Happy reading ...
"Papa, kenapa kamu marah marah sama mama?" ucap Mira marah. Satria mendelik tajam namun Mira sama sekali tak gentar. "Mama itu sudah jauh jauh pulang ke Surabaya mengurus kepentingan seorang diri, papa bukannya merasa bersalah malah marahin mama. Apa papa nggak kasihan? Mama lagi sakit pa? Mama diam saja karena beliau tak mau merepotkan papa, lagi pula jika mama bilang juga papa nggak peduli!" "Mira, jaga ucapanmu!" "Kamu ini masih kecil tapi sudah berani sama orang tua. Aku nggak perlu kamu kasih tahu. Anak kok menasehati orang tua. Masuk kamar sana!?" perintah Satria kepada anak sulungnya. "Brakh!" Mira menutup pintu dengan keras karena marah membuat Satria semakin geram. "Masih kecil suka menggebrak pintu, teruskan saja begitu. Anak tak tahu malu, siapa yang mengajarimu begitu. Anak tak punya tata krama! Pasti mamamu yang mengajarimu!" teriak Satria marah. Mira memang temperamen saat ini padahal dulu saat di desa, anak berumur 12 tahun itu sangatlah penurut, tak pernah berka
Seorang ibu tak akan sanggup melihat anaknya menderita, begitu juga Shafira tak tahan lagi melihat Mila demam semakin tinggi. Dirinya berangkat untuk memeriksakan Mila bersama Mira. Dengan kandungan besar, Shafira tetap berangkat menuju Dokter berharap jika Mila lekas sembuh setelah diberi obat. Dibonceng kedua anaknya dengan menggunakan sepeda Beat, melewati jalan raya yang ramai, banyak mobil kontainer di sisi kanan dan kiri jalan. Shafira memutuskan lewat pemukiman saja, melewati gang sempit dengan banyak sekali polisi tidur dengan jarak satu meter. Hal itu membuat perut buncit Shafira terguncang berkali kali. Meski terasa sakit, Shafira terus melajukan sepeda motornya menuju rumah praktek bu Sri. Banyak sekali yang cocok, periksa ke Bu Sri langsung sembuh. Kini mereka tiba, Shafira segera membawa masuk ke pelataran rumah praktek namun detik berikutnya …. Shafira harus menerima pil kekecewaan karena Bu Sri sedang tidak ada di rumah dan tertera tulisan besar, "TUTUP". "Ya Alla
"Darah!?"Shafira terkejut saat anaknya memberitahu dan melihat ada noda darah di baju belakang. Noda darah begitu banyak dan terlihat kering, mungkin darah tersebut keluar saat Shafira merasakan sakit semalam.Shafira segera ke kamar mandi, mandi dan membersihkan noda darah di bajunya, bertanya tanya apakah kandungannya baik baik saja? Mengingat dirinya yang nekat bersepeda seorang diri demi memeriksakan Mila.Tak ada yang aneh pada diri Shafira sehingga dia memutuskan untuk tetap melakukan aktivitas seperti biasa, memasak dan mengantar anak anaknya ke sekolah.Saat siang, Shafira beristirahat seperti biasanya namun saat terbangun, tiba tiba saja perut Shafira merasa mulas dan sakit sekali.Ada perasaan takut dan cemas mengingat banyaknya darah tertinggal di baju.Perut Shafira sakit sekali, terasa keram dan sakit dibuat gerak.Shafira berusaha menahan rasa sakit, berjalan pelan ke kamar mandi.Rasanya seperti mual, mulas, dan Shafira tak tahan lagi."Da- darah!"Shafira terkejut bu
"Sepeda Beat mau aku pinjamkan temanku. Kasihan dia butuh sepeda itu. Lagi pula kamu sudah tak boleh bersepeda kan?" ucap Satria selesai sarapan pagi."Lalu anakmu ke sekolah?" "Biar aku yang Antar.""Terserah kamu saja," jawab Shafira singkat.Tiba tiba Satria memeluk mesra sang istri."Terima kasih banyak ya sayang, kamu mau mengerti dan memahaminya."Shafira tersenyum simpul, merasa jika apa yang dilakukan sebagai istri sudah wajar dan tak perlu banyak bertanya, dipinjamkan siapa? Orang mana? Untuk apa? Kenapa tidak sepeda lainnya? Mengingat sepeda Satria kan banyak tapi Shafira lebih memilih untuk diam saja."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Indra berkunjung ke rumah Satria seorang diri. Shafira segera membuatkan kopi untuknya."Tumben pagi kesini mas Indra, ada apa ya?" tanya Satria saat menemui Indra."Ah tidak ada apa apa Satria, aku cuma ingin main kesini."Shafira tidak terbiasa ikut nimbrung saat ada tamu, biasanya Aini yang selalu ikut menemui jika ada tamu yang datang.
Apa yang ditakutkan benar benar terjadi.Sebenarnya Shafira sudah memprediksikan jawaban atas pertanyaan yang ditujukan kepada Yudha dan berusaha tegar jika memang sesuai prediksinya. Saat jawaban itu benar adanya, entah mengapa hati Shafira tetap merasa sangat sakit.{Oh begitu ya mas. Aku tanya kepada mas karena ingin memastikan saja jika semua benar dan aku tidak berprasangka lagi.}{Iya mbak. Mas Satria bilang jika mbak Shafira tidak keberatan.}{Benarkah begitu? Kali ini sepeda lalu besok apa diberikan Thika? Tubuhnya?}Shafira merasa sangat malu dan menyesal karena chat banyak sekali, mengeluarkan unek uneknya kepada Yudha. Ingin rasanya ditelan bumi saja.{Loh, bukannya dikasihkan mbak, sepeda cuma dipinjamkan karena untuk keperluan sekolah anaknya Thika, sepeda Thika sendiri sedang rusak dan suratnya tidak lengkap.}{Iya aku mengerti.}Shafira kembali menangis, merasa jika dirinya tak ada gunanya. Satria lebih mengutamakan Thika daripada keluarganya. Jika untuk Thika, Satria s
"Salahmu sendiri. Siapa juga yang nyuruh kamu hamil lagi!""Dua anak saja tidak becus ngerawat kok malah bunting lagi."Cacian dari Aini terus berdengung di telinga Shafira. Ditutup kedua telinga dan menangis histeris.'Siapa yang mau hamil lagi. Aku juga tak mau hamil lagi,' batin Shafira seolah menyalahkan takdir dari sang Pencipta.Perjuangan yang sungguh berat dari awal mengandung janin di dalam perutnya.Shafira ingat betul saat sang mertua tak menerima kehadiran malaikat kecil di rahimnya.7 bulan lalu."Dua anak saja sudah kebingungan mencari nafkah kok mau hamil lagi. Mau dikasih makan apa mereka nanti? Wong untuk biaya hidup saja pas pasan begini," ejek Aini membuat Shafira sungguh tertekan.Dirinya sendiri tak ingin hamil lagi, baginya dua anak sudah cukup.Padahal Shafira mengikuti program KB berupa pil dan tidak pernah telat minum pil kb tersebut. Tapi, entah mengapa Shafira bisa hamil. Bahkan setelah tahu jika telat karena tidak menstruasi, Shafira tetap minum pil kb sela
"Diam kamu Shafira!" teriak Satria marah, sungguh kesal pada sang istri yang begitu berani kepada dirinya."Kamu ini selalu nyolot jika dinasehati suami."Satria pergi meninggalkan rumah membuat Aini semakin menyalahkan Shafira."Kamu itu jadi wanita harusnya pinter ngurus suami. Suami di rumah itu kamu ladeni, jangan di diemin. Akibatnya lelaki gak pulang. Kalo nggak pulang kamu bingung sendiri, curiga gak karuan nuduh selingkuh padahal lelaki sampai selingkuh ya karena sikapmu sendiri," sindir Aini.Shafira merasa sangat tertekan, berusaha keras memendam rasa kesal di dada."Huhft."'Sabar Shafira,' batin Shafira menghela nafas besar.Shafira harus kuat, selama 13 tahun ini dia sudah berupaya sebaik mungkin dalam menghadapi sikap Aini yang tak mau terkalahkan. Semua mertua itu cerewet tapi gak ada yang bisa mengalahkan Aini dalam hal cerewetnya. Shafira hanya bisa bersabar dan bersabar lagi.Pukul 19.00 malam hari.Iva mengirim pesan kepada Shafira karena saat ini Satria ada di rum
"Yah, gimana kalau kita buntuti saja si pelakor itu?" ucap Iva meminta persetujuan dari suaminya."Jangan bun.""Lagi pula dia sudah jauh bun, kita tak mungkin bisa mengejarnya. Sudah kita pulang saja."Mereka memutuskan untuk pulang ke kontrakan.Sesampai di kontrakan, Iva segera mengirim pesan kepada Shafira, {Assalamualaikum mbak Shafira. Apa mbak sudah tidur?}{Waalaikum salam, aku sedang nonton tv Va, ada apa?} {Aku mau memberitahukan satu hal kepadamu mbak, aku baru saja ketemu langsung dengan Thika mbak. Dia memakai sepeda Beat milikmu dan membonceng ibu beserta tiga anak. Sepeda milikmu dibuat boncengan seperti itu mbak, gimana sih mas Satria itu?}Membaca pesan Iva, entah mengapa hati Shafira kembali sakit. Gara gara masalah sepeda, Shafira harus berurusan dengan Aini, anak mereka terlantar dan Satria marah marah terus kepadanya sedangkan Thika? Dua hidup nyaman, tertawa bahagia diatas penderitaan keluarga Shafira.Kenapa kehidupan dunia ini terasa tak adil? Dosa apa yang di