusan sidang, belum keluar surat kuningnya. Eh malah mau lamaran. Pasti Jihan yang mendesak Damar. Mama nggak sreg dengan Jihan, anak kecil kok beraninya berkata tidak sopan dengan Mama." Mama Laras mengomel, kemudian berhenti sejenak."Bilang sama Damar, Minggu sore baru sampai rumah," lanjut Mama Laras."Terus acaranya Mas Damar gimana?" "Terserah dia, kalau masih menganggap kami sebagai orang tua, harusnya menunggu kami pulang dulu. Kalau nggak sabar, ya sudah." Mama Laras mul
Drtt...drtt… Terdengar suara ponsel berdering. Pak Yuda yang sedang asyik bermain dengan Arka, melihat sekilas ke arah ponselnya. Karena yang menelpon itu nomor yang tidak dikenal, Pak Yuda pun melanjutkan aktivitasnya bermain dengan Arka. Walaupun Arka dalam kondisi yang kurang sehat, ia berusaha untuk bermain. Tadi malam Arka demam juga muntah-muntah dan rewel, tapi siang ini sudah tampak sedikit ceria.Drtt…drtt…Drtt…drtt…"Pa, kok nggak diangkat sih? Siapa yang menelpon?" tanya Mama Laras yang mendekati suaminya, ia merasa terganggu dengan suara ponsel yang tidak berhenti berdering."Nggak tahu, nomor tidak dikenal."Drtt…drtt.."Angkat Pa, siapa tahu itu penting."Drtt…drttDrtt…drttKarena suara dering itu sangat mengganggu, akhirnya Pak Yuda menerima panggilan telepon itu. "Halo?" ucap Pak Yuda.Kemudian terdengar suara dari seberang, Pak Yuda terdiam untuk beberapa lama. Wajahnya tampak serius sekali. Mama Laras yang mengamati ekspresi wajah suaminya, menjadi cemas.Cukup la
Viona sangat terkejut ketika melihat Arka sedang duduk di kasur dengan pakaian yang sangat kotor. Sepertinya ia baru saja muntah. Tangis Arka belum juga berhenti, Viona segera menggantikan pakaian, dan kemudian menggendongnya. Akhirnya Arka berhenti menangis."Arka pup ya?" tanya Viona sambil mencium tubuh Arka. Ia mencium aroma yang kurang sedap. Setelah ia melihat ke diapers Arka, ternyaman memang Arka sedang buang air besar yang berbentuk cairan. Viona pun segera mengganti popok Arka. Untuk sesaat, Arka pun tertidur dalam gendongan Viona. Viona tidak tega untuk meletakkan Arka ke tempat tidur, ia terus menggendong Arka.Viona membereskan sprei yang tampak kotor karena muntahan Arka, kemudian membersihkan muntahannya dan selanjutnya masukkan ke dalam mesin cuci. Tentu saja Arka masih di gendongan Viona. Sebagai seorang ibu muda, Viona sudah cukup terampil melakukan pekerjaan lain sambil menggendong Arka. Tak lama kemudian, Arka buang air besar lagi. Masih berupa cairan, Viona meng
Ditengah kekalutan dan kegundahannya, akhirnya Viona memutuskan untuk menelpon Yunita. Bagaimanapun juga hanya Yunita saudara yang ia punya disini. Yunita berjanji akan datang ke klinik. Viona pun menunggu Arka yang tampak tertidur. Tak terasa air matanya menetes. "Maafkan, Bunda. Seharusnya kamu tidak dirawat disini. Arka harus sembuh ya?" kata Viona sambil terisak-isak. Akhirnya ia pun terlelap dalam tidur.Samar-samar Viona mendengar suara pintu dibuka. Viona langsung membuka matanya."Tante," kata Viona sambil menghambur dipelukan Yunita.Ia menangis sesenggukan."Kenapa kamu menangis? Anak sakit itu hal biasa. Tapi kamu hebat, cepat tanggap," kata Yunita sambil mengelus kepala Viona. Rusman tampak tersenyum melihat Viona yang terlihat manja pada Yunita. Rusman kemudian mendekati Arka."Apakah aku gagal jadi seorang ibu?""Enggak, kamu nggak gagal. Kamu harus selalu optimis, demi Arka. Opa dan omanya kemana?""Sudah pulang siang tadi.""Kok mendadak? Kenapa kamu nggak bilang sama
"Halo Jihan, ini mamanya Damar. Kami sudah mendengar semua yang kamu katakan tadi. Ternyata kamu masih sangat kekanak-kanakan. Kamu memang tidak mudah percaya dengan orang ya? Kalau kamu tidak percaya dengan Damar, bagaimana kehidupan kalian nantinya. Damar benar-benar kecelakaan, ia mengalami patah tulang. Apa kamu masih maksa dia melaksanakan acara lamaran?" Mama Laras langsung nyerocos, ia sudah sangat kesal dengan semua ucapan Jihan tadi."Tante jangan bohong," jawab Jihan."Kamu pikir Tante bohong?" Mama Laras mulai marah."Tante, keluarga Mas Damar kan nggak menyukaiku, jadi akan melakukan segala cara untuk menggagalkan rencana kami. Sudahlah Tante, kalau mau mengarang cerita, cerita yang lain saja. Nanti Mas Damar benar-benar kecelakaan lho.""Kalau nggak percaya ya sudah! Jangan menghubungi Damar lagi!" Mama Laras langsung mengakhiri panggilan itu."Lihatlah Damar, apakah perempuan ini yang akan kamu jadikan pendamping hidupmu?" kata Mama Laras dengan emosi.Pak Yuda mengelus