Sekar Pandan memalingkan muka dari Umang Sari agar bisa mengusap sudut matanya yang meneteskan air mata. Itu merupakan awal dari hilang suaranya.
"Ayah bawa minuman?" Mata Sekar Pandan kecil berseri-seri saat melihat seorang murid ayahnya membawa mangkuk. Kerongkongannya terasa kering akibat kebanyakan menangis."Minumkan ramuan itu!""Baik, Guru!" Salah satu murid memegangi tangannya dan satunya meminumkan ramuan pada Sekar Pandan."Ayah angkat …! Ampuni Sekar. Sekar tidak akan mengulanginya lagi. Tidak akan mempelajari kitab racun itu lagi. Sekar janji, Ayah!"Sekar Pandan menutup kedua telinga dengan kedua telapak tangannya. Hatinya bagai diiris sembilu setiap mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang membuatnya jatuh sakit berhari-hari hingga suaranya hilang setelah meminum ramuan obat pemberian ayah angkatnya."Kau menangis?" Umang Sari bertanya halus.Sekar Pandan mengusap air ma"Hahaha! Sudah mau mampus masih sombong!" dengus Manggala muak. Pemuda itu menggerakkan tangannya sebagai isyarat pada anak buahnya. Sesaat kemudian suara dentingan senjata beradu terdengar riuh di selingi pekik kemarahan dan jeritan menyayat.Sementara di kamar Mahisa Dahana, para penari perempuan dan Nayaga tengah berkumpul di sana. Wajah mereka tegang. Setiap mendengar jeritan kematian dari luar, keringat dingin semakin mengalir. Bukan mereka takut, tapi mereka tidak tahan melihat orang-orang sesat dari perguruan Tangan Seribu itu berbuat telengas terhadap orang-orang yang tidak berdosa.Paksi Jingga membuka pintu kamar pelan, lalu mengajak semua saudaranya menyelinap keluar lewat pintu belakang. Di sana, dekat dengan dapur, ada satu lagi pintu yang menuju keluar."Bagaimana, Kakang?" gumam Mahisa Dahana cemas. Paksi Jingga menatap wajah adiknya yang belum pulih dengan pandangan tegang. Apa pun yang terjadi, dia harus menyelamatkan adik d
Di tempat persembunyian, Paksi Jingga tersenyum puas. Dia memutar tubuhnya untuk menghadang Manggala dan anak buahnya. Mereka tidak boleh mengejar kedua paman yang telah ia anggap pengganti orang tuanya itu, tekad pemuda berwajah cacat ini."Kau, Pendekar Bertudung Bambu. Akhirnya menampakkan diri secara terang-terangan. Bagus! Sudah lama aku menantikan saat ini." Manggala berdiri gagah dengan menggenggam kuat gagang pedangnya. Sorot matanya tajam menantang. Dia tidak takut dengan lawan di depannya. Bagi Manggala, semua yang berhubungan dengan mantan orang-orang perguruan Tangan Seribu yang kini menamakan diri sebagai perkumpulan Sapu Tangan Merah harus dibinasakan. Para anak buah pemuda itu telah mengurung Paksi Jingga. Pedang mereka bergerak kesana kemari mengimbangi gerak kaki mereka."Huh! Jurus curian ingin kalian gunakan untuk menghadapi pemilik jurus yang asli? Hahaha. Kalian para Dagelan yang tidak lucu!" Paksi Jingga tertawa mengejek pada anak buah Manggala.
Siang yang panas di musim kemarau memang sangat nyaman untuk berteduh di bawah pohon rindang sembari meneguk air dari buah kelapa muda yang dipetik dari pohonnya. Air sungai yang jernih pun bisa menjadi air dari Nirwana.Tiga gadis cantik yang tidak lain adalah Sekar Pandan, Palasari, dan Umang Sari membuka perbekalan yang diberikan pelayan Ki Gondo. Rasa lezat dari masakan itu membuat keduanya terdiam. Pikiran mereka melayang ke masa lalu. Pada seorang perempuan bijak yang dipanggil ibu yang selalu memasakan makanan lezat untuk anaknya. Alih-alih dimasakan ibu, Sekar Pandan hanya bisa merasakan masakan bibi pengasuhnya.Umang Sari menoleh pada Sekar Pandan. Pelan sekali suaranya ketika mengajukan pertanyaan. "Apakah kau juga merindukan ibumu, Sekar Pandan?"Sekar Pandan menoleh. Mengamati wajah gadis itu sebentar sebelum menganggukkan kepala. Lalu telunjuk kirinya yang tidak memegang makanan menulis huruf di atas tanah. "Ibuku telah meningg
"Sekar, kapan aku akan benar-benar pulih dan bisa bertarung kembali. Saudara-saudaraku sudah membutuhkanku," keluhnya.Sekar Pandan membalasnya dengan tersenyum pedih. Lalu pergi ke bagian lain dari gua untuk membuat ramuan obat yang sudah ia kumpulkan dalam keranjang. Umang Sari pun segera mengambil umbi yang mereka dapatkan untuk dibakar sebagai pengganjal perut. Sengaja mereka tidak membuat api di luar gua, takutnya pihak musuh akan dapat mencium tempat persembunyian mereka.Dengan telaten, Sekar Pandan mengganti ramuan obat pada tubuh Mahisa Dahana dengan ramuan yang baru."Kau harus tenang dan sabar," ujarnya dengan gerakan tangan disela-sela jari lentik miliknya mengurut dan membetulkan tulang Mahisa Dahana, yang tentu saja sembari dilambari ilmu tenaga dalam. Mahisa Dahana merasakan hawa hangat menjalar ke dalam tubuhnya, lalu berkumpul menjadi satu di tulang yang terluka. Hawa hangat itu semakin panas hingga membuat sekujur tubuhnya berk
Dewa Jari Maut melompat turun diikuti empat anak buahnya. Membiarkan kuda mereka dibawa murid yang bertugas membersihkan kandang kuda.Dengan langkah gagah dan angkuh, Dewa Jari Maut menemui ketua padepokan di ruang Sanggar Pamujan. Dia tahu, setiap saat ketua selalu bermeditasi di sana. Empat anak buahnya mengikutinya dari belakang.Dewa Jari Maut menyapa ketua Perguruan Tangan Seribu dari luar. Pria yang telah berusia lanjut tapi tetap gagah itu membuka matanya yang tertutup alis yang mulai putih. Pandangannya teduh."Rupanya kau yang datang, Adhi. Kok janur gunung ( tumben) datang di waktu matahari akan beristirahat di peraduannya. Ada masalah apa, Adhi?" Ketua perguruan Tangan Seribu bertanya dengan sopan dan halus. Dia tetap duduk bersila. Dewa Jari Maut mendekat."Aku sangat membutuhkan bantuanmu, Kakang." Suaranya mengiba."Apa itu, Adhi?""Sebuah tempat tinggal.""Kenapa dengan tempat tinggalmu yang lama?"
Lain halnya dengan Layangsewu, laki-laki tak berjari tangan kanan itu duduk menyeruput wedang jahe hangat kesukaannya. Murid pelayan di sini sudah hafal dengan segala hal tentang dirinya. Baik itu tentang sesuatu yang disukai maupun yang tidak disukai.Pria itu hampir saja melompat dari tempat duduknya, saking kagetnya, ketika mendengar kakangnya menyemburkan cairan berwarna merah."Kakang …! Kau baik-baik saja …?" Layangsewu memapah tubuh Ki Anjarsewu yang mulai sempoyongan akibat pengaruh racun. Wajah pria tua itu pucat dan gemetar. Seluruh tubuhnya bagai dicengkeram sebuah kekuatan yang sulit dikendalikan. Semua kekuatannya telah dikerahkan untuk melawan pengaruh kekuatan racun yang telah merasuk dan mengendap pada darah."Kau … kau membubuhkan racun dalam minumanku, Layangsewu?!" sergahnya seraya mengibaskan lengan adiknya. Matanya yang sayu menatap adiknya dengan kecewa dan pedih."Apa maksudmu, Kakang?" tanya Layangsewu
"Cepat pergi, Sempana!" bentak Ki Anjarsewu menekan dadanya yang sakit.Tidak ada jalan lain bagi Ki Sempana selain meninggalkan Ki Anjarsewu untuk mencari kedua anaknya serta membawa Nyai Anjarsewu dan pelayan wanita itu menyingkir. Mereka meninggalkan laki-laki tua itu sekarat seorang diri. "Kakang ...." Nyai Anjarsewu berat meninggalkan suaminya. "Pergilah, Nyai." Tangan ketua Perguruan Tangan Seribu bergerak menyuruhnya pergi."Layangsewu, iblis apa yang telah bercokol di otakmu hingga kau tega melakukan semua ini padaku?" Tubuh ketua yang selama ini menjadi panutan dan pelindung padepokan justru terkulai meregang nyawa. Dari ujung lorong, muncul dua bayangan hitam memegang pedang terhunus. Keduanya terus maju dengan sikap waspada."Kalian … begundal-begundal Layangsewu.""Rupanya kau belum mampus , Orang tua!" Salah satu bayangan hitam itu berkata. Ki Anjarsewu tidak mengenali wajah dua orang itu karena tert
"Menurut keterangan yang berhasil aku korek dari mulutnya, pelaku itu juga murid Padepokan ini sendiri. Hah! Padepokan macam apa ini? Kasihan sekali saudaraku itu, murid yang siang malam dididik untuk menjadi baik justru balik menyerangnya. Ohh … Dewata, tunjukkan keadilanmu!"Layangsewu mendongak ke langit sambil berteriak-teriak memohon keadilan kepada Sang Maha Pemberi Keadilan. Semua murid padepokan semakin geram. Di barisan paling belakang, tepatnya untuk beberapa murid perempuan. Salah satu perempuan muda berdiri dengan suara lantang."Paman Layangsewu, siapakah orang yang telah membutakan hati murid penghianat itu? Tolong tunjukkan pada kami agar keadilan ini bisa ditegakkan."Layangsewu tersenyum dingin."Untuk apa?" tanyanya "Dia harus diadili sekarang juga!" jawab gadis itu lantang."Benar!" sahut yang lain penuh kemarahan."Bawa dia ke sini! Adili murid penghianat itu!"