Marren segera menutup mata kembali dan berpura-pura tertidur, agar la bisa leluasa mendengarkan pembicaraan keduanya."mommy, justru karena itulah Arsan tidak ingin membicarakan hal itu sekarang, karena Marren pasti akan semakin kalut," papar Arsan duduk di sofa setelah menghirup secangkir kopi di meja. "Iya, kamu benar, Nak. Tapi dengan dibicarakan, kita jadi tahu apa yang harus dilakukan supaya masalah yang sedang dipikirkan Marren bisa segera diatasi.Tapi, apa sebenarnya kalian ada masalah? Kalau boleh Mommy tahu?" ucap Madya mencoba memberi pengertian pada Arsan seraya duduk di sampingnya."Arsan sadar, mungkin Arsan terlalu mengekang dia, tapi, ini demi kebaikannya. Marren juga tahu apa alasan Arsan melakukan ini semua. Tetapi, entah kenapa akhir-akhir dia lebih pendiam setiap kali Arsan bersamanya. Seperti ada sesuatu yang Marren sembunyikan dari Arsan, Mom. Mungkin ini salah Arsan, makanya dia tidak mau berterus terang pada Arsan. Dia tidak pernah bersikap seperti ini sebe
"Pagi, Sayang, kamu sudah lebih baik sekarang?" sapa Madua kepada Marren yang sudah membuka mata lebih cepat dari hari sebelumnya. Madya membawa nampan makanan yang berisi bubur dan segelas air. "Pagi, Mom. lya Marren merasa lebih baik hari ini," jawab Marren tersenyum menerima kecupan dan Madya. "Syukurlah, demammu benar-benar sudah turun. Kata Arsan kamu tidak mengigau sama sekali dan tidurmu sangat pules," ucap Madya tersenyum cerah. Wanita paruh baya itu duduk di tepian ranjang Marren yang kini duduk bertelekan kepala ranjang. "lya, Mom, Marren juga merasa lebih ringan dan kemarin denyutan di kepala Marren juga terasa jauh berkurang sekarang," sahut Marren bersandarkan pinggiran ranjang. "Syukurlah kalau begitu. Yuk, Marren, sarapan dulu dan minum obat. Sini biar Mommy bantu," ajak Madya dengan sabar .Seraya mengangguk, Marren menatap ke sekeliling kamar untuk mencari keberadaan Arsan, Madya yang paham situasi pura-pura tidak tahu akan kegelisahan Marren, hingga beberapa l
Maren membeliak tidak percaya, lebih-lebih Wira. Mereka saling berpandangan satu sama lain dan terdiam untuk beberapa saat lamanya. "Apa? Jadi kamu benar benar mengenalnya, Marren?" tanya Wira dengan terkejut hingga tanpa sengaja la meninggikan suaranya. Marren meletakkan jari telunjuk pada bibirnya dan membuat Wira langsung membekap mulutnya sendiri. "Sorry, Saya tidak sengaja Ini benar-benar mengejutkan. Oh, ya ampun," desah Wira dengan wajah keheranan. "Saya hanya sekedar kenal. Itu Papanya Arthur, mantan kekasih Saya waktu masih SMA dulu," papar Marren mengendikan bahunya."Seingat Saya hanya dua atau tiga kali bertemu, itu saja," ungkap Marren dengan wajah masih tidak percaya dengan apa yang telah dilihatnya, hingga ia harus menatap lagi foto lama itu. Wira mengangguk paham, "Ya, Saya paham. Tetapi sepertinya kamu tidak pemah menceritakan padaku tentang Arthur'' ungkap Wira mengingat-ingat. "Ya, karena Saya pikir, tidak akan bertemu dia lagi sejak dia menghilang saat kami
Arsan tertegun tapi senang saat mendapati Marren menyambut kedatangannya di depan pintu utama rumah. "Marren? Apa yang kamu lakukan? Seharusnya Kamu masih beristirahat di kamar," tegur Arsan seraya berjalan mendekat. "Tidak apa- apa, Saya sudah sehat. Dan Saya ingin menyambutmu pulang kerja. Karena Saya tidak melihat kamu berangkat dan kamu pulang terlambat dari biasanya," papar Marren dengan senyum ringan. Arsan segera meraih punggung Marren untuk memeluknya. Lalu mengecup puncak kepalanya dalam. "Saya pulang, Marren," ucap Arsan dengan lembut dan penuh cinta. "Selamat datang, Arsan," bisik Marren dalam dekapan Arsan dan membalas pelukan Arsan dengan erat untuk sesaat. "Apa kamu sangat sibuk hari ini, sampai pulang selarut ini?" tanya Marren berjalan beriringan bersama Arsan. "lya, dan semua urusan itu membuat saya pusing, benar-benar melelahkan, seolah tidak ada habisnya. Sudahlah, Saya tidak ingin membawa pulang ke rumah masalah kantor," sahut Arsan mengelak menjelaskan saa
Jantung Marren berdegup sangat kencang, akan tetapi Marren segera menguasainya agar Arsan tidak merasakan segala kegelisahannya itu."Kenapa kamu berpikir begitu? Apa kamu sedang menuduh Saya?" Marren balik bertanya menanggapi pertanyaan Arsan. Arsan menghela napas panjang, "Bukan seperti itu, Marren. Maksud Saya, kalau kamu ada masalah tentang diri Saya yang tidak berkenan di hatimu, sebaiknya kamu jujur saja pada Saya. Agar, Saya tahu harus bagaimana. Saya tidak mau melihatmu sakit seperti kemarin. Kamu pikir bagaimana perasaan Saya saat melihatmu pingsan, tergeletak di lantai?" papar Arsan dengan tatapan penuh dengan kekhawatiran. "Untung saja kemarin kamu tidak terluka. Coba hagaimana kalau kepalamu terbentur atau semacamnya? Kamu pikir Saya idtak panik? Kamu pikir saya tidak khawatir? Rasa-rasanya Saya tidak mau sedikit pun memejamkan mata sebelum kamu terbangun," Imbuh Arsan berbicara dengan wajah bersungut-sungut dan membuat Marren mengemyit menahan kedukaan di wajah ca
Siang itu, Marren telah berada di sebuah mall untuk makan siang bersama Arsan.Tidak berapa lama Wira datang dan bergabung bersama mereka. "Baiklah, sudah waktunya Saya pergi. Bersenang-senanglah kalian. Sayq akan kembali ke kantor," sahut Arsan pada Marren dan Wira. Arsan mengecup lembut pipi dan bibir Marren, "Jaga dirimu, jangan terlalu lelah," ucap Arsan dengan lembut pada Marren yang menatapnya dalam. "lya, terima kasih, Arsan. Kamu juga, ya, Saya tidak akan lama, hanya menemani Wira mencari buku lalu langsung pulang," sahut Marren membalas kecupan di bibir Arsan.Sebelum Arsan akhirnya beranjak pergi seraya menyapa Wira sekedarnya. "Sekarang Saya paham kenapa kamu sampai sakit seperti itu, Marren. Arsan seorang suami yang begitu sempurna. Dan bahkan saya merasakan bagaimana ia sangat mencintaimu hanya dengan menatapnya saja. Rasa cintanya terlalu jelas untukmu, Marren," ucap Wira sepeninggal Arsan.Mereka masih menatap sosok Arsan dari belakang yang berjalan menjauh menuju
Sesampainya di rumah, Marren yang sudah bisa menguasai dirinya, berjalan tertatih-tatih diiringi Wira.Sementara Arland memarkirkan kendaraannya. Melihat rombongan yang tidak biasa itu, Madya segera menyongsong Marren yang terlihat pucat pasi. "Ada apa ini? Apa yang sudah terjadi? Oh, apa Marren kambuh lagi?" cecar Madya terlihat panik diikuti oleh para pelayan rumah. Melihat kondisi Marren yang tak baik-baik saja para pelayan berinisiatif mengambilkan minuman untuk Marren dan para tamu. "Kami melihat kecelakaan maut. Tante. Di depan mata kami. Dan Marren sangat syok karena itu," sahut Wira yang kini ikut duduk di sofa tunggal bersebelahan dengan Marren yang kini duduk bertelekan kepala sofa.Wira menceritakan secara detailnya kepada Madya yang membelalak kaget, bertepatan Arlqnd memasuki rumah. "Oh, Arland, terima kasih, Nak. Kamu datang tepat pada waktunya," ucap Madya berterima kasih dan menyambut Arland dengan memberinya pelukan. "Iya, Ma, sebenarnya saya juga tak sengaja ke
Seharian itu Marren hanya bisa gelisah menunggu kepulangan Arsan, dua kali ia menghubungi nomor ponselnya tidak sekali pun Arsan mengangkatnya. Marren menatap jam dinding yang bertengger di dinding ruang tengah, di mana ia duduk menunggu Arsan seraya menonton televisi. Jam menunjukkan pukul sepuluh lebih dua puluh lima menit malam. Sejak pukul sembilan para asisten rumah tangga telah berada di kamar masing-masing karena mereka harus bangun lebih awal dari para majikan. "Sudahlah, Nak, sebaiknya, Marren tidur lebih dulu. Mungkin Arsan sedang sibuk dengan keluarga Tuan Wilson, Mungkin Arsan sibuk mengurusi administrasi jenazahnya," Hibur Madya yang melihat Marren tak bisa menutupi gelisahnya setelah panggilan teleponnya tidak mendapatkan respons dari suaminya. "Iya, Mom, tapi Marren belum mengantuk. Sebaiknya Mommy tidur, ya. Sebentar lagi mungkin Arsan akan pulang," sahut Marren seraya berdiri mengantarkan ibunya ke kamar. Dan benar saja, tidak berapa lama Madya memasuki kamar, t